Memori Sosial Bangsa Indonesia

Hasnan BachtiarOleh:
Hasnan Bachtiar
Penulis adalah Peneliti Filsafat dan Teologi Sosial di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM

Sejujurnya, kita tidak pernah benar-benar memiliki memori sosial kebangsaan yang baik, kecuali hanya praktik-praktik penjajahan semata. Negara-negara asing seperti Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang, pernah mengumbar kerakusan di sepanjang negeri ini. Tidak terkecuali Majapahit, oleh sebagian besar kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara, dianggap sebagai penjajah yang nista.
Padahal, memori sosial yang baik, sangatlah perlu. Keperluan itu, antara lain adalah untuk landasan kehidupan yang menentukan arah dan halauan, ke mana masa depan bangsa ini berlabuh. Sekurang-kurangnya, bila kita terlalu sukar untuk meninggalkan bayang-bayang penjajahan, maka hanya ada dua kesadaran kritis yang harus dibangun oleh generasi masa kini, yakni tidak terjajah dan tidak menjajah.
Menurut Paulo Freire, kesadaran kritis tersebut berimplikasi kepada dua gerak: yang pertama adalah gerak perlawanan; sementara yang kedua adalah gerak menahan diri. Tatkala dalam posisi terjajah, tiada jalan lain kecuali melawan. Baik itu terhadap dominasi, maupun hegemoni di seluruh aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya dan bahkan kesusasteraan. Sebaliknya, sebagai bangsa yang memiliki modal dan kekuatan yang cukup, sudah semestinya menahan diri, berpuasa dan tidak lalim terhadap siapa saja yang papa, lemah dan tiada berdaya.
Terjajah dan menjajah, keduanya telah membawa kepada tercerabutnya jiwa bangsa ini. Keduanya pula telah menghilangkan begitu saja nilai-nilai luhur, kebajikan, keadaban dan kemanusiaan. Tidak ada satu negeri pun, yang dianggap sebagai negeri yang benar-benar adil, makmur dan sejahtera, sementara ia masih berkubang lumpur kejahatan.
Mendiagnosa Indonesia
Tiga samudera kepemimpinan negeri ini, masing-masing memiliki ombak yang menghempaskan pasir kehidupan, keadaban dan kemanusiaan. Telah menjadi rahasia umum bahwa Orde Lama, Orde Baru dan beberapa kempimpinan Reformasi, masing-masing memiliki “nilai minus dan negatif” yang justru tiada pernah membawa kepada cita-cita Indonesia Raya. Selama korupsi, kolusi dan nepotisme dari dalam, serta imperialisme dan kolonialisme dari luar masih duduk bersemayam di negeri ini, jangan pernah berharap bahwa cita-cita Indonesia Raya akan terwujud.
Seolah-olah karena kita terlalu lama terjajah (tiga setengah abad lebih), maka kita boleh menjajah. Siapapun yang kini memiliki kekuasaan, baik itu pemodal, pemerintah, penegak hukum, kepolisian, militer dan seterusnya, jelas sedang mempraktikkan penjajahan terhadap rakyat jelata, orang kecil, wong kere dan seterusnya. Hukum dan keadilan hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Bukan hanya itu, yang kaya semakin kaya, sementara yang melarat, semakin terjerat erat.
Sementara itu, sama sekali tidak ada yang marah, khususnya di antara mereka yang memiliki kekuatan, tatkala negerinya dikeruk negeri lain. Eksploitasi tambang, air, pasir, pohon, hingga ikan-ikan yang melimpah dari lautan kita dan seterusnya oleh korporasi-korporasi asing, sama sekali tidak menuai protes, apalagi kecaman. Teranglah bahwa kesadaran membalas dendam, adalah kesadaran yang menggambarkan ketidakmampuan menghadirkan ruh kebajikan dari dalam diri. Bahkan kesadaran ini, menjadikan kita sebagai manusia bangsa merasa rendah diri, minder dan tidak berdaya.
Dalam konteks ini, memori sosial kita sangat sukar kiranya untuk sekedar direnungkan kembali dengan sudut pandang kesadaran kritis. Para elit masih terlalu nyaman untuk terbuai dengan kehidupan yang penuh kerakusan, kekejian, kelaliman dan kebinatangan. Di saat yang sama pula, rakyat banyak yang rata-rata merupakan golongan miskin, seperti hidup dalam penderitaan yang luar biasa.
Memori Sosial Pembebasan
Di tangan pemerintahan Jokowi pun, negara ini belum berubah. Presiden yang diangkat oleh nafas dan detak jantung rakyat, selama enam bulan ini, sama sekali tidak memberikan sesuatu yang signifikan, kecuali hanya janji-janji belaka. Janji-janji politik masa kini, sebagaimana janji-janji politik di seluruh periode kepemimpinan Indonesia sebelumnya, hanyalah sekedar janji. Dengan demikian, rakyat hanya patut menikmati tong kosong yang nyaring bunyinya.
Operasi memori sosial “terjajah dan menjajah” masih terus saja berlangsung hingga kini. Jokowi pun, misalnya, tidak bisa terlepas dari rong-rongan asing. 80% kekayaan negeri ini, jelas, dikuasai oleh asing. Amerika, Eropa, Asia Timur dan Australia masih makan dan berak dari kekayaan seluruh rakyat. Bahkan, Australia yang hari ini tertampar oleh eksekusi mati warga negaranya (oleh karena kasus narkoba) di Indonesia, sejatinya masih menari-menari riang, di atas tambang emas yang sangat menguntungkan bagi mereka. Dalam membicarakan masalah kompleks ini, kedudukan Interpid Australia yang menguras habis emas kita, melalui proyek tujuh bukit di Banyuwangi, Jawa Timur, harus disebut secara jelas.
Seiring dengan seluruh persoalan ini, Jokowi masih berbual seputar “Revolusi Mental”. Tampaknya memang, secara teoretik, hal itu sangat bagus. Revolusi mental akan memicu lahirnya memori sosial kritis, bukan memori sosial kelembaman. Dengan kata lain, revolusi mental akan membawa seluruh orang bangsa kepada proses pemanusiaan manusia, dan menghapus segala kekejian sifat menjajah dan penjajahan, ego balas dendam, ketidakmampuan, keminderan akut dan seterusnya. Melalui memori sosial yang membebaskan ini, setidak-tidaknya, satu hal yang harus terwujud, yaitu ketiadaan korupsi.
Revolusi mental dan pembangunan memori sosial yang membebaskan ini, harus dilakukan melalui seluruh aspek kehidupan, kepada seluruh rakyat Indonesia. Tidak terkecuali para elit. Dengan dua formulasi kritis tersebut, segala perilaku elit yang kekanak-kanakan, bebal dan seenaknya sendiri, harus dihentikan.
Itupun, bila masih menginginkan masa depan Indonesia lebih beradab. Jokowi harus menjadi orang pertama yang menyadari bahwa, kita adalah bangsa yang merdeka, tidak terjajah dan tidak menjajah. Dengan adanya memori sosial kebangsaan yang lebih kritis, semoga tong-tong yang kosong itu mulai terisi, agar bunyinya tak bising atau memekakkan telinga.

                                                                                                    ———————– *** ——————–

Rate this article!
Tags: