Menahan Laju Politik Sang Petahana

SukadiOleh:
Sukadi
Pendidik, mengajar Bahasa Inggris SMPN 1 Bagor, Nganjuk

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengkandaskan aturan pembatasan calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana, beberapa waktu lalu, sontak memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat Indonesia.
Pihak yang pro menyebut, sangat naif manakala ada saudara, keluarga (petahana), lantas tidak dilarang maju dalam pilkada.
Pro lain menandaskan, praktik politik dinasti tidak selamanya buruk selama calon kepala daerah memiliki kompetensi memadai. Hanya, perlu pengawasan lebih ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan kepentingan keluarganya.
MK sendiri mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah tersebut bukan tanpa pertimbangan matang. Mahkamah menilai, aturan yang membatasi calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana telah melanggar konstitusi.
Pertimbangan hakim, idealnya suatu demokrasi adalah bagaimana melibatkan sebanyak mungkin rakyat untuk turut serta dalam proses politik. Meski pembatasan dibutuhkan demi menjamin pemegang jabatan publik memenuhi kapasitas dan kapabilitas, suatu pembatasan tidak boleh membatasi hak konstitusional warga negara.
Pihak yang kontra menilai sebaliknya, MK hanya melihat dari sisi perlindungan hak konstitusi warga negara tetapi tidak melihat mandat bahwa pilkada harus dijalankan secara demokratis. Banyak warga selama ini karena kondisi yang ada tidak mendapatkan kesempatan dalam konteks persamaan dan keadilan akibat akses dinasti politik dan kerabat yang sangat luar biasa terhadap kekuasaan, menggunakan pengaruh dan kekuasaan.
Sebenarnya UU Pilkada telah mengatur larangan memiliki konflik kepentingan yang jika diberlakukan akan mewujudkan pilkada yang demokratis. Dalam aturan tersebut, peluang keluarga petahana untuk mencalonkan diri masih diakomodasi setelah si petahana melewati jeda satu kali masa jabatan.
Pihak lain menegaskan, keputusan MK soal dinasti politik ini melemahkan upaya memajukan demokrasi dan budaya anti-korupsi di Indonesia. Contoh: Dinasti politik keluarga mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang terlibat sejumlah kasus korupsi.
Sebenarnya, embrio tren politik kekerabatan itu sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem yang mengutamakan regenerasi politik (patrimonial) berdasarkan ikatan garis keturunan (geneologis), ketimbang merit system dalam menimbang prestasi.
Saat ini, kemasan menjadi “neo-patrimonial”, karena ada unsur patrimonial lama dengan strategi baru. Sistem lama, pewarisan ditunjuk langsung, sekarang (neo) lewat jalur politik prosedural.
Akibatnya, makin maraknya praktik politik dinasti dalam berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekruitmen dan kaderisasi partai politik tidak berjalan atau macet.
Penyokong munculnya dinasti petahana, adanya keinginan dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan, kelompok terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok, kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk menggabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politisi, serta pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaaan modal. Yang lebih runyam, mempertahankan politik petahana untuk menghindari jeratan hukum sang penguasa saat berkuasa.
Dampaknya manakala politik dinasti dipertahankan, partai sebagai mesin politik semata, yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai, sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi. “Penguasa bisa langsung diangkat menjadi ketua partai besar, karena kekuasaan dan popularitasnya.”
Konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih. Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sebuah ilustrasi, seorang penguasa ingin berkuasa selamanya. Karena terbatas aturan, maksimal dua periode menjabat, dengan segala upaya menjadikan istri atau keluarganya maju dalam pilkada. Ia (penguasa) sendiri, karena popularitas dan kekuasaannya merangkap dan memimpin sebuah partai terbesar di daerah. Permainan politikpun tejadi, bermain dalam pemilu legislatif adalah sebuah solusi mujarab. Optimistis menang dengan membawa armada politik besarnya akhirnya dapat menduduki singgasana ketua dewan.
Berpikir jernih: Politik petahana menghasilkan penguasa dinasti. Penguasa (suami/istri) mewariskan kepada (istri/suami) atau anaknya. Penguasa kepada keluarga kerabat lain dengan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Tak terbayangkan: Sebuah keluarga memegang tampuk pemerintahan secara bersama-sama. Sang istri seorang kepala daerah, sang suami seorang ketua dewan. Dalam menyusun anggaran, kedua pejabat politis tersebut memiliki kesempatan untuk menentukan dan mengalokasikan nilai anggaran sebesar-besarnya.
Berapa nilai anggaran untuk dialokasikan kepada dinas atau SKPD mana saja bisa ditentukan tanpa melalui musyawarah kedewanan alias cukup di atas ranjang berdua, karena memang sang penguasa suami istri. Tinggal satu langkah, menempatkan keluarga dan orang terdekat sang penguasa sebagai pengguna anggaran dengan kesepakatan.

                                                                                                      ——————– *** ——————-

Rate this article!
Tags: