Memaknai Kontroversi PP “Aborsi”

Oryz SetiawanOleh :
Oryz Setiawan, S.KM
Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Upaya legalisasi tindakan aborsi sudah terjadi di depan mata, ketika pemerintah baru-baru menyesahkan Peraturan Pemerintah (PP) No.61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Aturan tersebut merupakan instrumen pelaksanaan dari UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang secara spesifik tertuang dalam Pasal 75 ayat 1 UU No.36 Tahun 2009 dimana mengatur masalah aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan. Dalam pasal tersebut juga berisi larangan aborsi kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban. Menurut PP tersebut aborsi adalah penghentian kehamilan sebelum usia janin 20 minggu atau berat janin 500 mg (WHO). PP tentang Kesehatan Reproduksi ini memang lebih dimaknai sebagai PP tentang aborsi bagi masyarakat awam mengingat lingkup indikasi kedaruratan medis sangat terkait erat dengan apa, bagaimana dan dampak tindakan aborsi bagi kesehatan maupun dalam konteks tinjauan sosial kekinian.
Indikasi kedaruratan medis terbagi menjadi dua pihak yaitu bagi kehamilan (ibu) dan bagi janin. Indikasi kedaruratan medis bagi kehamilan meliputi : penyakit-penyakit fisik pada perempuan yang secara kesehatan akan semakin parah apabila kehamilan dilanjutkan, kehamilan yang disertai dan akan menyebabkan gangguan kejiwaan berdasarkan pendapat dokter atau psikolog serta kehamilan akibat perkosaan, yakni pemaksaan secara fisik dan non fisik secara seksual, baik dalam ikatan keluarga maupun diluar ikatan keluarga. Untuk korban perkosaan, usia kehamilan dibawah 40 hari terhitung dari hari pertama haid terakhir. Sedangkan indikasi kedaruratan medis bagi janin meliputi : kelainan pada janin jika diketahui janin karena menderita penyakit-penyakit atau cacat bawaan dimana tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan kelak. Angka kematian akibat aborsi sekitar 11 % dari angka kematian ibu hamil dan melahirkan. Ironisnya sebagian besar aborsi remaja katagori illegal yang sangat berresiko berakhir dengan kematian. Berbagai cara praktek aborsi antara lain : dengan pemakaian jamu, mengkonsumsi obat-obatan, tenaga dukun bayi, dukun pijat dan kuretase (sedot, sendok kuret)
Sejumlah kalangan memperkirakan jumlah remaja yang melakukan tindakan aborsi mencapai 5 juta kasus per tahun. Aborsi juga dapat dimaknai dengan “komoditas ekonomi” dalam bentuk jasa layanan meski dilakukan secara tersembunyi dan tidak mencantumkan kata aborsi dalam menjaring konsumen terutama di wilayah perkotaan dan kota-kota besar. Tak jarang tenaga-tenaga kesehatan juga terlibat dalam praktek illegal yang tak mengindahkan etika dan prinsip-prinsip profesionalisme demi meraup keuntungan materi yang sebesar-besarnya. Dari perspektif agama, terjadi transformasi pemahaman terhadap fenomena aborsi. Beberapa ormas keagamaan dahulu menyatakan bahwa aborsi yang diperbolehkan adalah aborsi dengan alasan medis (indikasi kedaruratan medis) sedangkan aborsi dengan alasan selain medis diharamkan alias dilarang. Namun seiring dengan perubahan waktu terjadi “penambahan” yakni korban perkosaan yang berakibat pada kehamilan.
Padahal pelayanan tindakan aborsi yang bermutu, aman dan bertanggung jawab adalah pelayanan aborsi yang dilakukan oleh tenaga medis terlatih, ditempat/klinik yang terdaftar, menggunakan metode dan peralatan yang memenuhi standar WHO, tidak diskriminatif dan tidak mengutamakan imbalan materi daripada indikasi medis. Pada prinsipnya, tindakan aborsi mengacu pada aspek kegawatdaruratan yang semata-mata hanya berorientasi pada aspek keselamatan nyawa sang ibu dan si calon bayi yang berdampak pada kehidupan di masa depan. Tindakan aborsi merupakan salah satu problem kesehatan reproduksi yang acapkali dikaitkan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan serta berdampak serius dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam konteks hukum, tindakan aborsi dikatagorikan sebagai tindak pidana sehingga pelaku dan pihak-pihak yang membantu melakukannya juga dikenakan hukuman. Namun apa yang terjadi justru hukuman pidana seakan tak mempan untuk memberikan efek jera pada para pelaku maupun pihak-pihak yang melakukan tindakan aborsi.
Pendekatan Strategi
Salah satu strategi yang paling efektif dalam upaya untuk mencegah terjadinya praktek tindakan aborsi adalah memberikan sosialisasi dan pemahaman tentang resiko melakukan praktek pra-nikah atau seks bebas yang menjadi sebab utama terjadinya aborsi. Semua berawal dari lingkungan keluarga dalam upaya melakukan pengawasan orang tua terhadap anak agar tidak terjebak dalam pergaulan bebas maupun penyimpangan perilaku di lingkungan teman sebaya dan di masyarakat luas. Namun ketika ‘nasi sudah menjadi bubur’ yang terbatas pada penghakiman terhadap korban aborsi, inilah pekerjaan rumah bagi pemerintah, pendidik hingga kompenen masyarakat yang menjunjung tinggi etika dan adab ketimuran. Jangan sampai anak-anak kita menjadi korban yang disebut MBA (married by accident) yakni melakukan pernikahan ketika setelah hamil dahulu. Aspek pendidikan moral dan akhlak serta pegangan agama menjadi salah satu kunci untuk mencegah kemungkinan resiko-resiko yang mengarah pada terjadinya kehamilan diluar ikatan perkawinan yang sah yang berpotensi mengakibatkan terjadinya praktek-praktek aborsi.

——————————- *** ———————————-

Rate this article!
Tags: