Menagih Komitmen Pemerintah Benahi Industri Gula Nasional

Revitalisasi PG Djatiroto akan dibarengi dengan pengembangan usaha baru yakni bisnis co-generation dengan mengolah ampas tebu menjadi listrik.

Revitalisasi PG Djatiroto akan dibarengi dengan pengembangan usaha baru yakni bisnis co-generation dengan mengolah ampas tebu menjadi listrik.

Membaca Masa Depan Industri Gula di Tanah Air — (2 – habis)

Diversifikasi industri tebu misalnya dengan mengembangkan bioetanol, listrik (co-generation) dan lain-lain dari olahan limbah tebu menjadi keniscayaan kalau industri ini masih ingin tetap bertahan di masa depan. Dengan kata lain, pengembangan industri tebu yang terintegrasi menjadi jawaban tepat untuk membangkitkan kembali kejayaan industri tebu tanah air.
Wahyu Kuncoro SN, Wartawan Harian Bhirawa
Saat ini, di Indonesia, hanya ada satu pabrik bioetanol berbasis tebu yang terintegrasi dengan pabrik gula milik BUMN, yaitu di PG Gempolkrep, Mojokerto, milik PT Perkebunan Nusantara X (PTPN X). Padahal, Indonesia punya 51 pabrik gula milik BUMN. Oleh karenanya, meski terlambat produsen gula milik BUMN kini harus terus didorong untuk melakukan diversifikasi agar bisa mengembangkan industri tebu yang terintegrasi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat melakukan kunjungan kerja ke pabrik gula Gempolkrep milik PT Perkebunan Nusantara X di Kabupaten Mojokerto beberapa waktu yang lalu juga telah menyatakan komitmennya mendukung pengembangan industri gula terintegrasi.
“Saya dukung industri tebu nasional yang terintegrasi dan tidak hanya memproduksi gula saja, namun juga memproduksi bioetanol dan listrik yang berasal dari olahan limbah tebu. Dengan begitu pabrik gula tersebut akan memiliki nilai tambah dari produk yang dihasilkan,” tegas Presiden Jokowi saat itu.
Menurut Presiden, tahun ini pemerintah melalui Kementerian BUMN mengucurkan dana penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp3,5 triliun khusus untuk pabrik gula milik BUMN. Dengan kehadiran pabrik gula terintegrasi itu, Indonesia bisa menyamai negara Brazil yang memiliki pabrik gula juga memproduksi bioetanol, listrik dan lain-lain. Perbaikan menuju industri gula terintegrasi juga akan meningkatkan kesejahteraan petani, karena dengan adanya tambahan produk non-gula maka penghasilan para petani tebu juga bisa meningkat. Pemerintah telah mengucurkan alokasi anggaran dalam bentuk Penyertaan
PTPN XI setelah mendapat suntikan penyertaan modal negara senilai Rp650 miliar, juga mulai melakukan percepatan langkah diversifikasi. Direktur Utama PTPN XI, Dolly Pulungan mengatakan, PTPN XI bakal masuk pada bisnis cogeneration dengan mengolah ampas tebu menjadi listrik. Pada tahap awal, pembangunan cogeneration dilakukan di Pabrik Gula (PG) Jatiroto Lumajang.  dengn investasi sekitar Rp 200 miliar yang bakal menghasilkan listrik 10 MW.
Dari segi produksi gula, Pabrik Gula (PG) Assembagoes di Situbondo merupakan perusahaan terbaik diantara 16 PG milik PTPN XI. Pabrik ini rencananya akan direvitalisasi melalui Penyertaan Modal Negara (PMN), selain PG Djatiroto. Data sementara produksi per 15 Oktober 2015, PG Assembagoes telah memproduksi 29.131,5 ton dengan rendemen 8,57 persen.
?”Raihan kinerja PG Assembagoes sangat bagus, kesuksesan ini akan ditularkan pada pabrik gula lainnya,” jelasnya.
Kinerja PG Assembagoes, lanjut dia, didukung dengan kondisi geografis Situbondo yang merupakan basis tebu. Tahun ini, kata Dolly, pihaknya mengharapkan produktivitas tebu dapat meningkat didukung dengan kinerja PG yang naik. Hal ini, kata dia, diharapkan mampu meningkatkan kembali motivasi petani untuk mengembangkan tebu yang sempat turun tahun sebelumnya.
“Untuk perkembangan areal yang baik, kurang lebih mencapai 500 hektar areal baru. Ditambah dengan rencana pengembangan kapasitas menjadi 6.000 TCD akan menjadi jawaban bagi petani untuk dapat terlayani dengan baik, termasuk juga pelayanan tebang muat angkut,” tambahnya.
General Manager PG Djatiroto Setya Narwanto mengatakan bahwa revitalisasi sudah berjalan pada tahapan pengadaan.
“Secara garis besar sudah dalam proses tender dengan perusahaan konstruksi nasional. Sudah dimulai perencanaan juga,” katanya.
Revitalisasi ini sesuai dengan roadmap grand design pemerintah akan dikerjakan sampai tahun 2018 mendatang. Hingga pada masa giling tahun 2019 kapasitasnya didongkrak dari 7 ribu ton menjadi 10 ribu ton perhari. Dimana, masa giling PG dibatasi oleh opportunity bulan kering. Selain itu, revitalisasi PG Djatiroto juga akan dibarengi dengan pengembangan usaha baru. Yakni PG Djatiroto juga memproduksi listrik yang akan di link ke PLN.
Listrik ini akan diolah dari bios mass berupa ampas hasil produksi tebu yang diolah menjadi listrik melalui ketel atau turbin yang akan dibangun. Selain itu, pengembangan lainnya adalah melalui produksi pupuknya dari blotong yang mengandung bahan organik. Blotong yang merupakan limbah hasil produksi yang harus dikembalikan ke tanah, akan diolah menjadi pupuk kompos.
“Kapasitas produksinya akan menyesuaikan dengan jumlah besaran limbah yang dihasilkan dari produksi,” ujarnya.
Setya Narwanto juga menjelaskan, untuk wilayah kerja PTPN XI ada dua PG yang mendapatkan anggaran revitalisasi dari pemerintah pusat. Selain PG Djatiroto, masih ada PG Asembagus di Situbondo juga mendapatkan alokasi anggaran untuk direvitalisasi dengan target peningkatan kapasitas giling dari 3 ribu ton menjadi 4.500 ton perhari.
“Revitalisasi PG ini juga dengan harapan, sesuai roadmap grand strategi pemerintah bisa mewujudkan swasembada gula nasional pada tahun 2019 mendatang. Swasembada gula ini untuk menekan dan sekaligus mengantisipasi terjadinya importasi gula untuk memenuhi kebutuhan nasional,” ujarnya.
Belajar dari Industri Gula di Thailand
Industri gula Indonesia pernah merasakan masa kejayaan. Namun seiring berjalannya waktu, menurunnya lahan tebu dan kapasitas produksi pabrik gula membuat masa-masa manis itu menghilang. Pengamat industri dari kampus Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya Dr Iwan Vanany mengakui kalau kini Indonesia, kini bahkan kalah jauh jika dibandingkan dengan Thailand.
“Padahal pada tahun 1970-an negeri gajah putih tersebut, produksinya gula dan tebunya jauh ketinggalan dibandingkan Indonesia. Namun dengan sejumlah pembaruan dan efisiensi semua fakta itu berbalik,” kata Iwan.
Menurut Iwan perkembangan industri gula di Thailand sangat cepat. Bahkan Thailand menjadi salah satu negara penghasil gula terbesar di dunia. Kunci keberhasilan industri gula di Thailand salah satunya adalah rendemen tebunya bisa mencapai di atas 10%. Bahkan catatan terakhir bisa mencapai 12 persen. Khususnya soal tebu, karena rata-rata rendemen tebu di Indonesia hanya berkisar 5-6 persen. Jauh sekali dibandingkan dengan Thailand yang mencapai di atas 10 persen.
Banyak hal yang menyebabkan hal itu terjadi. Misalnya soal lahan tebu yang kini jauh berkurang, sistem irigasi yang belum baik, pupuk yang tidak ekonomis, hingga modal usaha petani yang kurang. Jika hal itu sudah bisa diatasi, ada pula faktor lain yang menyebabkan inefisiensi produksi tebu ke gula. Manajemen tanam yang kurang baik terkadang mengakibatkan rendemen tebu yang dihasilkan petani tidak maksimal.
Semakin lama tebu kering atau terlambat dipanen, maka hasil rendemennya akan menurun atau tidak maksimal. Berbekal lahan tebu yang luas dan tingginya rendemen tebu, membuat industri gula di Thailand memiliki daya saing yang kuat di pasar gula dunia. Dari hasil analisis biaya jelas Iwan, terbukti bahwa biaya produksi gula di Thailand adalah yang terendah di seluruh dunia.
“Thailand bisa menjadi dalam produksi tebu karena berbagai hal. Selain efisiensi juga adanya penelitian-penelitian pertanian yang dibiayai oleh Raja Thailand. Dibandingkan dengan Indonesia, tentu jauh karena teknologi pertanian di Indonesia tak memiliki dana sebesar di Thailand untuk melakukan riset,” jelas Iwan lagi. Thailand juga memiliki lembaga penelitian yaitu Sugar Research Centre yang memiliki lima departemen yaitu : Cane Research, Sugar Research, Bio-energy Research, Development, dan Administration.
“Di Thailand, mereka tidak hanya bicara lagi soal gula yang merupakan produk utama tebu, tetapi juga bio -ethanol dan produk turunan lainnya dari tebu. Inilah langkah cepat Thailand yang akan membuat Indonesia jauh ketinggalan,” ungkap Iwan.
Kondisi itu jelas Iwan berbeda dengan di Indonesia. Lahan tebu menurun karena banyak petani merasa rugi jika menanam tebu. Harga beli pemerintah tidak menguntungkan atau menarik petani untuk menanam tebu. Belum lagi tidak ada pinjaman lunak, dan asuransi bagi tanaman dan lahan tebu di Indonesia.  (wahyu kuncoro sn)

                                                                                                                    ———– *** ———–

Tags: