Marak Calo TKI Berkeliaran ke Pelosok Desa Kabupaten Probolinggo

Kepala Disnakertrans Sigit Sumarsono bersama Aisyah korban calo TKI.

Kab.Probolinggo, Bhirawa
Calon tenaga kerja Indonesia yang akan berangkat ke luar negeri, lebih suka berangkat melalui calo, tak terkecuali di Kabupaten Probolinggo. Padahal mereka rentan mengalami kekerasan fisik maupun mental, seperti yang dialami Asiyah, TKW asal Desa Tulupari, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo.
“Marak calo TKI di Probolinggo ditengarai banyak berkeliaran ke pelosok desa,” diungkapkan Kepala Disnakertrans Kabupaten Probolinggo, Sigit Sumarsono, Senin (4/12).
Dari data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Probolinggo, dalam 3 tahun terakhir hanya ada 29 orang yang berangkat secara resmi. Jumlah itu sepertinya njomplang dengan kondisi sesungguhnya. Karena banyak TKI/TKW yang berangkat secara ilegal.
“Kami sendiri tidak punya data berapa jumlah tenaga kerja yang berangkat secara illegal. Kalau legal pasti tercatat di kami. Biasanya, mereka yang illegal ini berangkat melalui calo tanpa dilengkapi dokumen yang resmi,” ujarnya.
Mantan kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) ini menuturkan, biasanya para calo ini mencari tenaga kerja ke pelosok desa, terutama di kantong-kantong garis kemiskinan. Seperti Kecamatan Krucil, Tiris, Gading, Pakuniran, Tegal Siwalan, dan Banyuanyar, serta kecamatan lainnya.
Para calo ini menawarkan akses mudah dan biaya murah kepada calon TKI/TKW menuju negara tujuan. Rata-rata mereka membidik calon yang tidak punya skill yang dapat diandalkan. Selain itu, mereka juga mengandalkan warga atau tokoh masyarakat setempat.
Tentu saja setelah berada di negara tujuan, mereka tidak terlacak oleh KBRI karena tidak terdaftar. Sehingga ketika mendapat kekerasan fisik dan mental, atau gajinya tidak dibayar, Pemerintah Indonesia kesulitan untuk memberikan bantuan. Sementara di sisi lain, agen atau perusahaan yang memberangkatkan TKI/TKW itu sudah tutup, paparnya.
“Kami menghimbau agar masyarakat lebih berhati-hati ketika akan bekerja sebagai TKI. Ya karena itu tadi, harus paham birokrasinya terlebi dahulu, legal atau ilegal. Selain itu, harus punya kemampuan lebih, jangan asal bisa masak nyuci dan setrika saja,” tandas Sigit.
Maraknya calo itu diakui oleh Agustini, kerabat Asiyah. Dimana Asiyah yang tidak punya keterampilan, tertarik bujuk rayu calo lantaran tidak punya pekerjaan. Selain itu, kondisinya yang menjanda, dimanfaatkan agar mau bekerja di luar negeri.
“Ketika mendapat kontak pertama darinya (Asiyah), kami berusaha melacak perusahaan yang memberangkatkannya. Tapi ternyata kantor tersebut sudah tutup. Sehingga keluarga kebingungan, dan akhirnya berinisiatif untuk melapor ke Disnaker,” terang Agustini.
Lebih lanjut Sigit menuturkan, kasus kekerasan pada Asiyah, TKW asal Desa Tulupari, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo, menjadi pelajaran bagi semua pihak. Kenyataannya, banyak calo TKW yang berkeliaran ke pelosok desa, untuk mencari tenaga kerja. Di antaranya, ada yang benar legal, dan ada pula yang ilegal.
Agar masyarakat lebih berhati-hati ketika akan bekerja sebagai TKI. “Ya karena itu tadi, harus paham birokrasinya terlebih dahulu, legal atau ilegal. Selain itu, harus punya kemampuan lebih, jangan asal bisa masak nyuci dan setrika saja,” uharapnya.
Dari Kabupaten Probolinggo sendiri, selama tiga tahun terakhir, sedikitnya ada 29 orang yang bekerja di luar negeri. Sementara dari jalur ilegal, tidak diketahui berapa jumlahnyam tambaghnya.(Wap)

Tags: