Masih Ada Harapan untuk Demokrasi Kita

Miftahul UlumOleh:
Miftahul Ulum
Wakil Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur dari Fraksi PKB

Beberapa waktu terakhir ini, konstelasi politik terus mempertontonkan perebutan kekuasaan an sich, yang diperankan para wakil rakyat di senayan dan elit-elit parpol. Tontonan yang sangat tidak mendidik itu, meminjam istilah Eki Syachruddin-menjemur celana dalam di halaman: mempermalukan diri sendiri di ruang publik-itu disaksikan seluruh bangsa Indonesia.
Hampir semua stasiun televisi kita menayangkannya. Cekcok politik yang disutradarai oleh Koalisi Merah Putih (KMP), seolah-olah memberi gambaran bahwa dalam politik itu tak ada yang salah, yang salah hanya kekalahan, semua hal dapat dilakukan untuk mencapai kepentingan diri dan kelompoknya. Tak ayal, bila “kisruh” ini telah menyumbang bagi semakin buruknya citra anggota dewan di mata masyarakat.
Coba kita ingat, bagaimana kekisruhan yang terjadi pada sidang paripurna perdana  DPR RI untuk memilih pimpinan DPR (01/10), yang saat itu sidang dipimpin searah oleh Popong Otje Djunjunan (Golkar) dan didampingi Ade Rezki Pratama (Gerindra). Karena itulah, dengan mulus koalisi ini memenangkan paket pimpinan DPR RI, yaitu Setya Novanto (Golkar) sebagai ketua, berikut empat wakilnya, Agus Hermanto (Demokrat), Fadli Zon (Gerindra), Taufik Kurniawan (PAN), dan Fahri Hamzah (PKS). Melalui paket pimpinan tersebut, Koalisi Merah Putih berhasil mengalahkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH)-yang terdiri dari PDIP, PKB, Nasdem, dan Hanura-yang memilih walk out (WO).
KMP kembali memenangkan pertarungan politik ketika mereka berhasil menduduki kursi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) setelah mengalahkan paket pimpinan MPR yang diusung KIH melalui mekanisme voting dengan perolehan suara 347 berbanding 330 (07/10). Diantara paket pimpinan yang diajukan KMP minus PPP plus DPD tersebut, Zulkifli Hasan (PAN) sebagai ketua MPR, sementara empat wakilnya, Ever Ernest Mangindaan (Demokrat), Mahyudin (Golkar), Hidayat Nur Wahid (PKS) dan Oesman Sapta (DPD).
Strategi politik merebut kekuasaan yang dilakukan oleh KMP-setelah sebelumnya menelan kekalahan dari KIH pada pilpres-begitu sistematis. Namun siapa menduga kalau pada akhirnya upaya-upaya politik yang mereka lakukan, ternyata hanya untuk merebut kekuasaan, demi membangun kekuasaan oligarkis yang pada akhirnya akan menyuburkan praktek-praktek koruptif dan nepotistik belaka.
Praktek-praktek politik kotor ini bisa dilihat sedari mereka memperjuangkan dan memenangkan UU DPR, DPRD, dan DPD (MD3), lalu disusul dengan kemenangan hasil voting RUU Pilkada via DPRD yang juga mereka dukung. Terlebih ketika mereka menyapu bersih kekuasaan di senayan, dan tak satu paket pimpinan pun yang mereka sisakan untuk partai pemenang dalam pilpres (PDIP). Karena itu, patut dipertanyakan komitmen KMP untuk menjadi oposisi konstruktif dalam bangunan demokrasi presidensiil dengan menjalankan sistem checks and balances. Karena fakta yang mereka bangun adalah politik balas dendam memalui perampokan kekuasaan di parlemen.
Track record politik kotor semacam ini pernah mendapat “legitimasi” filosfis dan politis dari Niccolo Machiavelli (1469-1527). Filsuf kelahiran Italia itu pernah memberikan justifikasi kepada Cesare Borgia, seorang yang sangat ambisius, gila kuasa, dan tak punya rasa bersalah. Dia ingin merebut kekuasaan di Italia yang saat itu dikuasai oleh Paus Julius II. Baginya, Cesare adalah contoh model pangeran yang bisa memerankan dan tahu cara bermain dengan kuasanya sekalipun dengan praktek-praktek yang licik.
Dalam bukunya Il Prince ia berkelakar: “Seorang pangeran harus bisa bermain baik sebagai manusia maupun sebagai binatang buas….” Hal ini diungkapkannya ketika berbicara hubungan politik dan moralitas. Baginya seseorang tak perlu benar-benar bermoral untuk merebut kekuasaan atau mempertahankannya, yang ia butuhkan hanya berpura-pura menjadi moralis sejati.
Secara diam-diam sebagian elit kita di parlemen menjadi politkus machiavellian yang pragmatis nan oportunis. Hanya saja apa yang dilakukan Machiavelli diartikan secara an sich dan dalam prakteknya salah kaprah. Benar, Machiavelli memang sengaja memasang kamuflase moral untuk meraih kuasa, tetapi jangan lupa, di lain pihak dia juga menyematkan niat dan tujuan yang baik. Dalam  hal keamanan (security) misalnya, baginya kalau keadaan mendesak, upaya-upaya militeristik juga diperlukan untuk menstabilitaskan keamanan negara. Artinya, sekalipun kekuasaan sekilas diraih dengan jalan kotor nan penuh praktek-praktek hipokrit, tetapi maksud dan tujuan yang ingin dicapai harus benar-benar baik; semua untuk kepentingan negara dan rakyat. Niat baik inilah yang tidak ditemukan pada kubu KMP.
Justru yang benar-benar terlihat membela dan memperjuangkan hak rakyat; kepentingan rakyat adalah fraksi-fraksi yang berada di kubu KIH. Mereka benar-benar memperjuangkan kedaulatan rakyat, dan memang begitulah seharusnya pemimpin rakyat, selain demokrasi memang mengarahkan pada kepentingan rakyat: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (baca: demokrasi).
Bagaimana niat dapat dikategorikan baik? Filsuf kelahiran Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), dalam teori deontologi-nya memberi penjelasan: baginya yang membuat niat itu menjadi baik adalah ketika bertindak  berdasarkan “kewajiban”, yang kemudian ia menyebutnya dengan “legalitas”. Pada intinya, suatu perbuatan bisa dianggap baik, manakala dilakukan atas dasar ketundukan pada hukum moral, dan apa yang dilakukan oleh KIH selama beberapa waktu terakhir adalah upaya mentaati konstitusi sebagai payung utama dalam bertindak di sebuah negara demokratis.
Oleh karena itu, melihat terbelahnya dua model perebutan kekuasaan yang dipertontonkan akhir-akhir ini, dimana di satu sisi terdapat kelompok elit yang memaknai politik sebagai perebutan kekuasaan ansich, dan di sisi lain, masih ada kelompok aktivis yang menjadikan kekuasaan sebagai pengabdian kepada umat, demi mewujudkan kebangkitan bangsa. Singkatnya, masih ada harapan untuk masa depan demokrasi kita yang lebih baik. Karena kebenaran dan keinginan publik pasti akan mendapatkan kemenangannya.

                                                          —————————– *** ——————————–

Tags: