Krisis Agraria dan Gagalnya Hukum Negara

Oleh :
Umar Sholahudin
Mahasiswa S-3 FISIP Unair, Sedang Menulis Disertasi tentang Konflik Agraria di Jawa Timur

Salah satu persoalan krusial di daerah pedesaan yang sampai saat ini penyelesaiannya tindak tuntas, bahkan bagaikan bola salju yang terus membesar adalah masalah konflik agraria. Kebijakan pembangunan yang timpang dan lebih berorientasi akumulasi modal kapitalis telah merampas tanah-tanah rakyat. Menurut Ketua Umum Serika Tani Nasional (STN), Yoris Sindhu Sunarjan, konflik agraria makin meningkat seiring dengan kebijakan negara untuk meliberalisasikan sektor agraria. Ada ekspansi kapital besar-besaran dan proses itu memerlukan akses tanah yang makin banyak. Dalam kerangka menampung kepentingan ekspandi modal, pemerintah menciptakan regulasi untuk memudahkan perampasan tanah-tanah rakyat untuk kepentingan koorporasi.Yoris menyebut beberapa regulasi yang melegalkan perampasan tanah rakyat, yakni UU penanaman modal asing UU No. 1 Tahun 1967, UUNo. 12 tahun 2102  pengadaan tanah untuk pembangunan atau kepentingan umum, UU kehutanan, dan Perpres pengadaan tanah 40 tahun 2014 (Lihat: http://www.berdikarionline.com/liberalisasiagraria-picu-peningkatan-konflik-agraria).
Krisis Agraria
Dalam pandangan Noer Fauzi (2016), kebijakan pembangunan yang libralistik-kapitalistik tersebut setidaknya telah melahirkan tiga krisis agraria di pedesaaan. Pertama, krisis keadilan. Krisis ini menyangkut ketidakadilan penguasaan berbagai kelompok sosial rakyat (beradsar kelas, gender, etnis, dll) terhaadap tanah beserta tumbuhan dan apa yang terkandung di bawahnya, berbagai usaha dan organsiasi serta kehidupan di atas tanah.  Krisis agraria ditandai dengan  oleh -satu pihak – semakin banyaknya rakyat yang terjadi “pengungsi-pengungsi pembangunan” (development regures) akibat hilangnya penguasaan mereka atas tanah dan kekayaan alam yang menyertainya; dan di pihak lain tanah dan sumber daya alam mereka diusahakan secara ekslusif oleh badan-badang reksasa atas nama pembangunan. Krisis keadilan ini pula yang membawa pada krisis kesejahteraan rakyat berupa merosotnyaa pengahasilan dan konsumsi rakyat dari tanah dan sumebr daya alamnya di satu pihak dan berlimpahnya perolehan kekayaan dan konsumsi mewah-mewah dari orang-orang dan badan usaha luar yang ikut serta serta memanfaatkan tanah dan sumebr daya alam itu.
Kedua, krisis alam, yang menyangkut hanurnya lingkungan ekosistem segala makhluk akibat intervensi proyek-proyek pembangunan yang berisiko pada keberlanjutan ekosistem kehidupan segala mahluk, bukan hanya manusia. Ketiga, krisis produktivitas kerja. Hal ini menyangkut mendeknya kemampuan usaha (productive force) rakyat mengubah tanah dan sumber daya alam menjadi barang yang bergunan (produktif) bagi dirinya dan barang yang dapat dipertukarkan (pertanian) di satu pihak; dan melesatnya badan usaha raksasa untuk mengubah tanah dan sumber daya alam menjadi modal dalam sistem produkisi yang sama sekali asing bagi rakyat setempat.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2015  mencatat, sepanjang tahun 2015 terjadi 252 konflik agraria dengan luas 400.430 hektar dan konflik ini juga menyeret sedikitnya 108.714 keluarga. Jika di tahun 2014 sektor pembangunan infrastruktur menjadi penyumbang tertinggi konflik agraria, maka tahun 2015 ini bergeser ke sektor perkebunan, yaitu 127 kasus (50 persen). Kemudian disusul oleh pembangunan infrastruktur 70 kasus (28%), lalu di sektor kehutanan 24 kasus (9,60%), sektor pertambangan 14 kasus (5,2%), kemudian lain-lain 9 kasus (4%), serta pertanian dan pesisir 4 kasus.
Konflik agraria di tahun 2015 ini juga memakan korban. Korban tewas sebanyak 5 orang, tertembak 39 orang, dianiaya sebanyak 124 orang, dan ditahan 278 orang. Jika diakumulasi, dalam kurun waktu 11 tahun terakhir terjadi 1.772 konflik agraria pada luasan wilayah 6.942.381 hektar yang melibatkan 1.085.817 keluarga. Artinya, dalam dua hari sekali terjadi konflik agraria di Indonesia. Selanjutnya, jika dilihat sebaran teritorinya, ada 7 provinsi yang menyumbang konflik agraria paling banyak, yakni Riau (36 konflik), Jawa Timur (34 konflik), Sumatra Selatan (23 konflik), Sulawesi Tenggara (16 konflik), Jawa Barat dan Sumatra Utara menyumbang masing-masing 15 konflik. Konfik agraris tersebut laiknya fenomena gunung es.
Gagalnya Hukum Negara
Menghadapi kasus-kasus konflik agraria, para pemegang kekausaan yang mengurusnya, baik pusat maupun daerah- mencerminkan ciri yang kurang lebih sama, yakni seolah-olah ingin menghindar dari masalah yang rumit itu,. Mulai dari yang “mengabaikan acuh tak acuh”, atau menunda-nunda penyelesaian, sampai dengan menghadapinya dengan jalan kekuasaan, represi melalui instrumen hukum, menindas hak-hak rakyat, baik karena ingin mengendepankan kepentingan sendiri atau karena melayani kepentingan para pemilik modal (Fauzi, 2016:16)
Pendekatan hukum negara yang legalistik-positivistik terhadap konflik agraria, pada kenyataannya tidak mampu memberikan hasil yang saling memuaskan. Bahkan dalam studi yang dilakukan Bernard L. Tanya tentang Beban Budaya Lokal dalam Menghadapi Regulasi Negaradi masyarakatSabu NTT, (2006) menemukan, kehadiran dan penetrasi sistem hukum modern atau hukum positif negara, utamanya dalam lingkungan masyarakat lokal, tak jarang menjadi beban bagi penerimanya. Hukum dan budaya lokal, tidak selalu compatible. Hukum sebagai sistem formal-modern yang dirancang-bangun secara sentralistik, hadir dalam kehidupan sosial dan budaya lokal yang informal-khas lokal. Keduanya, tidak hanya merupakan produk konstruksi sosial dari dunia yang berbeda, tatapi juga memiliki logika dan “keprihatinan dasar” berbeda. Bahkan hukum negara kerapkali dijadikan sebagai intsrumen kekerasan terhadap masyarakat lokal.
Penyelesaian dengan hukum yang didasarkan pada skema-skema yang kaku (rigid) yang telah dirancang dan ditetapkan lebih dulu dalam hukum positif yang diterapkan dalam konflik agraria telah gagal dalam menyelesaikan problem-problem yang baru dan kompleks di Amerika Serikat. Sistem peradilan yang berwatak liberal-positivistik itu banyak menuai kegagalan dalam penyelesaian masalah konflik agraria di Indonesia. Hal ini dipertegas lagi oleh Sulistyowati Irianto, Antropolog Hukum dari Universitas Indonesia, dalam pengantar buku “Konflik Tanah Ulayat dan Pluralisme Hukum” (2011), mengatakan persoalan konflik agraria merupakan persoalaan yang lekat dalam keseharian hidup masyarakat Indonesia. Meskipun rezim pemerintahan datang silih berganti, tetapi tidak ada yang pernah berhasil menyelesaikan konflik agraria yang begitu kompleks sampai hari ini.
Krisis agraria yang semakin akut seperti saat ini, tidak cukup diberi resep “program sertifikasi gratis”. Mestinya yang lebih substansial dan stretegis adalah kebijakan reforma agrariaa yang lebih berorientasi pada penataan ulang struktur agraria yang selama ini timpang. Pemerintah harus berani untuk melakukan perubahan struktural, melalui perubahan struktur penguasaan dan kepemilikan tanah antara masyarakat/petani miskin dengan koporsi besar. Reforma agraria perlu meniscayakan keberpihakan kepada masyarakat/petani lokal.

                                                                                                    ————– *** —————–

Tags: