Membela Kebebasan Beragama

Mahathir Muhammad IqbalOleh:
Mahathir Muhammad Iqbal
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Raden Rahmat Malang dan Peneliti Pada Lakpesdam PCNU Kota Malang

Siapa yang tak kenal Lukman Sardi? Bagi pecinta film nasional, nama Lukman Sardi adalah nama yang tak asing. Memulai karier sebagai aktor pada 1980 lewat film Anak-Anak Tak Beribu, 25 tahun kemudian, tepatnya melalui film Janji Joni, karirnya meroket melalui puluhan film hits di Tanah Air. Sebut saja di antaranya Gie, Nagabonar jadi Dua, Laskar Pelangi, Merah Putih, Soekarno: Indonesia Merdeka, sang pencerah,  hingga Negeri Tanpa Telinga yang rilis pada 2014 kemarin.
Tapi kini kita membicarakan Lukman Sardi bukan karena film yang pernah atau akan dibintanginya, tetapi terkait dengan “keberanian” Lukman Sardi dalam mengambil keputusan “kontroversial” dalam perjalanan hidupnya. Seperti dikutip dari video yang diunggah di situs YouTube pada 24 Mei 2015 lalu, Lukman yang awalnya beragama Islam, kini mantap memilih agama kristen.
Hal tersebut diungkapkan Lukman ketika memberikan kesaksian di acara ulang tahun Gereja Bethel Indonesia (GBI) Ecclesia. “Saya memilih menjadi percaya itu sekitar enam tahun yang lalu,” kisah Lukman Sardi.
Ditegaskan bintang Sang Pencerah itu, keputusannya tersebut juga bukan karena permintaan sang istri, Pricillia Pullunggono, melainkan hasil pencarian spiritualnya selama beberapa tahun terakhir.
Refleksi Pengalaman Ibrahim
Salah satu perjalanan intelektual dan spiritual Ibrahim as. adalah episode ketika dia mencari Tuhan. Pencariannya berakhir dengan sebuah temuan yang sampai pada tingkat keyakinan yang kokoh, bahkan menjadi hujjah di kemudian hari ketika dia berdebat dengan raja Namrudz dan pembesar-pembesar kaumnya, termasuk ayahnya. Kisah pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Ibrahim as. tersebut direkam oleh Allah dalam surat al-An’am [6]: 75-79, artinya: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin (75). Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam” (76). Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat” (77). Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (78). Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (79).”
Membela Kebebasan Beragama
Sebagai salah seorang figur publik, tentu Lukman sadar betul terhadap resiko yang akan dia terima terkait dengan keputusannya dalam berpindah keyakinan. caci maki dan pujian, pro dan kontra akan terus menggelinding bak bola salju saling silang berkelindan dalam perjalanan hidupnya.
Tapi sebagai pribadi dan manusia yang merdeka, saya amat sangat mengapresiasi keputusan Lukman tersebut. Setiap manusia berhak memilih setiap agama yang akan diyakininya. Tidak ada kekuatan apapun yang boleh dan bisa mengintervensinya. Apalagi jaminan kebebasan beragama telah dijamin dalam konstitusi negara RI.
Terlalu berlebihan jika pendapat tersebut dianggap sebagai omong kosong belaka. Pasalnya, dalam Undang-Undang Dasar (UUD) RI pada amandemen ke II memang dengan tegas tertulis bahwa negara menjamin setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Setidaknya, itu tertuang dalam pasal-pasal berikut. Pasal 28E ayat (1) yang menyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya….” dan Pasal 28E ayat (2) berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Selain itu, kebebasan beragama juga diatur dalam Pasal 29 ayat (2) bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Musdah Mulia berpendapat bahwa secara normatif kebebasan beragama mengandung delapan unsur. Pertama, kebebasan bagi setiap orang menganut agama atau kepercayaan atas dasar pilihan bebas, termasuk bebas berpindah agama atau kepercayaan. Kedua, kebebasan memanifestasikan agama atau kepercayaan dalam bentuk ritual dan peribadatan. Ketiga, kebebasan dari segala bentuk pemaksaan. Keempat, kebebasan dari segala bentuk diskriminasi. Negara wajib menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, jender, pilihan politik, dan sebagainya.
Kelima, kebebasan yang mengakui hak orang tua atau wali. Negara berkewajiban menghormati kebebasan orang tua dan wali untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka adalah sesuai dengan pemahaman agama mereka. Keenam, kebebasan bagi setiap komunitas keagamaan untuk berorganisasi atau berserikat. Ketujuh, kebebasan bagi setiap orang untuk memanifestasikan ajaran agama hanya dapat dibatasi oleh UU. UU dibuat demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain.
Kedelapan, negara menjamin pemenuhan hak kebebasan internal bagi setiap orang, dan itu bersifat non-derogability. Lebih lanjut, Musdah mengatakan, kedelapan unsur jika diimplementasikan dengan baik dalam kehidupan masyarakat akan terwujud suasana damai penuh toleransi. Setiap komunitas agama akan menghormati komunitas lain, dan mereka dapat berkomunikasi dan bekerja sama dalam suasana saling pengertian, penuh cinta kasih. Dalam konteks Indonesia yang multi-agama, prinsip kebebasan beragama tak hanya mempunyai landasan pijak dalam konstitusi dan UU nasional, melainkan juga berakar kuat dalam tradisi berbagai agama dan kepercayaan yang hidup ribuan tahun di Nusantara. (http://www.elsam.or.id/new/index.php?id=368&lang=in&act=view&cat=c/101/).
Kaelan dalam satu makalahnya yang berjudul “Relasi Negara dan Agama Dalam Perspektif Filsafat Pancasila” berpendapat bahwa setiap warga negara bebas berkeyakinan atau memeluk agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Kebebasan dalam pengertian ini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada domain privat atau pada tingkat individu. Selanjutnya ia menambahkan bahwa negara dalam hubungan ini cukup menjamin secara yuridis dan memfasilitasi agar warga negara dapat menjalankan agama dan beribadah dengan rasa aman, tentram dan damai.

                                                                                                     ———————– *** ———————–

Rate this article!
Tags: