Loyal Produk Lokal

Barang konsumsi produk asing sering tidak diketahui pabriknya. Juga tidak diketahui bahan, serta proses pruduksinya. Ke-tidaktahu-an konsumen menyebabkan ancaman tidak nyaman, kemahalan, sampai gangguan kesehatan kronis. Sedangkan produk dalam negeri selalu diawasi standarisasi mutu, dan UU tentang Perlindungan Konsumen. Serta dijamin halal. Produk asing hanya unggul pada kemasan, serta banyak di-iklan-an, dan bujukan diskon harga.

Diskon harga produk asing bahkan sudah menjadi praktik predatory pricing. Melalui cara “banting harga.” Terutama dalam platform e-commerce global, dengan modal sangat besar. Tujuan predatory pricing semata-mata menyingkirkan (dan mematikan) pesaing ke pasar yang sama. Setelah men-dominasi maka produsen luar negeri akan “mengendalikan” harga, dan pola produk. Sudah nyata menggejala di tanah air, meliputi produk makanan, minuman, fashion, sampai buah-buahan.

Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak 267 juta jiwa, merupakan pasar besar yang diperebutkan berbagai produsen. Ironisnya, barang luar negeri yang seharusnya berharga murah, namun bisa dijual sangat mahal. Hanya bermodal iklan yang masif, namun sesungguhnya mengecoh publik konsumen. Misalnya, berbagai batu sintetis yang tidak berkhasiat, di-iklan-kan (klaim) memiliki manfaat untuk kesehatan. Produk “tipu-tipu,” biasanya tanpa disertai uji BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), serta tidak ber-standar SNI. Sangat membahayakan.

Begitu pula pola “banting harga,” dilakukan pemodal besar luar negeri. Harga di negara asal lebih mahal, karena pajak yang tinggi. “Dibuang” ke Indonesia dengan harga murah, sekaligus menghindari pajak. Sehingga pajak yang disetor sangat kecil. Jika dibiarkan Indonesia akan dibanjiri produk asing. Sekaligus mematikan produk buatan dalam negeri. Maka produk dalam negeri, khususnya usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) patut diperkuat sistem perlindungan keadilan usaha.

Persaingan tidak sehat dengan pemodal besar asing telah merusak pertumbuhan UMKM lokal. Padahal UMKM selama ini telah menjadi “sokoguru” (pilar penyangga) perekonomian nasional. Walau selama pandemi juga paling terdampak PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), dan PPKM. Selama setahun pandemi, banyak unit UMKM tutup usaha. Tetap UMKM tidak benar-benar mati. Melainkan hanya “jeda” usaha. Tak lama, UMKM akan segera bangkit sebagai “panggilan” nafkah.

Diperlukan sedikit insentif (dan ke-dermawan-an) pemerintah seiring program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional). Karena keterbatasan modal, usaha mikro dan kecil mudah terdampak kesengsaraan ekonomi. Tetapi sekaligus bisa cepat pulih. Hanya diperlukan upaya melalui “kail” aksesi permodalan, usaha mikro, kecil, dan ultra-mikro, bisa segera bangkit. UMKM juga memerlukan uluran program digitalisasi. Serta kampanye penggunaan produk dalam negeri.

Gerakan nasional Bangga Buatan Indonesia, juga didukung dengan hibah bantuan modal usaha. Pemerintah (pusat) perlu bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (melalui Dinas Perdagangan, beserta Dinas Koperasi dan UMKM). Juga diperlukan update data UMK dan ultra-mikro pada tingkat kelurahan dan desa. Serta fasilitasi kalangan milenial yang aktif berusaha.

Kebangkitan UMK dan ultra-mikro, niscaya akan mendorong konsumsi masyarakat, menjadi penggerak roda perekonomian nasional, dari hulu ke hilir. Tahun 2019 lalu, berdasar data BPS (Badan Pusat Statistik) konsumsi rumah tangga masih meliputi terbesar produk domestik bruto (PDB). Porsinya mencapai 56,62%. Sedangkan konsumsi pemerintah hanya meliputi 8,75% PDB. Maka konsumsi domestik (rumah tangga) wajib menjadi prioritas pemerintah.

Penggiatan produk dalam negeri lazim dilakukan berbagai negara di seluruh dunia. Berbeda dengan proteksi, dan dumping subsidi. Bangga Buatan Indonesia, bisa menjadi peta jalan kebangkitan UMKM (dan ultra-mikro). Termasuk bangga menggunaan test uji CoViD-19 buatan dalam negeri, vaksin, dan masker dalam negeri.

——— 000 ———

Rate this article!
Loyal Produk Lokal,5 / 5 ( 1votes )
Tags: