Mempermudah Akses Pendidikan Berkualitas

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Anggota Dewan Pendidikan Kota Surabaya

Tengara bahwa akses mendapatkan pendidikan  berkualitas belum bisa dirasakan semua kalangan bukan hal baru. Pentingnya mendorong agar pendidikan mampu menjangkau semua kalangan sejatinya juga telah disuarakan sejak lama. Randall Collin misalnya, melalui bukunya The Credential Society : An Historical Sociology of Education Stratification (1979), jauh jauh hari sudah memberi peringatan  bahwa pendidikan sosial (formal) merupakan awal terjadinya proses stratifikasi (kesenjangan) sosial.
Pendidikan menurut Collin merupakan komoditas yang bernilai tinggi sebagai alat menuju kesuksesan ekonomi dan menentukan stratifikasi sosial seseorang. Maknanya, status sosial seseorang akan sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan yang digenggamnya. Implikasinya, kalau dalam aspek pemenuhan kebutuhan pendidikan sudah terjadi kesenjangan maka potensi akan terjadi melahirkan kesenjangan sosial akan semakin nyata. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana penyelenggaraan pendidikan di tanah air, sudahkah mampu memberi akses secara merata kepada semua masyarakat Indonesia?
Temuan lembaga khusus Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menangani pendidikan The United Nations Children’s Fund (UNICEF) tahun 2015 menyebutkan hampir setengah dari anggaran pendidikan di negara-negara berpenghasilan rendah, termasuk Indonesia, hanya dinikmati sekitar 10% penduduknya. Realitas ini tentu mengirimkan pesan bahwa kesempatan mengakses pendidikan bagi anak-anak miskin di negara-negara tersebut termasuk di Indonesia masih kecil. Hasil temuan UNICEF juga sampai pada kesimpulan bahwa anggaran pendidikan akan lebih banyak dinikmati golongan menengah ke atas.
Guna mengantisipasi ketimpangan pendidikan di negara-negara miskin dan berkembang-termasuk Indonesia-UNESCO selanjutnya  menyarankan agar investasi dalam pendidikan didistribusikan secara lebih merata. Dengan kata lain, semua anak didik harus mendapat kemudahan akses, termasuk anak miskin maupun yang tinggal di perdesaan, perempuan maupun yang dari kelompok minoritas. Temuan UNICEF semakin diperkuat dengan data yang dirilis Bank Dunia di penghujung 2016. Bank Dunia mencatat ketimpangan pendidikan di Indonesia itu dipicu rendahnya angka partisipasi pendidikan masyarakat dan tingkat pendidikan. Ketimpangan pendidikan di Indonesia, menurut Bank Dunia, bahkan setara dengan Uganda, Etiopia, dan beberapa negera miskin di Eropa lainnya.
Akses Terbatas
Sudah saatnya pemerataan akses pendidikan dibuka seluas-luasnya bagi semua anak bangsa. Pemerataan pendidikan meliputi paling tidak pada persamaan kesempatan, aksesibilitas, dan keadilan atau kewajaran. Persamaan kesempatan mengandung maksud setiap anak bangsa memiliki peluang yang sama mengakses pendidikan sebagaimana amanah konstitusi  UUD 1945 Pasal 30.
Aksesbilitas memberikan kesempatan semua anak bangsa memilih akses pendidikan yang sama, pada semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan.
Mereka yang berasal dari desa memiliki akses pendidikan yang sama dengan yang tinggal di perkotaan. Strategi pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan merupakan solusi tepat agar orang miskin
bisa sekolah. Pemerataan pendidikan juga memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all (Agus Wibowo, 2012).
Tali-temali pertumbuhan ekonomi sangat tergantung dari ketersediaan sumber daya manusia (SDM). Adanya SDM yang memadai dalam jumlah dan persyaratan mutu bertahun-tahun jadi jargon keberhasilan pembangunan. Menghasilkan SDM, sesuai persyaratan jumlah dan mutu, melewati berbagai uji coba yang sering dicampuri kepentingan politik. Berbagai uji coba tidak menjadi soal ketika dilakukan berkesinambungan. Namun, yang kita alami selama Indonesia merdeka adalah kebijakan dan implementasi praksis pendidikan yang terputus-putus demi kepentingan pragmatis dan keberpihakan.
Sejauh perubahan dilakukan secara terstruktur, terencana, dan didasari sikap “demi menghasilkan SDM bermutu” dan sesuai zaman, tetap perlu dipenuhi syarat menempatkan guru, anak didik, orangtua, dan masyarakat sebagai bagian integral perubahan. Praksis pendidikan sebagai tindak kultural (cultural action,Paulo Freire) harus bertumpu pada prinsip pedagogis (bersifat mendidik). Prinsip penekanan “demokrasi dalam kepemimpinan” (Ki Hajar Dewantara) perlu ditempatkan sebagai bagian utuh dari perubahan kebijakan yang pedagogis. Namun, keharusan ini sering diabaikan.
Pendidikan bukan lagi sebagai cultural action, melainkan alat kepentingan politik. Perlu penjelasan argumentatif-rasional-pedagogis, kalau perlu dilakukan penyesuaian. Kasus Ujian Nasional yang lebih kerap jadi pro kontra hanya akan menguras energy para pelaku pendidikan kita. Jika kasus itu dibiarkan, kontribusi pendidikan memperlebar jurang ketimpangan kian benar. Meskipun tahun ajaran baru masih cukup lama, tetapi tidak bisa dibantah kalau para orang tua mulai digelisahkan oleh agenda kelanjutan pendidikan putra putrinya. Sebagian bisa saja susah ketika menghadapi kenyataan biaya pendidikan ternyata tinggi.
Kita sering berbicara soal ketertinggalan dengan negara lain di segala bidang. Satu muara jawaban dari persoalan itu adalah kualitas penylenggaraan pendidikan kita. Penyelenggara pendidikan secara formal di Indonesia memang terletak pada sekolah atau lembaga pendidikan tinggi. Termasuk juga kursus-kursus yang ada. Tetapi kita tetap mengakui bahwa penyelenggara pendidikan itu juga lingkungan dan keluarga. Karena berbagai pekerjaan dan karier di Indonesia ditentukan dengan cara-cara formal seperti menunjukkan ijazah, sertifikat, nilai rapor dan sejenisnya, maka mau tidak mau kita mengingatkan lembaga formal ini untuk memperbaiki diri.
Paling dasar sekali pada masalah pendidikan adalah kejujuran dan kemudian kreativitas yang mengembangkan kemampuan nalar peserta didik. Hanya dengan kejujuran dan pengembangan nalar itulah kita akan mampu membentuk manusia yang unggul, mandiri dan mampu bersaing dengan pihak mana pun dalam kehidupan ini.
Mereka-mereka juga akan mampu menjadi filter di segala bidang demi kemajuan negara. Tetapi apabila kemudian pendidikan kita dihiasi dengan ketidakjujuran, bahkan dari jenjang pendidikan paling rendah, sungguh hasilnya akan merugikan di masa depan.
Kita semua ingin agar negara menjadi maju, mampu bersaing di era globalisasi. Dengan demikian, tidak ada cara yang lebih baik kecuali memberikan perhatian terhadap masalah pendidikan kita di tanah air.
Memangkas Akar Kesenjangan
Di Tanah Air, kita terseret arus mengkotak-kotakkan siswa dalam kelas reguler dan kelas anak pintar, sekolah negeri yang dianakemaskan dan sekolah swasta yang dianaktirikan dan sebagainya. Sebaliknya di Finlandia, tak ada pengkotakan siswa dan pengkastaan sekolah. Sekolah swasta dapat bantuan dana yang sama dengan sekolah negeri.
Di Finlandia, guru tak hanya sebatas pengajar tapi mereka pakar kurikulum. Kurikulum di Finlandia sangat berbeda di setiap sekolah namun tetap berjalan di bawah panduan resmi pemerintah. Guru-guru di Finlandia semuanya adalah tamatan S2 dan dipilih dari lulusan terbaik (the best ten) di berbagai universitas. Orang merasa lebih terhormat jadi guru daripada jadi dokter atau insinyur.
Pemerintah dalam posisi semacam ini harus mengintervensi dengan memberikan kebijakan yang memihak kepentingan masyarakat miskin. Maknanya kebijakan yang ‘diskriminatif’ dikonsepsikan untuk mengangkat kelompok masayrakat yang selama ini sudah dibawah. Sebab, kalau pemerintah hanya menjadi pengamat dan masyarakat dengan beragam ‘kelas sosial’ masyarakat tersebut dibiarkan ‘bertarung’ yang akan terjadi adalah masyarakat yang kebetulan berada pada status ekonomi yang mapan akan mempunyai peluang dan kesempatan bagi anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Sementara bagi mereka yang miskin dan pas-pasan akan mendapatkan pendidikan yang ala kadarnya. Imbasnya tentu saja, orang yang berkecukupan akan lebih berpeluang mendapatkan pembelajaran yang terbaik, sementara anak dari keluarga miskin juga akan mendapatkan pembelajaran sekadarnya.
Bahwa tekad pemerintah untuk melakukan pemerataan akses mendapatkan pendidikan adalah keinginan mulia yang harus didukung semua pihak. Namun demikian, akan semakin elok kalau langkah yang dilakukan tidak hanya sekadar pemerataan, tetapi juga harus mempertimbangkan kualitas. Pendekatan kualitas ini menjadi penting untuk ditegaskan mengingat pemerintah sering puas dengan sekadar pemerataan pendidikan atau sekadar memenuhi hak pendidikan warga negaranya.
Negara lupa bahwa model pendidikan yang harus diberikan sesungguhnya  adalah pendidikan yang berkualitas. Artinya pemerintah harus berpikir bahwa pemeritaan pendidikan adalah penting tetapi lebih penting lagi adalah memberi layanan pendidikan yang yang berkualitas. Mengapa? Karena pemenuhan pendidikan yang hanya mendasarkan pada aspek pemenuhan pendidikan saja tidak akan memberikan pendidikan yang baik.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

                                                                                          ————– *** —————

Tags: