Membumikan Kembali Nilai-Nilai Luhur Pancasila

Ani Sri Rahayu(Refleksi Hari Lahirnya Pancasila)

Oleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang

Tanggal 1 Juni kembali bangsa ini diingatkan akan hari lahirnya Pancasila. Diperingatinya hari lahirnya Pancasila ini, menggugah kita kembali untuk menyadari akan pentingnya dasar negara Pancasila sebagai filosofi dan ideologi pemersatu bangsa dan negara. Selain itu, lahirnya Pancasila erat berhubungan dengan lahirnya Indonesia sebagai suatu imajinasi sosial yang menghadirkan gambaran situasi yang ingin dituju (Setiawan, 2010).
Terkait fakta itu, Ir. Soekarno juga sangat jelas mengatakan, “Pancasila sebagai satu-satunya ideologi nasional progressif dalam revolusi Indonesia.” Artinya, dalam kerangka revolusi itu, Pancasila punya dua peran pokok: pertama, sebagai dasar yang mempersatukan bangsa Indonesia; Kedua, sebagai dasar yang memberi arah kepada perikehidupan, termasuk jalannya revolusi Indonesia.
Eksistensi Pancasila
Melalui hari lahirnya Pancasila setidaknya menjadi indikasi bahwa Pancasila harus menjadi kunci saksi dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun sayang, seiring dengan berjalannya waktu Pancasila sebagai mode dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus sebagai jalan mencapai tujuan keadilan dan kemakmuran tersebut, hanya dihadirkan secara sloganistik. Contoh, “Mari kita selamatkan Pancasila dari anasir pengkhianat bangsa”. Pancasila terkesan gagal, karena tidak membumi dalam perilaku sehari-hari.
Perjalanan sejarah Indonesia juga menunjukkan, Pancasila tak diimplementasikan dengan konsekuen dalam kebijakan politik, penegakan hukum, dan perilaku kehidupan berbangsa. Bila ditelisik, sebenarnya cara kita memandang Pancasila selama ini membuat Pancasila diposisikan seolah tidak bekerja sesuai harapan, atau tidak diimplementasikan secara konkret untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara sesuai dengan cita-cita awal lahirnya Pancasila.
Seiring dengan kondisi yang demikian, membuat keberadaan Pancasila tidak relevan di tengah derap kehidupan sekarang ini. Sedangkan ketika kita menginginkan mengembalikan Pancasila menjadi relevan dalam derap kehidupan sekarang bukanlah perkara yang mudah. Langkah yang kita butuhkan adalah menghidupkan kembali ruh Pancasila sebagai ideologi yang hidup (living ideology) dan ideologi yang bekerja (working ideology) yang adaptif dan responsif.
Pancasila tidak patut diperlakukan sebagai dogma, apalagi dikeramatkan, karena tindakan tersebut justru menghalang-halangi Pancasila dalam merespons tantangan zaman. Pancasila akan memiliki nilai terbesar ketika diaktualisasikan untuk menghadapi tantangan zaman kini dan mendatang.
Pancasila tidak boleh menjadi dasar negara yang beku, tetapi hidup dan relevan karena selalu didiskusikan dalam kehidupan sehari-hari anak bangsa.Pancasila tidak semata-mata menjadi domain negara sehingga rakyat tidak peduli, tetapi ia seyogianya berada di ranah publik, dalam sebuah ruang bersama dan dirawat bersama-sama untuk menjadi acuan solusi bagi berbagai permasalahan kebangsaan kita.
Bung Karno telah memberi teladan tentang upaya untuk terus mendiskusikan suatu narasi hidup yang berkaitan dengan kondisi waktu itu. Kita harus bisa melangkah lebih dari apa yang telah dicontohkan Bung Karno. Dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, keterbukaan informasi, dan kemajuan demokrasi yang kita miliki sekarang, kita harus mampu merealisasikan kekuatan Pancasila sebagai ideologi yang hidup dan bekerja sehingga mampu mengatasi dan melintasi dimensi ruang dan waktu.
Menurut Michael Morfit dalam In Asian Survey (1981), Pancasila tidak hanya masa lalu yang berakhir menjadi `mitologi’, tetapi Pancasila merupakan proyeksi Indonesia di masa depan, baik proyeksi dalam hal ekonomi, politik, budaya, pendidikan, dan bidang-bidang lainnya. Dengan demikian, situasinya tergantung masyarakat sejauh menempatkan Pancasila. Kalau Pancasila dijadikan sebagai media proyeksi yang strategis dan dilaksanakan secara konsekuen, benar apa yang juga dikatakan Geoffrey B Hainswort (1987) bahwa Pancasila nanti akan menempatkan Indonesia menjadi pemimpin perkembangan bangsa.
Namun, kalau Pancasila dilepas dari frame strategis tersebut, benar apa yang dikatakan Charles Dickens dalam A Tale of Two Cities (1870), bahwa ketika ideologi dibiarkan berserak-serakan, ideologi akan menimbulkan abad kegilaan, ketidakpercayaan, kegelapan, dan muncullah musim menggigilnya keputusasaan. Itulah yang sedang terjadi di Indonesia saat ini.
Jalan terjal Pancasila
Idealisme Pancasila dengan sifat-sifat yang terbuka, humanis, toleran, dan transformatif ternyata dialihkan pihak tertentu untuk mewujudkan kepentingan politik yang individualistis sehingga Pancasila tidak lagi membawa berkah, tetapi azab dan kesengsaraan. Pada masa Orde Lama (Orla), keterbukaan Pancasila menyebabkan diterimanya komunisme yang ateis dan pada masa Orde Baru (Orba) diterimanya otoritarianisme yang mengingkari kedaulatan rakyat. Lebih parah lagi pada zaman reformasi sekarang ini.
Masyarakat sudah tidak lagi peduli dengan Pancasila, tetapi ketika ada isu Pancasila menggeliat, para elite akan menyiapkan jaring-jaring untuk melakukan politisasi yang tidak hanya membuat masyarakat susah, tetapi malah membunuh karakter dan nalar Pancasila itu sendiri. Kerapuhan Pancasila sekarang ini disebabkan impitan yang multikompleks. Mengembalikan Pancasila kepada jati dirinya, yakni sebagai ideologi negara, sekiranya butuh beberapa langkah.
Pertama, Pancasila harus menjadi satuan dasar ideologi terhadap ideologi-ideologi satuan kecil yang memberikan rambu-rambu petunjuk arah dan common denominator yang mempertemukan ideologi-ideologi itu. Dalam konteks ini, Pancasila akan mampu tampil membangun kekuatan ideologis bangsa yang mengakomodasi semua elemen dan golongan.
Kedua, mengubah persepsi Pancasila sebagai ilmu. Perbedaan di antara keduanya ialah ideologi bersifat subjektif, dipaksakan terhadap fakta, dan tertutup, sedangkan ilmu bersifat objektif, menghormati fakta, dan terbuka. Sebagai ilmu, Pancasila dapat dianggap sebagai filsafat sosial, cara pandang negara terhadap gejala-gejala sosial. Dari filsafat sosial dapat diturunkan menjadi teori sosial yang mampu memberikan solusi terhadap problem bangsa yang makin kompleks.
Ketiga, menuntut Pancasila dilaksanakan secara konsisten, koheren, dan koresponden. Konsisten dalam arti menuntut tiap pihak untuk menjalankan Pancasila demi kemaslahatan bangsa, bukan kemaslahatan sepihak, sehingga Pancasila akan tampil koheren dan menyatu dengan semua unsur dalam masyarakat tanpa menghilangkan nilai dan identitas masyarakat tertentu tersebut.
Melalui tiga langkah mengembalikan Pancasila kepada jati dirinya tersebut besar harapan bisa membantu menghidupkan kembali jiwa nilai nasionalisme dan demokrasi yang telah luntur belakangan ini. Ditambah lagi sekarang ini, rakyat dihadapkan pada gempuran globalisasi dan kapitalisme. Arus globalisasi dan tekanan kapitalisme kian dirasakan semakin mengikis nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila.
Selain itu, pada saat yang sama, Pancasila juga dihadapkan pada pembangunan bangsa yang dijangkiti virus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) sehingga yang dihasilkan hanya peningkatan kemiskinan, kemelaratan, pengangguran, maraknya kejahatan, merebaknya penyakit sosial, dan kerusakan lingkungan di mana-mana.
Di tengah-tengah kompleksitas permasalahan bangsa saat ini, kita merindukan Pancasila kembali diajarkan di sekolah-sekolah dan disosialisasikan secara luas kepada masyarakat. Kita mengapresiasi hal itu, bahwa masih ada keinginan untuk terus mengajarkan dan mengidupkan Pancasila kepada generasi bangsa, namun yang lebih penting adalah mengamalkan Pancasila secara benar dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Besar harapan dengan pengamalan yang benar segala praktek pelanggaran yang menodai nilai-nilai Pancasila yang menimbulkan kejahatan korupsi, politik tidak sehat, para mafioso yang mengeruk kekayaan alam, hukum yang tidak berkeadilan, dan memarginalkan rakyat serta kekerasan seksualitas sekarang yang membawa negeri ini pada predikat darurat kekerasan seksual bisa terhentikan. Oleh sebab itu, mari kita kerjakan bersama ujian Pancasila ini dengan membumikan dan melaksanakan nilai-nilai luhur Pancasila dengan tindakan nyata dari kita semua. InsyaAllah dengan begitu, kita bisa menepis jalan terjal Pancasila dari berbagai krisis moralitas bangsa yang sedang melanda bangsa ini.

                                                                                                           ———————- *** ———————

Tags: