Membangun Jurnalisme Damai

(Sebuah Refleksi Hari Perdamaian Internasional)

Oleh:
Mahathir Muhammad Iqbal
Dosen Studi Pemerintahan Universitas Islam Raden Rahmat Malang

Harus diakui, bahwa orientasi pemberitaan pers, ditengarai kerap mengedepankan unsur eskalasi konflik. Ini tidak terlepas dari keberadaan pers sebagai institusi modal yang haus laba. Akibatnya, produk media media berita lebih banyak diperlakukan sebagai komoditas yang memenuhi prinsip pasar ekonomi. Tak heran jika pengkritik jurnalisme damai berargumen bahwa pers hanyalah sekedar memantulkan bayangan yang ada di masyarakat. Jika masyarakat, dimana pers hidup, adalah masyarakat yang gemar kekerasan, seks atau kriminalitas, maka pers akan menjadi pelayan setia dengan menghadirkan suguhan-suguhan berita sesuai “selera” masyarakat. (Sirait, 2007: VIII).
Sudah tentu gambaran tersebut terlalu karikatural. Yang dilupakan pengkritik jurnalisme damai adalah pers juga diimpikan sebagai moulder of reality, yang memiliki saham untuk membentuk “wajah masyarakat” yang damai. Bertolak dari keyakinan ini , jurnalisme damai menjadi sebuah keniscayaan. Dalam konteks Kabupaten Malang, keniscayaan itu terkait dengan peran jurnalis untuk mendorong dan memperkuat perdamaian. Sudah tentu lewat produksi fakta media, terutama media cetak.
Jurnalis memang memiliki peran strategis untuk menginformasikan dan memperkuat usaha-usaha membangun tali silaturahmi atau yang dikenal dengan program reintegrasi. Untuk itu, sebagai pelaku jurnalisme damai, jurnalis dituntut untuk mentransformasikan peran mereka agar tidak sekedar sebagai pewarta informasi. Tapi juga pengemas informasi bermuatan penuh makna untuk mendorong seluruh elemen bangsa untuk menjaga tali silaturahmi.
Aceh, misalnya, yang sebelumnya tenggelam dalam kancah pertikaian dan konflik bersenjata yang berkepanjangan, yang telah merenggut tidak kurang dari 25 ribu jiwa rakyatnya, ditambah lagi dengan terjadinya bencana gempa bumi dan gelombang tsunami 26 Desember 2004 lalu, kini wajah Aceh yang tadinya hancur dan porak-poranda dilanda bencana itu, kini tampak mulai berubah. Kedukaan pelan-pelan sudah berganti semangat ingin bangkit dan upaya membangun kembali.
Satu hal dari banyak hal yang menyebabkan wajah Aceh berubah ialah kontribusi jurnalisme damai. Jurnalisme damai yang kita nilai sebagai satu konsep pers ideal, tampaknya lebih dapat diterima oleh sebagai elemen masyarakat setempat. Sebab, dari berbagai literatur yang ada, kita melihat bahwa jurnalisme damai lebih netral (tidak memihak), tidak sporadis, dan lebih mengutamakan sisi-sisi kemanusiaan dibandingkan dengan jurnalisme perang, yang ternyata sudah demikian banyak merenggut semangat dan jiwa para jurnalis itu sendiri. (Sirait, 2007: 132-134).
JURNALISME DAMAI
Jurnalisme damai bukan barang baru. Pendekatan kerja jurnalis ini digagas oleh Profesor Johan Galtung, ahli studi pembangunan, pada 1970-an. Galtung merasa “miris” melihat pemberitaan pers yang mendasarkan kerja jurnalistiknya secara hitam putih: kalah-menang. Pola kerja jurnalistik seperti ini dia sebut sebagai jurnalisme perang.
Jurnalisme perang lebih tertarik pada konflik, kekerasan, korban yang tewas, dan kerusakan material. Pola seperti ini juga yang banyak dianut infotaiment, yang lebih suka mendasarkan kerjanya pada konflik rumah tangga selebritis.
Penganut jurnalisme perang enggan menggali asal-usul konflik, mencari alternatif-alternatif penyelesaian, berempati pada akibat-akibat kemanusiaan yang ditimbulkannya. Jurnalisme perang lebih suka memperjauh jarak pihak berkonflik dalam kerangka kalah-menang, bukan mendekatkan keduanya untuk berdamai.
Jurnalisme damai melihat perang atau pertikaian bersenjata sebagai sebuah masalah, sebagai ironi kemanusiaan yang tidak seharusnya terjadi. Dalam konteks ini, jurnalisme damai pada dasarnya adalah seruan kepada semua semua pihak memikirkan hikmah konflik. Yaitu dengan senantiasa menggaris bawahi kerusakan dan kerugian psikologis, budaya dan struktur dari kelompok masyarakat yang menjadi korban konflik atau perang.
Jurnalisme damai lebih mementingkan empati kepada korban-korban konflik daripada liputan kontinyu tentang jalannya konflik. Jurnalisme damai memberi porsi sama kepada semua versi yang muncul dalam wacana konflik. Jurnalisme damai juga berusaha mengungkapkan ketidakbenaran di kedua belah pihak, bahkan kalau perlu menyebutkan nama pelaku kejahatan (evil-doers) di kedua belah pihak.
Pendekatan jurnalisme damai memberikan sebuah tawaran baru yang menghubungkan para jurnalis dengan sumber-sumber berita dan informasi, liputan yang dikerjakan, dan berbagai konsekuensi dari liputan dimaksud. Pergeseran nilai, kesadaran dan pengetahuan dari audience, menjadikan perkembangan konsekuensi menjadi lebih luas, tidak hanya pada konsekuensi etis jurnalis saja, melainkan dampak hukum dan dampak hak asasi manusia.
Jurnalisme damai diharapkan menjadi salah satu referensi bagaimana seorang jurnalis dituntut untuk mampu mentransformasikan fakta dan realitas konflik sebagai realitas media, untuk menjadi bank data wacana yang diharapkan tidak menciptakan potensi menggagas konflik dan perpecahan dalam jangka pendek maupun panjang. Jurnalisme damai dilaksanakan dengan standar jurnalisme modern, yaitu memegang asas imparsialitas dan faktualitas dengan prinsip-prinsip menghindarkan kekerasan.
Dalam alam demokrasi di Indonesia sekarang ini, sudah saatnya harus berkembang budaya, bahwa suatu kebenaran adalah milik bersama, tidak bisa diklaim oleh hanya satu pihak saja, tetapi harus dikonfirmasi menurut kebenaran pihak lain. Asas imparsialitas seperti inilah yang dipergunakan jurnalisme damai untuk melihat satu persoalan dari beberapa perspektif berbeda. Perspektif itu melihat kemungkinan adanya pengungkapan akar masalah yang terkait dengan sejarah, psikologi, sosial, budaya dan lainnya. Dengan demikian media akan mampu mengungkap fakta lebih komperehensif dan holistik agar dapat menganalisis dan memetakan masalah untuk memunculkan berbagai alternatif solusi. Melalui strategi publikasi yang tepat, maka jurnalisme damai tidak menjadi bagian dari konflik, tapi berperan aktif menjadi bagian dari solusinya.
Selanjutnya kebutuhan akan suatu kemasan yang manis terhadap suatu fakta konflik, sama artinya dengan menangkap ikan tanpa membuat keruh air di sekitarnya, itulah jurnalisme yang cerdas. Karena saat ini, jurnalisme tidak hanya dituntut mampu menciptakan iklim kondusif memberi suasana damai, tapi juga menjadi bagian dari proses mendidik dan mencerdaskan bangsa. Jurnalisme damai diharapkan menjadi keteladanan bagi khalayaknya untuk bersama-sama mencapai cita-cita menuju Indonesia Damai. Dan dengan merekonstruksi fakta-fakta yang ‘tidak kasatmata’ tersebut, para pihak yang bertikai, diharapkan akan segera menyimpan senjata mereka, dan memilih berunding lewat jalan beradab, bukan biadab. Jurnalisme damai memang sebuah intervensi. Tepatnya intervensi nilai perdamaian. Dan di kolong dunia ini, siapakah yang tidak merindukan sebuah masyarakat yang cinta perdamaian? Tentu semua menghendakinya, kecuali para produsen senjata dan mesin kekerasan.

                                                                                                    ———- *** ———–

Rate this article!
Tags: