Memaknai Mutasi Virus Corona

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Dua Maret kemarin genap satu tahun kasus corona kali pertama ditemukan di Indonesia yang dimulai ketika Sita dan ibunya diumumkan sebagai pasien pertama Corona oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020 di Istana Negara. Mereka kemudian dirawat selama dua minggu lebih di RSPI Sulianti Saroso, kini uniknya pada hari yang sama, Wakil Menteri Kesehatan mengungkap varian baru atau strain B117 UK Mutation atau VUI 202012/01 adalah nama varian virus corona yang merebak di Inggris hingga menyebar di 19 negara di Eropa seperti Belanda, Italia, Jerman, dan Perancis, negara-negara di Asia mulai dari Malaysia, Filipina, dan Singapura sampai ke Afrika Selatan hingga kini telah masuk di Indonesia. Meski dinyatakan tidak lebih berbahaya dari sebelumnya namun tingkat infeksivitas lebih cepat menular. Memang varian baru virus corona di Inggris terus bermunculan. Temuan tersebut menimbulkan kekhawatiran baru di dunia sehingga merupakan tantangan baru bagi penanganan pandemi COVID-19 baik di dunia maupun di tanah air.

Di sisi lain, upaya akselerasi pengembangan riset yang semakin cepat terutama proses-proses yang berkaitan dengan riset yang semakin cepat, studi-studi epidemiologis secara analitis sehingga mampu mengimbangi kecepatan mutasi virus. Dengan kata lain, semakin intensif penelitian virus SARS-CoV-2, semakin banyak pengetahuan, kajian, penelitian masif menyangkut cara penularan virus corona jenis baru itu. Pada dasarnya hal ini sangat melegakan, pasalnya pandemi bisa diperangi secara lebih terarah dan terfokus. Ibarat pandemi merupakan musuh bersama (public enemy). Sesungguhnya mutase virus bukanlah sesuatu yang baru, memang karakteristik virologi, epidemiologi, dan klinis, virus mudah bermutasi atau “memodifikasi diri” sesuai kondisi dan sifat genuisitasnya, termasuk substitusi asam amino meski tidak memengaruhi fungsi protein. Secara penelitian terhadap perjalanan klinis bahwa mutasi varian B117 ini memiliki sifat 70 persen mudah menular namun tidak memiliki tingkat keparahan yang signifikan atau peningkatan risiko kematian.

Namun demikian bahwa varian baru ini tetap akan terdeteksi menggunakan uji PCR (Polymerase Chain Reaction) yang mampu mendeteksi gambaran morfologis (struktur tubuh) seperti spike (bentuk mirip paku-paku yang menancap pada permukaan virus corona). Oleh karena karakteristik yang demikian sehingga kita tidak pernah bisa tahu kapan pandemi berakhir, namun pendekatan parameter epidemiologi setidaknya dapat memprediksi kasus dalam rangka pengendalian penyakit. Keberadaan riset untuk melakukan inovasi yang mempunyai model-model akselerasi yang makin cepat seperti alat diagnosis dan screening, termasuk aspek pengobatan yang harus diakselerasi seiring dengan peningkatan jumlah kasus.

Makna Tren Kasus

Sejak pemerintah memberlakukan Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) secara mikro yang dimulai Jawa-Bali memang secara gradual jumlah kasus mengalami penurunan. Namun kondisi tersebut belum sepenuhnya menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Artinya data tersebut harus dikonfirmasi dan didukung oleh aspek lain seperti kecepatan testing dan tracing yang semestinya terus meningkat, jika tidak, tentu angka-angka penurunan tersebut masih bersifat semu. Di saat yang sama, konsentrasi tenaga kesehatan adalah percepatan pelaksanaan program vaksinasi secara masif sehingga bisa jadi fokus testing dan testing justru dikawatirkan mengalami kedodoran. Sebab kini beban tenaga kesehatan terus bertambah bahkan mengalami overload, mulai dari menggalakan upaya deteksi, pelacakan kasus, perawatan hingga target cakupan luasan vaksinasi di tiap-tiap wilayah. Inilah yang harus diwaspadai dalam “membaca” data kasus penyakit menular.

Selain itu terdapat faktor lain yang perlu diwaspadai dalam laju penyebaran Covid-19 yakni istilah superspreader, yakni individu yang terpapar virus corona, kemudian mampu menulari orang lain dalam jumlah besar sehingga sangat mudah menulari orang lain bertemu banyak orang dalam ruang sempit, dalam waktu singkat akan banyak orang yang tertular. Superspreader ini memiliki peran sosial yang sangat krusial dalam menaikkan kurva jumlah kasus. Selanjutnya dalam perkembangannya bertransformasi menjadi microspreader. Dalam perspektif sosiologis, microspreader adalah orang-orang biasa pada umumnya yang berpotensi menulari orang lain dalam jumlah yang relatif lebih sedikit (dua atau tiga orang saja) namun demikian secara kuantitas microspreader ini sangat banyak dan ada di mana-mana, seperti di kluster keluarga, pengajian, hajatan hingga perkantoran.

Saat ini sumber daya kesehatan yang terdiri dari 440.000 tenaga kesehatan dan 23.000 vaksinator, 10 ribuan puskesmas, di hampir 3 ribu rumah sakit dan 300 ribu posyandu berjibaku untuk melayani vaksinasi dalam rangka mengerem laju penularan secara masif sekaligus memberikan kekebalan komunitas (herd immunity) minimal 70 persen penduduk Indonesia. Tantangan ini harus dihadapi mengingat masih terdapat beberapa kelompok masyarakat yang menentang vaksin termasuk faktor ketakutan, belum memahami hingga kelompok yang memang secara medis tidak diperbolehkan dilakukan vaksin seperti komorbid, dalam pengobatan khusus dan lain-lain. Berdasarkan uji efikasi vaksin Covid-19 saat ini masih dinilai efektif untuk varian B117 sehingga percepatan pelaksanaan vaksinasi secara masif menjadi prioritas paralel dengan upaya percepatan peningkatan jumlah testing dan tracing sehingga mampu menggambarkan tingkat pengendalian kasus secara realible dan bermakna.

——— *** ———

Rate this article!
Tags: