KTSP 2006 Vs Kurikulum 2013

Mairina MiawatiOleh:
Mairina Miawati
Aktivis Penulis Idealis (API), Penerima Beasiswa Tahfid di Monash Institute, Mahasiswa UIN Walisongo Semarang  Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam

Pola gonta-ganti kurikulum agaknya sudah menjadi tradisi pendidikan di Indonesia. Bukan hal mustahil, karena sudah terbukti di tahun 2013. Di tahun tersebut, pemerintah berhasil mengganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dengan kurikulum 2013 (K13). Anehnya, setelah melakukan percobaan kurang lebih satu tahun, K13 akan diberhentikan dan kembali menggunakan KTSP 2006.
Pasalnya, hasil pembelajaran ketika menggunakan K13 kurang memberikan bekas bagi peserta didik setelah proses pembelajaran selesai. Apalagi bagi sekolah dasar (SD) yang notebene masih masa transisi. Tidak dapat dipungkiri, peserta didik akan lebih suka jika guru memberikan perhatian lebih kepada muridnya. Maka, perhatian guru dalam proses pembelajaran memberikan pengaruh terhadap perilaku anak.
Pola lapangan yang lebih memperhatikan gerak-gerik perserta didik nampaknya banyak menyita perhatian orang tua mereka. Artinya, orang tua peserta didik mengamini apabila K13 diberhentikan dan kembali menerapkan KTSP 2006. Harapannya, guru dapat memberikan perhatian khusus kepada murid ketika dalam proses pembelajaran berlansung. Tidak itu saja, dalam hal ini sudah selayaknya orang tua juga dilibatkan dalam proses pembelajaran tersebut.
Tentu saja, hal ini berkaitan dengan pekerjaan rumah (PR) yang selalu guru berikan kepada murid setelah proses belajar megajar usai. PR yang diberikan bisa berupa soal yang memiliki keterkaitan dengan orang tua. Meyebutkan silsilah keluarga misalnya, untuk mengerjakan PR tersebut anak tidak bisa lepas dari pengarahan dari orang tua. Oleh karena itu, agar semua itu dapat terlaksana kurukulum 2006 harus mulai digunakan lagi.
Banyak keuntungan yang didapat ketika sekolah-sekolah mengunakan KTSP 2006. Pertama, bagi anak. Seorang anak merupakan anugerah dari sang kuasa. Sudah selayaknya sebagai orang tua biologis dan/atau ideologis dapat memberikan perhatian lebih kepada anak. Tidak dipungkiri pula, seorang anak akan merasa lebih senang jika mendapat perhatian dari kedua orang tua ketika di rumah dan guru ketika di sekolah.
Pemberian riward kepada anak merupakan salah satu perhatian dari orang tua dan guru kepada mereka yang berprestasi. Pemberian riward kepada anak dapat dikatakan sebagah langkah untuk meningkatkan semangat anak dalam proses belajar.
Kedua, orang tua. Dalam hal ini orang tua memiliki peran urgen dalam membentuk pribadi dan karakter anak. Sejak anak lahir, orang tua memberikan kasih sayangnya secara tulus tanpa rasa pamrih. Tentunya, hal itu tidak selesai ketika anak sudah dewasa. Pengarahan, dan perhatian orang tua masih dibutuhkan ketika anak sudah dewasa. Sebab, pada posisi inilah anak dalam kondisi rawan.
Kondisi lingkungan yang berbeda-beda dan tidak mendukung dapat menjatuhkan karakter anak. Walaupun, ketika kecil mereka sudah dibekali dengan nilai-nilai islami. Namun, nyatanya ketangguhan mereka dikalahkan dengan dunia luar yang germerlap. Dalam hal ini, sebagai orang tua seharusnya merasa bahagia, karena anak yang mereka didik sejak kecil masih membutuhkan perhatian meskipun sudah berinjak dewasa.
Guru yang notebene sebagai orang tua ideologis, harus lebih peka terhadap siswa-siswinya. Harapannya, dengan penerapan KTSP 2006 peserta didik dan guru dapat saling bersinergi untuk membentuk proses pemnbelajaran yang progesif dan pro-aktif. Semua itu tidak pernah terlepas dari peran guru dan orang tua.
Sinergi KTSP dan K13
Menteri pendidikan dan kebudayan (mendikbud) Anies Rasyid Baswedan telah memutuskan untuk menghentikan pelaksanaan kurikulum 2013 diseluruh Indonesia. K13 akan ditindaklanjuti dan diperbaiki oleh sekolah-sekolah yang sejak juli 2013 lalu menetapkan K13 sebagai acuan dalam pembelajaran.
Masa pemulihan K13 tidak akan berhenti pada satu titik saja. Melihat beberapa faktor penghambat dalam proses pembelajaran ketika menggunakan K13. Kesiapan buku, sistem penilaian, penataran guru dan pendampingan guru serta pelatihan kepala sekolah merupakan kendala yang menghambat proses belajar mengajar. Tentunya, hal ini berimbas pada peserta didik.
Buku yang terbatas dapat menghambat proses kaderisasi dalam sekolah. Akibatnya, banyak tugas-tugas mulia lain yang terbengkalai. Dalam hal lain, seperti sistem penilaian misalnya, guru belum menemukan sistem penilaian yang pas. Sebab, dalam proses belajar mengajar guru tidak ikut andil terlalu dalam.
Sebenarnya, Anis Baswedan tidak memberhentikan K13 sepenuhnya. Ia memberikan kebebasan kepada kepala sekolah khususnya untuk memilah dan memilih kurikulum yang cocok untuk sekolah mereka. Apalagi ditahun 2013/2014 ada sekitar 6.221 sekolah di 295 kabupaten telah menggunakan K13 secara bertahap. Oleh sebab itu, sekolah-sekolah yang sudah terdaftar diwajibkan menggunakan kurikulum tersebut guna memberbaiki K13.
Ikhtikad baik dari mendikbud perlu kita dukung. Namun, akan lebih baik lagi jika antara K13 dan KTSP 2006 disinergikan. Katakanlah ini jalan tengah agar antara kedua kurikulum tersebut tidak ada yang dihentikan. Kedua kurikulum tersebut memiliki acuan yang berbeda. Perbedaan tidak harus dipisahkan, namun harus disinergikan untuk menemui titik temu.
KTSP 2006 yang menekankan perhatian guru terhadap murid. Sedangkan K13 pada kemadirian peserta didik. Oleh karena itu, dapat diambil jalan tengah bahwa ketika pembelajaran berlangsung sudah semetinya guru memberikan perhatian kepada peserta didik. Ada kalanya juga, peserta didik diwajibkan untuk mengeksplor kemampuannya dengan tujuan agar mereka mendapatkan kedua aspek tersebut. Maka, sinergi antara K13 dan KTSP 2006 harus segera ditetapkan.
Wallahu a’lam bil-ashowab

                                                                                    ——————- *** ——————-

Rate this article!
Tags: