Memaknai Tes Kesehatan Paslon Pilkada

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2018 sudah memasuki tahapan pengecekan berkas administratif diteruskan tes uji kesehatan masing-masing pasangan calon (paslon). Sesuai aturan tahapan pilkada bahwa waktu pemeriksaan kesehatan berlangsung 8 – 15 Januari 2018, dan penyampaian hasil pemeriksaan kesehatan adalah 15 -16 Januari 2018. Momentum uji atau tes kesehatan menjadi salah satu titik kritis pada tahapan pilkada bagi setiap calon, tak jarang seorang bakal calon terganjal pada tahapan tersebut bila tidak disikapi dengan cermat dan hati-hati, mengingat aspek kesehatan menjadi salah satu syarat dan kriteria wajib bagi paslon sebagai calon pemimpin suatu daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Logika sederhana, seorang pencari kerja yang akan melamar pekerjaan tentu juga diwajibkan untuk pemeriksaan kesehatan sebagai salah satu syarat diterima.
Sebab pada hakekatnya tidak ada instansi maupun perusahaan apapun yang menerima seorang calon pekerja yang tidak sehat sehingga kelak justru akan membebani perusahaan nantinya. Selain itu, juga tidak ada permasalahan kesehatan atau penyakit yang diidap nantinya berpotensi menular pada teman sekerja misalnya. Nah, dapat konteks tersebut sangat rasional bila seorang calon pemimpin dituntut “lebih” dari sekedar sehat namun harus ditunjang kapabilitas, integritas, tegas dan inovatif dalam membangun daerahnya. Untuk itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menggandeng instansi terkait yang berwenang untuk mendukung dalam pelaksanaan tes kesehatan paslon antara lain : Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Himpunan Psikolog Indonesia (Himpsi).
Dalam tes kesehatan tentu menarik untuk disimak mengingat pada even Pemilu tahun 2004 misalnya bagaimana KPU melalui Keputusan IDI menyatakan kesehatan bahwa Gus Dur pada saat itu sebagai bacapres dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dalam uji kesehatan sehingga harus gugur pada tahapan yang mengacu pada klausul bahwa seorang capres dan cawapres harus “mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden”.Berkaca pada kasus tersebut perlu pemahaman bahwa tes kesehatan diperlukan untuk mengecek dan memastikan tidak ditemukan kelainan-kelainan, baik dari segi fisik ataupun mental. Jika dilihat secara kasat mata dan observasi sehari-sehari, sulit untuk melihat gangguan kejiwaan yang tidak terekam observasi sehari-sehari sehingga dibutuhkan pemeriksaan detil, mungkin ditemukan gangguan yang tidak terdeteksi oleh pengamatan secara kasat mata, baik fisik atau jasmani.
Selain pemeriksaan fisik secara menyeluruh juga dilakukan tes kejiwaan, kepribadian atau psikologi atas paslon berupa tes Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI). MMPI adalah tes psikometri yang digunakan untuk mengukur psikopatologi “penyakit kejiwaan” orang dewasa di dunia . Tes ini merupakan salah satu tes kepribadian yang sering digunakan dalam mengukur kesehatan mental seseorang. Tujuan dari tes ini adalah memberikan gambaran tentang dimensi-dimensi kepribadian dan psikopatologi yang penting dalam klinik psikiatri secara akurat dengan kata lain untuk mengetahui kepribadian seseorang, terutama gangguan-gangguan psikologis yang ada di dalam diri seseorang calon pemimpin daerah baik level provinsi, kabupaten maupun kota. Dengan tes tersebut harapannya tentu bila ada gangguan masalahan kesehatan yang serius yang bisa menjadi penghambat untuk tugas-tugas calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah nantinya.
Hanya Hasil, Bukan Rekam Medis
Memang aspek kesehatan merupakan salah satu prasyarat yang krusial mengingat sifat otoritasnya diserahkan pada Tim Kesehatan sehingga KPU sebatas memperoleh simpulan hasil apakah layak atau tidak layak, mampu atau tidak mampu, secara jasmani dan rohani melakukan aktivitas sebagai calon kepala daerah. Sebab bisa jadi seorang calon misalnya mengidap salah satu penyakit, diabetes misalnya maka tidak serta dinyatakan tidak memenuhi syarat, tentu tim medis tentu sudah mengukur berdasarkan klasifikasi, indikasi medis, serta aspek lain dalam ranah medistis termasuk aspek penunjang medis. Pada prinsipnya bahwa otoritas atau kewenangan atas pemeriksaan sepenuhnya berada pada pihak medis tentu disandarkan atas fakta medis yang diperoleh saat pemeriksaan kesehatan paslon. Mengenai detail hasil informasi ke publik hanyalah sebatas itu namun untuk hasil pemeriksaan medis termasuk rekam medis merupakan informasi yang dikecualikan seperti juga pada umumnya sifat rekam medis karena sudah menyangkut pribadi seseorang yang juga dilindungi secara aturan.

———- *** ———-

Rate this article!
Tags: