Melek Bencana Harus Dibudayakan

Oleh:
Arif Lukman Hakim
Kepala Bagian Media dan Dokumentasi Biro Humas dan Protokol Pemprov Jawa Timur 

Belum sembuh luka akibat bencana gempa bumi di pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, bencana serupa dengan korban jiwa yang lebih besar kembali melanda bangsa ini. Kali ini musibah menimpa saudara-saudara kita yang bermukim di Palu dan Donggala Sulawesi Tengah.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, hingga Senin (8/10) sore, korban tewas sudah mencapai 1.948 jiwa. Selain korban meninggal, jumlah korban luka berat juga bertambah menjadi 10.679 orang. S835 orang hilang yang diperkirakan masih tertimbun di bawah reruntuhan bangunan akibat gempa dan tsunami.
Selain itu, gempa bermagnitudo 7,4 SR yang terjadi Jumat (28/9/2018) tersebut mengakibatkan 74.444 mengungsi di 147 titik. Dilaporkan pula, 65.733 rumah dan 2.736 sekolah rusak. Ditambah lagi, terdapat 7 fasilitas kesehatan rusak berat, terdiri dari 1 rumah sakit dan 6 puskesmas. Jumlah tersebut masih sangat mungkin bertambah, lantaran Tim gabungan masih terus melakukan pencarian dan evakuasi korban akibat gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Fokus pencarian korban kini tertuju pada dua wilayah yang terdampak cukup parah, yakni Balaroa dan Petobo, di Palu.
Di negeri ini, bencana, terutama gempa bumi seolah menjadi menu harian. Masalahnya, kita tak pernah belajar dari setiap bencana yang terjadi. Akibatnya, jumlah korban jiwa akibat bencana gempa bumi tak pernah bisa ditekan. Padahal sejatinya banyak langkah untuk meminimalkan jumlah korban, yang diawali dengan “melek”nya kita terhadap potensi timbulnya bencana.
Menuju itu, perlu langkah-langkah sistematis, terprogram, dan massif. Membangun masyarakat melek bencana mutlak harus dilakukan. Budaya agar masyarakat sadar bencana bisa ditumbuhkan. Kuncinya adalah kepedulian semua pihak. Pemerintah, swasta, dunia pendidikan, tokoh adat, hingga lembaga swadaya masyarakat bisa berperan dari sisi masing-masing untuk membangun budaya tersebut.
Dari sisi pendidikan misalnya, bisa dimulai dari penambahan muatan lokal pada kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah. Bisa juga dengan mengadakan pelatihan mitigasi bencana. Sedangkan dari sisi budaya, bisa dengan menumbuhkan kembali kearifan-kearifan lokal yang menjadi mitos masyarakat setempat.
Kearifan Lokal
Satu hal lagi yang sangat diperlukan untuk membuat masyarakat sadar akan bencana adalah menumbuhkan kembali kearifan lokal. Kearifan lokal diakui berperan dalam mengantisipasi kemungkinan timbulnya bencana. Banyak cerita yang dibawa oleh nenek moyang kita mengenai kebiasaan bencana yang terjadi di daerah dan itu merupakan pengetahuan tersendiri dalam menghadapi tanggap bencana.
Salah satunya adalah dengan mencipta berbagai mitos yang mengerikan sehingga warga takut melanggarnya. Contoh saja, di seputar sumur atau mata air selalu ditumbuhi pohon beringin, dan para sesepuh biasa mengeramatkan pohon beringin tersebut. Akibatnya mata air selalu terjaga karena pohon besar itu berfungsi sebagai pelindung.
Di beberapa daerah juga terdapat aturan warga dilarang membawa beberapa jenis kayu tertentu walau itu sebesar jari telunjuk. Juga dilarang menyusun kayu dalam keadaan basah. Bila dicermati, kedua mitos tersebut banyak manfaatnya. Sebagian besar jenis kayu yang masuk dalam larangan berada di hutan dekat desa. Dengan demikian pantangan ini menyelamatkan hutan sehingga terhindar dari tanah longsor. Pantangan kedua, menahan penduduk untuk menebang pohon (atau bagian-bagiannya) yang masih hidup. Dengan demikian mengharuskan penduduk hanya untuk mencari kayu yang benar-benar kering sehingga memaksa penduduk untuk tidak menebang pohon.
Mitos lain, seperti yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat Pulau Simeleu, Aceh. Ketika tsunami menghantam Nanggroe Aceh Darussalam, ratusan ribu orang tewas, bangunan luluh lantak. Tapi, pulau Simeulue, yang berada di tengah-tengah Samudera Hindia justru relatif aman dari tsunami, hanya 6 warga yang tewas.
Hal itu dikarenakan penduduk setempat memiliki kearifan lokal tentang tsunami sehingga tahu bagaimana upaya penyelamatan diri saat tsunami mengancam. Mereka memiliki budaya tutur yang menggambarkan tanda-tanda tsunami akan muncul dan bagaimana cara menyelamatkan diri. Intinya, ada pesan leluhur jika terjadi gempa begitu hebat disusul air laut yang surut, jangan berlari ke tepi pantai. Namun, berlarilah ke gunung atau ke tempat yang lebih tinggi sebagai upaya untuk menyelamatkan diri.
Membudayakan masyarakat agar “melek” bencana tentu tak bisa dilakukan secara instan. Semua itu membutuhkan proses dan waktu yang panjang. Namun, dengan kerjasama yang baik dan kesungguhan dari berbagai pihak, tujuan tersebut tidaklah sulit untuk terwujud.

———— *** ————-

Rate this article!
Tags: