Mengenal Konsep Rasa sebagai DNA Jawa dan Nusantara

Judul : Anatomi Rasa
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun terbit : Cetakan 1, Maret 2019
Ukuran : xvii + 277 halaman, 13,5 x 20 cm
ISBN : 978-602-481-124-4
Peresensi : Arinhi Nursecha
Pegiat literasi asal Cikarang Utara. Bekasi
Di tengah berbagai isu yang tetap memanas meski kontestasi politik telah usai, Ayu Utami menawarkan spiritualisme kritis sebagai teori psikologi indigenus yang patut diperhitungkan. Pada novel Bilangan Fu (KPG, 2008) telah disinggung tentang kisah cinta segitiga berlatar rezim Orde Baru antara Sandi Yuda, Marja, dan Parang Jati, serta spiritualisme kritis yang masih relevan dengan konteks Indonesia terkini. Kali ini Ayu Utami menempatkan dirinya sebagai editor dalam Anatomi Rasa.
Spiritualisme kritis juga pernah dibahas dalam seri sebelumnya, Simple Miracles, Doa dan Arwah (KPG, 2014) yang mengupasnya dari sudut pandang Katolik dan falsafah Jawa. Spiritualisme kritis sendiri dapat diartikan sebagai sikap spiritual tanpa kehilangan nalar kritis, atau sebaliknya, kita bisa bersikap spiritual tanpa harus religius.
Seolah dituturkan secara personal untuk Marja dan bersikeras menyebutnya sebagai buah pemikiran Parang Jati, sejatinya narasi di novel ini tetap menampilkan citra Ayu Utami. Membaca Anatomi Rasa mungkin akan terasa melelahkan, lantaran lebih bersifat filsafat tekstual dan berisi repetisi atas konsep yang telah dijabarkan sebelumnya dalam Bilangan Fu.
Buku ini terbagi dalam tiga segmen, yakni Rasa, Religi, dan Rasio. Pada bab Rasa, Ayu Utami memperkenalkan berbagai macam rasa sampai pada istilah Rasa Sejati, rasa yang bagi orang Jawa hanya bisa dikatakan dalam lirih atau hening. Namun semenjak Aufklarung (pencerahan) Barat mengkategorisasi perihal rasional dan irasional; dan segala bentuk irasionalitas harus ditaklukkan. Akibatnya, mekanisme Rasa yang mengarah pada spriritualisme kritis ikut dipinggirkan.
Novel ini dibuka dengan lakon Dewa Ruci yang kerap diperankan oleh Suhubudi, ayah angkat Parang Jati di padepokannya. Singkatnya, kisah Dewa Ruci memiliki tiga pokok ajaran: infiniti, metafisika, dan paradoks spiritual, yang juga terdapat dalam falsafah Jawa. Tanpa bermaksud mengagungkan falsafah Jawa di atas yang lain, Ayu Utami meyakini Rasa menawarkan penyatuan kembali kita yang terpecah-pecah oleh kategorisasi dan perbedaan.
Kisah Dewa Ruci mengandung ajaran mistik manunggaling kawulo gusti (menyatu dengan Ilahi) melewati konteks Jawa Hindu, Jawa Islam, dan tetap hidup dalam Indonesia yang bhinneka. Lebih lanjut, Parang Jati memperkenalkan konsep kiblat papat lima pancer. Dalam tataran waktu, orang Jawa mempunyai sistem pancawara atau lima hari dalam sepekan yang tersusun secara konsentris. Dalam tingkat individu, manusia adalah pribadi yang dikelilingi oleh empat saudara gaib, yakni ketuban, getih, ari-ari, dan pusar.
Lakon Dewa Ruci sebenarnya bertautan dengan kiblat papat lima pancer, di mana nafas dan nafsu menjadi fokusnya. Nafas yang bersifat positif, pada suatu titik dapat berubah menjadi nafsu. Nafsu yang dibiarkan terlepas dari pancer, akan menjelma syahwat yang berbahaya. Jika ini terjadi, kita akan menemukan sosok sok suci, doyan kemewahan, korup, dan dengki sekaligus.
Pada bab Religi, Ayu Utami mengajak pembacanya mengenal lebih jauh tentang ragam instrumen kebudayaan Jawa diantaranya sosok Punakawan yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Sebagai pengiring para ksatria dalam kisah wayang, termasuk lakon Dewa Ruci, mereka sering kali lebih bijaksana dibanding majikannya. Punakawan adalah DNA atau jiwa purba orang Jawa. Artinya, dalam bahasa rasional-modern, punakawan membawa kode atau sandi dasar mengenai bangunan alam pikir Jawa.
Dalam kitab Sutasoma dengan jargonnya Bhinneka Tunggal Ika yang kemudian dijadikan semboyan bangsa Indonesia, Mpu Tantular mewariskan sikap religius yang dilakukan tanpa memandang kelompok. Ayu Utami kembali menyinggung perbedaan sudut pandang agama-agama Timur dengan monoteis. Dalam Hindu-Buddha, metafor bagi yang mutlak adalah nol, sedangkan dalam monoteisme, metafor untuk Tuhan adalah satu. Demikian pula konflik internal antara penganut ortodoks yang berorientasi pada penerapan syariah secara lahiriah dengan kelompok mistik yang mengutamakan pengalaman batin. Namun kembali pada Sutasoma, roh Nusantara muncul dalam tendensi untuk menyatu, bukan memisah.
Perumusan Pancasila sebagai dasar dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan sesungguhnya adalah penyalinan kembali sandi purba Nusantara. Jawa, sebagai bagian dari Nusantara, memiliki peran penting dan terbuka dalam memelihara kode purba itu dari zaman.
Dalam bab Rasio, Ayu Utami menilai modernitas telah mengubah struktur dunia. Dunia modern tak lagi dialami sebagai keutuhan antara manusia, alam, dan yang adikodrati. Selain itu, modernitas juga disusupi sikap dogmatis dan tertutup dalam Mekanisme Rasio, yang bertentangan dengan Mekanisme Rasa. Ditutup dengan pertanyaan retorik mengenai kemungkinan spiritualisme kritis berhasil diterapkan, Ayu Utami meyakininya akan berhasil, dengan menyertakan catatan sejarah keberhasilan negeri ini melawan berbagai keterbelengguan.
———– *** ————

Tags: