Memerdekakan Pohon Untuk Kehidupan

Memperingati Hari Menanam Pohon Indonesia
Oleh :
Rachmad K Dwi Susilo
Pengajar Mata Kuliah Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam, Ketua Program Studi Sosiologi FISIP UMM

MUNGKIN kita sudah banyak tahu bahwa pada setiap tanggal 28 November diperingati sebagai Hari Menanam Pohon Indonesia. Peringatan ini merupakan bentuk kesadaran masyarakat akan banyak fungsi pohon. Tidak heran jika Ahmad Tohari mengabadikannya pada Novel Orang-Orang Proyek. Novel yang ditulis tahun 2001 diawali dengan penggambaran pohon mbulu yang tumbuh di sekitar Sungai Cibawor. Sekalipun berkali-kali banjir menerjang sungai itu, tetapi pohon mbulu tetap tumbuh dan kuat di antara tanah cadas dan batu-batu besar. Tidak hanya itu, pohon ini turut memberi rasa aman bagi burung-burung emprit yang bersarang pada ranting-ranting pohon.

Kita juga menyadari sumbangan pohon untuk kehidupan kita. Pohon tidak hanya berfungsi ekologis, tetapi juga ekonomis dan sosial. Fungsi ekologis yakni menyuplai oksigen dan menyerap zat CO2. Suatu daerah yang sebelumnya gersang dan panas, akan menjadi sejuk setelah ditanami pepohonan. Bukti nyata Kota Surabaya yang hari ini semakin sejuk setelah walikota membangun taman-taman yang ditumbuhi berbagai macam pohon dan keindahan bunga-bunga warna warni.

Sementara itu, fungsi ekonomi yakni bisnis pohon yang mendatangkan banyak keuntungan. Penelitian penulis di Kabupaten Blitar (2015) memberi pelajaran bahwa bunga kenanga yang diolah menjadi minyak atsiri laku dijual sebagai produk ekspor. Hasil penyulingan yang berupa minyak kayu putih dipasarkan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Sama halnya, bangunan rumah dan industri mebel juga mutlak membutuhkan kayu yang diperoleh dari pohon.

Pohon juga memiliki fungsi sosial. Di masyarakat pedesaan, pohon beringin besar menjadi pelengkap punden yang dipercayai masyarakat tempat makhluk halus. Di waktu-waktu tertentu warga memberi sesaji dan menyelenggarakan ritual-ritual adat untuk penghormatan makhluk halus tersebut. Punden selalu mengikutkan pohon besar sebagai pelengkap selain beberapa reruntuhan hindu dan sumber air yang nyaris tersembunyi (Geertz, 1985).

Sekalipun keberadaan pohon sudah terbangun baik secara sosial dan ekologis dalam waktu yang sangat panjang, persoalannya, fungsi ekologis dan sosial, kini pohon mengalami degradasi. Bagi masyarakat dan perusahaan yang membisniskan pohon, fungsi ekonomi lebih menggiurkan. Perusahaan pebisnis pohon mengkapitalisasinya sebagai komoditas. Pohon dlihat tidak lebih sebagai modal (capital) yang mendatangkan keuntungan. Tidak heran jika keanekaragaman hayati terancam. Kini pepohonan asri sulit dicari di hutan karena pohon tidak bervariasi lagi. Bahkan, beberapa pohon sudah punah. Tidak heran, jika ketidakseimbangan ekologis ini menyebabkan krisis, kerusakan dan bencana lingkungan.

Kultur Pohon

Salah satu cara konservasi pohon yakni mendekatkan pohon dengan kultur masyarakat sebagai aktor konservasi. Persoalannya tidak semua masyarakat akrab dengan ekosistem hutan. Masyarakat perkotaan misalnya terbiasa hidup di antara lingkungan buatan yang jauh dari pohon. Sekalipun pada saat keluar rumah mereka melihat pohon, tapi hanya secara permukaan saja. Di sini kita harus memikirkan penguatan spiritualitas pohon melalui pengetahuan lokal ekologis yang taken for granted assumption.

Spiritualisme menjelaskan analisa pohon dilihat dari nilai-nilai dasar masyarakat lokal. Nilai-nilai ini mungkin tidak cocok dengan nilai masyarakat modern yang cenderung dipandu dengan logika empiris. Tapi, spiritualisme ini telah berkembang di masyarakat seperti yang dituangkan dalam ungkapan-ungkapan hidup. Misalnya, kacang kagak bakal buang lanjaran yang berarti tingkah laku seseorang tidak akan jauh dari orang tua dikenal sebagai Peribahasa Betawi. Nandur jagung panen pohung (menanam jagung panen singkong) yang artinya sia-sia dalam melakukan pekerjaan dan rubuh-rubuh gedhang (satu pohon pisang roboh, roboh semua) yang menggambarkan orang sholat hanya ikut-ikutan dikenal dalam Masyarakat Jawa.

Selain itu, Santosa (2017) menjelaskan sekitar 337 nama daerah atau kota/kecamatan di Jawa yang ternyata diambilkan dari nama pohon. Misalnya, pohon jati menjadi nama daerah seperti jatimulyo, jatirejo, jatinom, sumber jati dan lain-lain. Pohon bayam sudah populer menjadi nama kota, kabupaten dan kecamatan di Jawa. Bayeman nama daerah di Situbondo, bayemgede nama daerah di Bojonegoro, bayemharjo nama daerah di Wonogiri dan rowobayem nama daerah di Purworejo.

Penghormatan pada pohon juga terangkum dalam tradisi. Tradisi Kelekak yang berkembang pada Masyarakat Belitung mewariskan perawatan pohon dan tanaman buah-buahan secara turun temurun. Dimensi ekologis tradisi ini membuka lahan terbuka hijau. Selain itu menjadi pewarisan bagi anak cucu dan mempertahankan silaturahmi antara keturunan keluarga yang menanam pohon (Siburian, 1999). Bentuk-bentuk kearifan lokal seperti di masyarakat Betawi, Jawa dan Belitung tersebut sejatinya banyak dilembagakan di daerah-daerah di Indonesia mengingat Indonesia dikenal sebagai gudangnya sumber daya alam dan kearifan lokal.

Memedekakan Pohon

Dalam konservasi Pohon Mangrove di Tuban, Jawa Timur, KH. Ali Mansyur meyakini pohon memiliki nyawa seperti manusia. Menurut penerima penghargaan Kalpataru ini, Mangrove seperti makhluk hidup lain, ia hidup dan bisa mendoakan siapapun yang merawatnya. Gus Udin, seorang pejuang lingkungan di Bukit Panderman, Kota Batu menyatakan hal sama. Ia meyakini arti penting pohon beringin dengan mengatakan bahwa menanam pohon memberi barokah. Begitu sociable tokoh ini banyak didatangi tamu, baik yang senang maupun berkesusahan. Ia selalu menasehati orang itu untuk menanam pohon dan ajaib ternyata kesusahan itu hilang.

Di sinilah sesungguhnya aktor kreatif dalam memaknai pohon. Inilah bahasa masyarakat kebanyakan yang mudah dipahami masyarakat luas. Dalam sosiologi lingkungan ia dikenal sebagai etika biosentrisme yang memosisikan alam sebagai sentral aktivitas manusia. Pohon tidak ditempatkan sebagai alat pemuas kebutuhan, tetapi dihormati sebagai sesama makhluk yang sejajar dengan tingkatan manusia.

Etika lingkungan seperti ini akan menjadi solusi mujarab di tengah modernisasi dan industrialisasi yang kering dari kearifan dan keberlanjutan lingkungan. Akhirnya, kita berharap memerdekakan pohon ini akan memperkuat langkah-langkah konservasi. Untuk itu perlu membangunkan spiritualitas pohon yang mendorong objektivasi tradisi menanam dan merawat pohon yang akhirnya menciptakan lingkungan menjadi lebih berkelanjutan. Semoga.

———— *** ————-

Rate this article!
Tags: