Mengantisipasi Perang Mata Uang

novi puji lestariOleh :
Novi Puji Lestari
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang

Bank Indonesia (BI) mewaspadai potensi perang mata uang sebagai dampak rencana penyesuaian suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed). Tiga tahun ke depan, ada kemungkinan hal tersebut terjadi. Andai program peningkatan suku bunga di AS berjalan secara berkala, dipastikan bakal berdampak pada mata uang negara-negara lain, dan setiap negara akan berupaya keras menjaga posisi kompetitif mata uangnya masing-masing.
Perang mata uang adalah suatu kondisi ketika beberapa atau banyak negara sengaja melemahkan mata uangnya terhadap mata uang negara lainnya, dengan tujuan mempermudah ekspor dan memperbaiki neraca perdagangan. Istilah itu masih menjadi perdebatan dan berbagai forum global belum mau menggunakan. Namun, negara-negara sedang berkembang kian mempertanyakan kebijakan negara maju yang berdampak pada pergerakan nilai tukar mereka.
Kebijakan quantitative easing
Bisa dipahami, untuk mendorong perekonomiannya, negara-negara maju menerapkan kebijakan quantitative easing yang menyebabkan pelemahan nilai tukar mereka. Dengan menebar lebih banyak mata uang mereka ke pasar, secara alami nilai tukar mata uangnya melemah. Negara- negara berkembang, termasuk Indonesia berada di tengah-tengah tiga kekuatan, yakni dolar AS yang menguat, serta euro dan yen yang melemah. Kita perlu mengantisipasi bermacam-macam dampaknya. Euro, contohnya, melemah 12 persen pada tahun lalu dan secara year to date sekarang sudah 10 persen. Franc Swiss juga melemah. Jerman diuntungkan oleh kondisi demikian, karena barang barang mereka menjadi lebih murah jika dijual di luar negeri.
Manufaktur dan industri berat, khususnya kendaraan bermotor, Jerman bersaing dengan Jepang dan Korea Selatan. Yen melemah berarti nilai kompetitif produk Jepang membaik, produknya menjadi lebih murah. Yuan Tiongkok juga melemah. Saat ini, kondisi global sedang mengalami fenomena penguatan dolar AS yang menyebabkan depresiasi nilai mata uang di berbagai negara berkembang dan menimbulkan risiko dalam jangka panjang.
Tekanan terhadap mata uang lain lebih dalam, tetapi kita harus menghadapi secara baik dan waspada. Dalam jangka pendek dan menengah, BI berusaha menjaga stabilitas nilai tukar rupiah agar para pelaku pasar tidak khawatir terhadap kondisi perekonomian Indonesia.
Meredam gejolak fluktuasi
Gubernur BI Agus Martowardojo menegaskan kalau ada tekanan ekstrem, pihaknya menjaga supaya volatilitasnya berada pada batas yang bisa diterima untuk meraih kepercayaan pasar. Pasar perlu yakin, otoritas moneter selalu ada untuk menjaga stabilitas rupiah. Diperkirakan rupiah stabil setelah Juni dengan rata-rata nilai tukar sepanjang 2015 di kisaran Rp 13.000- Rp 13.200 per dolar AS.
Agar fluktuasi tidak terlalu bergejolak, penting sekali memperkuat struktur fundamental ekonomi dengan selalu waspada dan berhati-hati karena sentimen negatif bisa saja menambah momentum rupiah bergerak liar dan tidak terkendali. Ekspektasi dan psikologis sulit terukur dan bisa melupakan fundamental ekonomi Indonesia yang sebenarnya baik. Apalagi, tren indeks dollar AS terus menguat dan selalu mencatatkan rekor tertinggi setiap bulannya. Indeks dollar AS sudah tercatat di 98 per 9 Juni 2015, jauh berada di atas kondisi krisis ekonomi global 2008 dengan indeks 89. Harus disadari, perekonomian domestik pasti mempunyai batas ambang pelemahan rupiah terhadap dollar AS. Jika terus melemah dan menimbulkan persepsi sangat negatif terhadap rupiah, bukan tidak mungkin rupiah bergerak jauh lebih lemah daripada sekarang. Ini artinya krisis mata uang sudah terjadi dan mungkin berujung pada krisis ekonomi yang tidak kita inginkan bersama.
Melihat arus masuk modal asing di saham dan obligasi yang terus mengalir ke perekonomian domestik sampai Juni 2015, seharusnya bisa menjadi obat penenang bagi pelemahan rupiah saat ini. Persepsi investor asing masih positif terhadap aset finansial Indonesia. Ukuran risiko credit default swap (CDS) lima tahun masih dalam tahap normal, bahkan cenderung menurun ke level 147 per 6 Juni 2015, jauh lebih rendah ketika krisis ekonomi global 2008, yang tercatat 1.257 per 23 Oktober 2008.
Para investor seolah-olah tidak terganggu dengan tren pelemahan rupiah. Bisa jadi, ekspektasi investor, pelemahan rupiah hanya sementara dan akan berbalik menguat. Ini artinya potensi keuntungan yang sangat menjanjikan, berinvestasi pada saat rupiah melemah (mendapatkan barang dengan harga murah), kemudian bisa mendapat tambahan keuntungan dari kemungkinan apresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Ironis memang, arus modal asing terus mengalir di saham dan obligasi serta investasi langsung (FDI), tetapi rupiah dalam tren melemah. Di saham, nilai beli bersih investor asing sebesar Rp 10,3 triliun sampai Juni 2015), sedangkan kepemilikan asing di obligasi pemerintah terus meningkat menjadi Rp 508 triliun (40 persen dari total obligasi). Melihat arus modal asing tersebut, bukankah seharusnya rupiah terapresiasi karena peningkatan suplai dollar AS. Apalagi, data neraca pembayaran Indonesia 2014 mencatat surplus 17,4 miliar dollar AS, jauh lebih baik dari kondisi 2013 yang defisit 7,1 miliar dollar AS.
Depresiasi rupiah tahun 2015 agak unik karena harga saham dan obligasi pemerintah masih menunjukkan kinerja positif. Umumnya ketika rupiah terpuruk, akan diikuti rontoknya harga saham dan obligasi. Fenomena janggal ini sebaiknya harus disikapi dengan hati-hati, bukan tidak mungkin keterpurukan rupiah yang terlalu lama, akhirnya akan berimbas buruk ke pasar saham dan obligasi. Kemudian merambat ke sektor perbankan dan perekonomian secara keseluruhan.
Situasi global dan arah rupiah
Faktor positif perekonomian domestik seolah menjadi mubazir. Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan akan membaik dibandingkan dengan tahun lalu, inflasi yang turun signifikan, dan masuknya arus modal asing terlihat tak berdaya mengangkat rupiah terhadap dollar AS. Yang menyedihkan lagi adalah rupiah juga melemah terhadap semua mata uang negara lain di Asia sampai saat ini. Fenomena yang sama seperti krisis ekonomi dunia 2008.
Sementara AS cenderung akan menaikkan suku bunganya, menambah pemicu beralihnya modal ke aset finansial yang aman, yaitu dollar AS. Dan, ini yang membuat dollar AS begitu perkasa terhadap mata uang negara lain. Namun, harus diakui, rupiah jauh lebih perkasa dibandingkan dengan mata uang negara di kawasan Asia selama tahun 2014. Rupiah hanya terdepresiasi 1,75 persen terhadap dollar AS, sedangkan yen Jepang melemah tajam 12,1 persen, diikuti ringgit Malaysia (-6,3 persen), dollar Taiwan (-5,8 persen), dollar Singapura (-4,7 persen), won Korsel (-3,2 persen), yuan Tiongkok (-2,4 persen), dan terakhir rupee India (-1,81 persen). Akibatnya, sekarang rupiah menjadi yang terlemah 4,6 persen dibandingkan dengan mata uang negara di Asia. Ironisnya, rupee India, baht Thailand, peso Filipina, dan dollar Taiwan menguat terhadap dollar AS.
Berkaitan dengan arus modal asing di saham dan obligasi yang tak mampu melawan penguatan dollar AS, ada kemungkinan dana untuk membeli saham dan obligasi sebenarnya sudah ada dalam perekonomian domestik dalam rekening vostro (giro dalam rupiah yang dimiliki orang asing pada bank lokal). Vostro naik signifikan 66 persen, dari 1,4 miliar dollar AS tahun 2013 menjadi 2,4 miliar dollar AS tahun 2014.
Berangkat dari sisi penerimaan eksportir, tampaknya sulit diharapkan membantu meningkatkan suplai dollar AS. Penurunan harga komoditas (batubara, kelapa sawit, dan karet) kelihatannya masih berlanjut, ditambah dengan permintaan yang masih lemah karena perekonomian global yang cenderung belum kuat, terutama Tiongkok. Selanjutnya, kemungkinan ada peningkatan yang signifikan terhadap kebutuhan lindung nilai yang tinggi utang luar negeri BUMN dan perusahaan swasta, ditambah adanya utang jangka pendek yang akan jatuh tempo pada Mei/Juni. Jika ini benar, sifatnya hanya sementara, permintaan terhadap dollar AS akan kembali normal lagi. Oleh karena itu, menarik untuk ditunggu kira-kira rupiah akan bergerak ke mana lagi? Apakah rupiah sudah bergerak ke nilai fundamentalnya dengan memperhatikan inflasi dan pelemahan mata uang mitra utama dagang Indonesia.

                                                                                                  —————— *** ——————

Rate this article!
Tags: