Legitimasi Soft Power Amerika Serikat

Demeiati N KusumaningrumOleh:
Demeiati N. Kusumaningrum, MA
Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang

Soft power menjadi konsep yang familiar pada kajian sosial politik terutama studi hubungan internasional. ‘Power’ menjadi kata yang dimaknai sebagai kekuatan, kekuasaan, atau wewenang. Dalam pengertian umum, ‘power’ berarti kemampuan untuk mempengaruhi pikiran dan sikap pihak lain untuk melakukan apa yang kita inginkan. Para politisi mamahami bagaimana ‘power’ menentukan struktur sosial, kedudukan, dan target kepentingan yang akan dicapai. Soft power oleh Joseph S. Nye, Jr. Diyakini sebagai upaya-upaya negara untuk mencapai kepentingannya melalui tindakan-tindakan persuasif, penyebaran nilai-nilai tertentu, dan membangun agenda-agenda menarik sehingga negara lain mengikutinya tanpa adanya kekerasan (perang) maupun perasaan terancam.
Pada tataran praktis, boleh jadi kita lebih memahami fenomena ‘soft power’ dalam pembahasan budaya dan aktifitas sosial masyarakat sehari-hari. Pada tahun 90-an, anak-anak Indonesia sangat akrab dengan film kartun Jepang yang tayang pada sepanjang sore hari dan minggu pagi. Mulai dari “Doraemon”, “Ksatria Baja Hitam”, “Sailor Moon”, hingga “Ultra Man”. Begitu marak berdiri toko-toko persewaan buku cerita yang menyediakan terbitan ‘Manga’ atau lebih mengemuka dengan istilah ‘komik Jepang’. Dalam perspektif generasi muda pada waktu itu, Jepang merupakan negara yang kreatif dan inovatif melalui industri film dan buku cerita hingga digemari masyarakat Indonesia.
Tahun 2000-an atau disebut zaman millenium, posisi Jepang digantikan oleh negara Asia lainnya seperti Taiwan dan Korea Selatan. Berbagai tayangan drama Korea dan Taiwan membanjiri Indonesia. Dengan penguatan kebijakan “melek internet”, masyarakat mulai menikmati drama Korea melalui media online. Ditambah lagi siaran televisi yang senantiasa meng-update kabar para artis dan fashion yang sedang tren di Korea, mampu meningkatkan jumlah komunitas Korea atau penggemar budaya Korea di Indonesia. Beberapa tahun terakhir promotor musik Indonesia mendulang keuntungan besar dari konser-konser artis Korea di Ibukota.
Amerika Serikat Sebagai Negara Adidaya
Budaya menjadi bagian dari ‘soft power’ negara-negara Asia yang ditiru dari leluhurnya, Amerika Serikat. Negeri Paman Sam ini telah lebih dulu mengembangkan pengaruhnya di dunia melalui apa yang kita kenal sebagai sosialisasi budaya Barat (westernisasi). Beberapa bukti bisa menjadi refleksi bagi kita semua. Pertama, Bahasa Inggris telah menjadi bagian dari kurikulum sekolah-sekolah di Indonesia sejak zaman Presiden Soeharto. Kedua, masyarakat telah menggunakan produk pakaian berbahan jeans yang pada waktu itu dipopulerkan melalui film-film Hollywood. Jeans merupakan pakaian para ‘Cowboy’ yang identik dengan sifat maskulinitas dan modern. Sebagian besar produk tersebut merupakan komoditas ekspor negara AS dan pada akhirnya menjadi pintu masuk bagi investasi asing perusahaan-perusahaan fashion lainnya di Indonesia. Ketiga, nilai-nilai demokrasi yang menyebar pada diskusi-diskusi akademisi mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi membuat kita gamang terhadap format demokrasi kerakyatan yang pada awalnya dikokohkan oleh para proklamator Indonesia- Soekarno-Hatta. Terakhir, ketika suksesi pemerintahan negara-negara lain tidak menjadi pembahasan yang penting bagi masyarakat, pergantian Presiden AS merupakan sebuah pengecualian. Momen pemilu AS ditayangkan secara reguler di Indonesia, bahkan beberapa stasiun televisi mengulas proses panjang manuver-manuver politik para calon Presiden dan budaya demokrasi AS melalui saluran televisi nasional.
Hampir semua pemerintahan di dunia mengakui kekuatan AS sebagai negara adidaya. Dalam perspektif politik keamanan, AS berpengaruh sebagai negara yang mengobarkan perlawanan terhadap terorisme. AS juga menjadi negara yang paling banyak memiliki pakta pertahanan dan pangkalan militer. Secara politik ekonomi, AS tidak pernah absen dari forum-forum multilateral dalam pembahasan isu-isu global terkait pengentasan kemiskinan dan perdagangan bebas. Demokrasi menjadi syarat mutlak kerjasama AS dengan negara-negara lain. Sementara, politik sosial-budaya AS mengingatkan kita pada serangan film-film Hollywood yang mampu menjadi tantangan berat bagi bangkitnya industri perfilman nasional.
Soft power negara adidaya mampu memberikan peluang dan tantangan bagi Indonesia di masa depan. Pemahaman mengenai ‘soft power’ dipenetrasikan melalui pengetahuan, teknologi, ideologi, dan nilai-nilai budaya yang sejatinya tanpa kita sadari mengaburkan bahkan mampu mengganti jati diri sebuah bangsa. Salah satunya perdebatan tentang ideologi ‘demokrasi’ yang melahirkan berbagai tantangan dan peluang di bidang pemerintahan.
Demokrasi menjadi idealisme konsep pemerintahan yang didambakan oleh masyarakat, mengingat demokrasi menjanjikan kesejahteraan dan partisipasi politik yang lebih luas. Demokrasi diyakini sebagai tonggak menguatnya supremasi hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Demokrasi mendorong pemilihan umum langsung yang lebih adil dan transparan. Namun demokrasi juga menghadiahkan debat politik para praktisi dan ‘gonta-ganti’ pejabat publik demi mencapai standart pemerintahan yang baik (good governance).
Sementara, peluang itu tercermin dari kesempatan masyarakat untuk senantiasa mengevaluasi pemerintahan dan dampak dari kebijakan negara terhadap kehidupan sehari-hari. Demokrasi memberi akses masing-masing individu untuk didengarkan pendapatnya, dirayakan prestasinya, bahkan diberikan solusi atas penderitaannya. Pers dan media massa menjadi instrumen masyarakat untuk mempengaruhi dan bahkan mengubah kebijakan pemerintah.
Seperti yang kita ketahui bersama, AS sebagai negara penyokong demokrasi diakui pengaruhnya mulai dari benua Eropa hingga Asia, mulai dari agenda Marshall Plan hingga konflik Laut Cina Selatan. Tayangan televisi, radio, dan media online yang terus menerus menyajikan gambaran kehidupan masyarakat Barat baik tentang cara berpikir, berbicara maupun bersikap lambat-laun akan mempengaruhi aspek kultural, ekonomi, dan politik di semua negara. Di sini, kita perlu selektif dalam memaknai perkembangan dunia teknologi informasi dan komunikasi internasional yang tanpa batas. Demokrasi dalam semua bidang kehidupan bernegara harus menjadi sebuah proses yang berkelanjutan dan penuh pembelajaran. Jangan sampai demokrasi justru menajamkan perbedaan dan sifat ke-akuan sehingga harmoni masyarakat yang ber-bhinneka hanya sebatas artifisial tanpa makna normatif berasaskan Pancasila. Salam damai.

                                                                                                                  ———– *** ———–

Rate this article!
Tags: