Mengelola Aksi Damai Kebangsaan

“Mengawal” (Tanpa Rusuh) Persidangan Sengketa Pilpres

Oleh:
Yunus Supanto
Wartawan senior penggiat dakwah sosial politik

Bangsa Indonesia bagai memperoleh “kado” perwujudan demokrasi ber-altar politik, sekaligus isu agama yang berhimpitan dengan etnis. Citra positif itu merupakan hasil kinerja masyarakat luas muslim Indonesia. Diperkirakan sekitar sejuta orang mengikuti aksi damai, dengan laku utama ibadah (shalat Jumat) serta lantunan doa dan shalawat. Seluruh dunia meng-apresiasi pelaksanaan aksi unjukrasa kolosal (2 Desember 2016) di Jakarta.
Presiden Jokowi, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, juga larut dalam kesejukan aksi super damai. Meski diguyur hujan deras, dua pucuk pimpinan negeri (muslim terbesar di dunia) itu turut berbaur melaksanakan shalat Jumat bersama pengunjukrasa. Bahkan (usai shalat) presiden menyampaikan apresiasi sembari mengucapkan takbir. Presiden juga berterimakasih karena aksi super (kolosal) berlangsung damai, berisi doa-doa untuk negara.
Di seluruh dunia, tiada aksi unjukrasa (demo) se-damai itu. Padahal tuntutannya ditujukan pada pemerintah, dan proses peradilan. Yakni, “mengawal” fatwa Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia), KH. Ma’ruf Amin, dalam persidangan kasus penistaan agama. Pada akhir unjukrasa kolosal itu, nyaris tidak ditemukan sampah yang tertinggal, seluruh kawasan bersih. Hampir seluruh masyarakat Jakarta berpartisipasi men-sukses-kan aksi. Ada yang menyediakan nasi bungkus gratis, minuman gratis. Juga klinik pengobatan gratis.
Sehari menjalang aksi, banyak mushala dan masjid (serta rumah masyarakat), disediakan sebagai “transit” pelepas lelah. Maklum, ribuan peserta aksi rela berjalan kaki (dari rumah asal di berbagai daerah) berjarak puluhan kilometer menuju Jakarta. Sebelumnya polisi melarang seluruh moda angkutan darat (bus dan truk) untuk mengangkut peserta aksi. Namun larangan dicabut sehari menjelang aksi. Namun sebagian peserta terlanjur long march menuju Jakarta.
Pemerintah nampak ekstra waspada terhadap rencana aksi demo kolosal itu. Beberapa strategi pengamanan (dan ketertiban) telah dipapar pada masyarakat. Ada cara persuasif, preventif sampai ancaman tindakan tegas. Juga rencangan tim (satgas polri) ber-istighotsah. Serta yang paling strategis, melindungi obyek vital (istana negara). Sebab konon, terdapat (dugaan analisis) bisa mengarah pada gerakan “menggoyang” pemerintah.
Di-apresiasi Internasional
Ternyata, aksi damai 2 Desember 2016, lebih baik dibanding peraturan yang tercantum UU Nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan Menyampaian Pendapat Di Depan Umum. Polisi, tidak perlu becucur keringat, tidak ada aksi saling dorong dengan peserta aksi. Tidak perlu bersitegang negosiasi menyampaikan pendapat. Aksi dibawahkan para guru agama dan pendakwah. Bukan dibawah komando kelompok masyarakat tertentu.
Dunia meng-apresiasi aksi super damai Jakarta. Berbagai media masa dunia (tak terkecuali yang berbasis di Amerika Serikat) memberitakan sebagai “surprise” politik. Berbagai media sosial juga memapar pernyataan salut kalangan pengusaha, terutama mitra bisnis utama Indonesia (Jepang dan Singapura). Rumors (semula) aksi ini bisa ditunggangi kelompok ekstremis. Namun realitanya menunjukkan situasi sangat damai, lebih menyejukkan dibanding suasana di taman bermain anak-anak.
Semuanya lega. Itulah Islam Indonesia, yang tidak pernah “menghunus pedang” terhadap pemerintah. Aparat negara juga bertindak cerdas meng-antisipasi aksi demo damai kolosal. Cara persuasif tetap diprioritaskan, bahkan ditambah fasilitasi. Tidak lain, bergandengan memikul beban bersama dengan penanggungjawab aksi. Rangkaian acara aksi demo mesti dibahas bersama. Sehingga tidak elok, manakala aksi bertema keadilan tetapi berujung tawur masa.
Fasilitasi polisi juga dibuka lebih lebar, sebagai bukti kerjasama cerdas antara pemerintah dengan penanggungajwab aksi. Diantaranya penyediaan angkutan (pulang) untuk peserta aksi demo yang ketinggalan rombongan. Ini penting untuk meminimalisir dampak pasca aksi demo kolosal. Sebab psikologis komunitas masa yang longgar, rentan terhadap penyusupan.
Maka hari Jumat awal bulan Desember 2016, menjadi aksi unjukrasa terbesar kedua setelah gerakan reformasi, Mei 1998. Wajar terasa miris, secara sosial, politik maupun ke-ekonomi-an. Sehari berhenti bekerja di Jakarta, berarti kehilangan potensi perekonomian sekitar Rp 8 trilyun. Angka ini dihitung berdasar asumsi kinera APBN 2017 (dalam 300 hari kerja) yang disahkan sebelum demo 2 Desember. Jika “dikurs” dengan liburnya seluruh industri dan perkantoran, angka kehilangan bisa mencapai Rp 120 trilyun. Dihitung dari kekuatan stimulan APBN (6,6%) terhadap perekonomian nasional.
Jika dibanding dengan APBD Jakarta (tahun 2017 sebesar Rp 70-an trilyun), angka itu lebih dari 1,5 tahun. Kehilangan ke-ekonomi-an yang cukup besar. Jauh lebih mahal dibanding ongkos pilpres 2014 (sebesar Rp 15,62 trilyun) maupun pilpres 2019 (sebesar Rp 25,9 trilyun). Walau digabung dengan pengeluaran seluruh capres sekalipun. Ini tidak sebanding dengan “secuil” altar politik yang menyebabkan aksi demo kolosal.
Nyaman Tanpa Provokasi
Masyarakat telah meng-apresiasi kinerja aparat keamanan (TNI dan Polri), pada kerusuhan 21 dan 22 Mei 2019 lalu. Terutama kinerja intelijen, yang berhasil mendeteksi lebih dini penyelundupan (penyusupan) senjata api. Peng-gagal-an aparat keamanan, sungguh melegakan masyarakat. Sekaligus membuktikan, bahwa kinerja intelijen makin efektif. Menghindarkan negara dari potensi ancaman kegaduhan sosial lebih parah.
Peng-gagal-an aparat keamanan terhadap senjata api otomatis (standar militer) sekaligus terhindar dari aksi pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat. Indonesia akan menjadi tumpahan protes internasional, manakala aparat negara lalai (dan abai) terhadap kemungkinan korban jiwa pada unjukrasa. Seperti terjadi peristiwa “semanggi” (tahun 1998).
Penanganan kerusuhan 22 Mei (yang disusupi) telah menahan lebih dari 300 preman pengunjukrasa, termasuk pelaku pengrusakan fasilitas umum, dan mobil polisi. Seluruh pelaku kerusuhan berhak memperoleh keadilan pada proses Pengadilan. Sebagian akan menghadapi tuduhan makar, sebagian akan terancam terlibat sindikasi terorisme.
Persidangan Mahkamah Konstitusi, wajib digaransi berjalan aman, dan damai. Bahkan sampai usai putusan MK. Karena sebenarnya, masyarakat Indonesia tidak mengenal aksi “kontra sosial” pasca putusan MK. Terbukti dengan berbagai sengketa pilkada yang berakhir tuntas setelah putusan MK, tanpa gejolak tawur sosial antar pendukung pasangan calon Kepala Daerah. Yang kalah menerima dengan legawa.
Ironisnya, bersamaan dengan proses persidangan sengketa pilpres 2019, masih terdapat tokoh yang coba menyerukan gerakan masa. Walau tidak akan banyak masyarakat yang merespons, seruan gerakan masa bisa mengganggu kenyamanan. Seruan itu bisa diancam sebagai pidana provokasi gangguan keamanan dan ketertiban.
Sebaliknya, terdapat kelompok masyarakat (jauh lebih besar) yang mendukung proses persidangan MK. Yakni dengan acara menggelar istighotsah, doa bersama untuk keselamatan bangsa. Bahkan masyarakat pendukung kedamaian nasional, bertekad “pasang badan” menjamin kedamaian bangsa. Acara masyarakat yang damai, dan santun, patut di-apresiasi aparat.
Meng-antisipasi gangguan keamanan, aparat negara tidak boleh tunduk pada “gertakan” milisi illegal yang mengganggu keamanan nasional. Diperlukan ke-tanggap-an lebih dini, transparan, dan profesional merespons unjukrasa. Aparat negara akan memperoleh simpati dan dukungan luas (setara nilai cumlaude) manakala sukses merespons aksi demo. Sebaliknya, masyarakat akan memberi rapor merah, manakala gagal melindungi kepentingan masyarakat yang lebih besar.

——— *** ———

Rate this article!
Tags: