KPPU Temukan Indikasi Perlakukan Istimewa Importir Bawang

Komisioner Komisi Pengawas Persaiangan Usaha (KPPU), Guntur Sirangih

95 Persen Kebutuhan Bawang Putih Masih Impor
Surabaya, Bhirawa
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai ada indikasi persaingan dagang tidak sehat dalam penunjukan Perum Bulog untuk mengimpor bawang putih. Hal ini karena adanya perbedaan perlakuan kepada Bulog dengan pengimpor lainnya.
“Sesuai Permentan (Peraturan Menteri Pertanian) Nomor 38 Tahun 2017, importir diwajibkan untuk melakukan penanaman bawang putih sebesar 5 persen dari kuota impornya. Namun, dalam impor yang dilakukan oleh Bulog, ketentuan ini tidak diwajibkan,” kata Komisioner Komisi Pengawas Persaiangan Usaha (KPPU) Guntur Sirangih, Selasa (26/3/2019).
Hal inilah, lanjut dia, yang menjadi tidak adil bagi importir lain yang wajib melakukan penanaman bawang putih. Oleh sebab itu, KPPU akan memanggil Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk mengkonfirmasi masalah ini.
“Kami minta penjelasan kalau memang ada kelangkaan bawang putih,” ujarnya. Ekonom Universitas Indonesia (UI), Lana Soelistianingsih berpandangan, setidaknya ada dua kerawanan ini. Di satu sisi, Bulog memiliki keterbatasan dana sehingga tidak mampu melakukan impor.
Di sisi lain, karena keterbatasan dana tersebut, BUMN ini akhirnya menjual hak impornya kepada importir lain untuk mengambil keuntungan. ”Dalam hal mungkin hak impornya itu dijual ke orang lain kemudian dihargai mahal untuk mengambil keuntungan itu. Itu ada potensi,” ujar akademisi ini.
Pengalihan hak impor kepada pihak ketiga pun sangat mungkin dengan harga berlipat ganda dibandingkan harga yang seharusnya. ”Saya Bulog, saya nggak punya uang. Saya tahu ada yang punya uang. Kamu mau nggak impor, tapi atas nama saya? Oke. Harga berapa? 100? Bikinlah Rp150, misalnya,” tambah Lana.
Ia tak menampik memang selama ini Bulog berperan sebagai stabilisator untuk komoditas-komoditas strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun untuk meminimalkan potensi penyelewengan yang dapat terjadi, ada baiknya peran Bulog lebih diarahkan sebagai evaluator, bukan sebagai pelaku impor langsung.
Di samping itu, Lana menyerankan, pemerintah tetap harus menetapkan harga eceran tertinggi terhadap komoditas khususnya pertanian. Tujuannya agar siapa pun pihak yang mengimpor berupaya tinggi mencari harga rendah agar nilai jual komoditas terkait di pasaran tidak melambung.
Senada, pengamat ekonomi Prof. Didik J Rachbini melihat saat ini kapasitas Bulog sudah sangat menurun sehingga akan tidak mampu untuk mengurus bawang putih. Karena ketidakmampuan dana tersebut, ia pun meyakini Bulog akan meminta bantuan swasta untuk melakukan impor komoditas tersebut. Kinerja penyerapan padi petani pun tak menggembirakan.
”Kalau Bulog nggak punya dana, dia ngambil swasta. Berbagi untung dengan swasta. Itu sama dengan monopoli,” ujar pendiri INDEF ini.
Praktik semacam itu, diungkapkan Didik sudah terjadi sejak lama. Tak tertutup kemungkinan ini berulang. Disarankan Bulog fokus saja kepada komoditas utama, yaitu beras, mengingat kapasitas dananya yang terbatas.
Ia pun menyadari saat ini impor bawang putih memang diperlukan mengingat tidak cukupnya suplai bawag putih dari petani-petani lokal. Namun, ia melihat lebih baik impor untuk komoditas ini dibiarkan berjalan bebas, tanpa ada proses penunjukan.
Direktur Pengadaan Perum Bulog Bachtiar Utomo sebelumnya menjelaskan bahwa saat ini Perum Bulog masih melengkapi persyaratan berupa surat rekomendasi dari Kementerian Pertanian yang sudah diterbitkan setelah rapat koordinasi terbatas yang dipimpin Menko Perekonomian.
Saat ini perseroan masih menunggu surat penugasan dari Menteri BUMN, untuk kemudian mengajukan izin ke Kementerian Perdagangan dan mendapatkan persetujuan impor (PI). Setelah seluruh persyaratan lengkap, Bulog pun segera melakukan lelang impor bawang putih secara terbuka. Bawang putih sebanyak 100.000 ton akan didatangkan dari Tiongkok secara bertahap.
Menurut Bachtiar, pengiriman bawang putih dari Tiongkok memakan waktu sekitar tiga minggu, sehingga diperkirakan impor bawang putih tahap pertama akan masuk pada April mendatang.
Terpisah, Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setdaprov Jatim Wahid Wahyudi menuturkan, 95 persen kebutuhan bawang putih masih impor. Karena itu, Kementerian Pertanian memberikan kebijakan agar importer menanam bawang putih minimal lima persen dari jumlah yang diimpor.
“Bibit bawang putih ini sulit sekali dicari. Kalau pemerintah misalnya menetapkan bibit bawang putih Rp 30 ribu per kilo, di pasaran kita bisa menemukan dengan harga Rp 50 ribu per kilo. Itupun masih sangat sulit dicari,” tutur Wachid.
Karena itu, pemerintah melakukan kerjasama dengan petani agar bawang lokal ini tidak hilang maka kewajiban menanam sebanyak lima persen itu dikeluarkan. Petani yang diajak bekerjasama salah satunya LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan). Mereka mendapat keuntungan berlipat, karena selain benih yang didapat, petani juga mendapat bantuan Rp 15 juta.
“Petani juga mendapatkan kepastian jual pasca panen. Karena investor siap membeli hasil tanam tadi, petani tidak perlu kesulitan mencari pembeli. Meskipun di pasaran, petani juga bisa menjual secara bebas,” ungkap dia.
Keuntungan ekonomis lainnya, petani mendapat hasil dalam sekali panen bisa mencapai Rp 33 juta dengan masa tanam selama tiga bulan. “Kalau dalam satu tahun bisa melakukan panen hingga dua kali, berarti sudah dapat Rp 66 juta setahun. Kalau bisa memaksimalkan hingga empat kali panen, akan lebih besar lagi,” pungkas dia.dre. [tam]

Tags: