Menggugat Penggelolaan Sumber Daya Alam

Oleh:
Husai Yatmono
Pemerhati Sosial dan Politik

Peraturan Pemerintah (PP) No 1 tahun 2017 telah ditandatangani Presiden. PP ini mengatur Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Menurut Marwan Batubaru, Pengamat Pertambangan, PP ini mengalami kemunduran, merugikan negara dan tunduk pada asing. (TV One, Kabar Pasar, 16 Januari 2017).
Salah satu point yang diatur dalam PP ini adalah perubahan status dari kontrak karya (KK) menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Freeport, salah satu perusahaan pertambangan asing di Indonesia, akan mengakhir kontrak karya (KK) pada tahun 2021 dan minta jaminan perpanjangan izin perpanjangan usaha pertambangan hingga 2041.
Janji Freeport untuk membangun smelter sebagaimana disyaratkan untuk perpanjangan izin usaha pertambangan, belum juga dipenuhi. Freeport berusaha melakukan negosiasi dengan pemerintah, mereka akan membangun smelter jika ada jaminan perpanjangan izin usaha pertambangan mereka diperpanjang hingga 2041.
Menurut penulis, negara harus ada evaluasi terhadap tambang-tambang Indonesia yang penggelolaannya dikuasai asing. Evalusia ini tidak hanya sebatas pada tambang Freeport di Papua saja tapi semua tambang , baik itu tambang minyak yang dikelola Exxon Mobile, Petro China, Shell maupun tambang lainnya.
Pertambangan dan sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan tambang kepada swasta apalagi asing. Penyerahan eksplorasi dan pengelolaan tambang kepada swasta hanya akan memberikan mengguntungkan pengusaha dan menggesampingkan kesejahteraan rakyat. Jika negara harus melakukan kontrak dengan pihak swasta untuk eksplorasi tambang, maka sebatas kontrak kerja eksplorasi saja. Mereka tidak bisa memiliki hak atas tambang sebagai konspensasi kerja sama. Selama ini kontrak kerja pengelolaan pertambangan sangat merugikan Indonesia, karena negara tidak memiliki otoritas atas pertambangan yang ada di wilayahnya. Kepentingan negara selalu kalah dengan kepentingan bisnis pengusaha. Wajar jika kemudian rakyat harus membeli dengan harga yang mahal atas hasil pertambangan energi dan mineral yang ada di negaranya.
Sebagai contoh, awal tahun 2017 lalu pemerintah telah membuat kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Tarif Dasar Listrik (TDL) bagi pelanggan 900W. Dengan dicabutnya subsidi listrik 900W, yang memiliki pelanggan sebanyak 22,9 juta merupakan kelompok rumah tangga, membuktikan bahwa pemerintah telah ingkar janji berpihak pada rakyat. Dengan dinaikkannya komiditas ini jelas akan memberatkan rakyat karena kedua komoditas ini sekarang telah menjadi kebutuhan utama masyarakat. Efeknya pasti ada kenaikkan pada sektor lain, kebutuhan pokok, transportasi, biaya produksi sementara pendapatan masyarakat tidak mengalami perubahan.
Jumlah orang miskin di Indonesia menurut Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 ada 29 juta orang. Dengan asumsi pendapatan 1 dollar atau Rp. 13.500 per hari. Jika standar ini dinaikkan menjadi 2 dollar atau 26.500 per hari, maka akan didapatkan jumlah penduduk miskin dua kali lipatnya yaitu sebesar 58 juta. Pertanyaanya adalah dengan pendapatan sebesar Rp. 26.500 per hari apa yang bisa diperbuat oleh rakyat? Jangankan untuk membayar biaya pendidikan, memiliki rumah, bisa bertahan hidup setiap hari dengan keluarga saja sudah untung. Ini artinya kebijakan pemerintah yang selama ini mengklain untuk kepentingan rakyat tidak benar.
Seharusnya negara meningkatkan subsidi bahkan mengratiskan kedua komoditas utama ini bagi masyarakat sehingga bisa menaikkan taraf hidup dan produktifitas masyarakatnya. Namun hal ini sulit dilakukan oleh negara karena pengelolaan sumber daya alam diserahkan kepada swasta apalagi asing. Negara tidak memiliki kontrol dalam mengendalikan penggelolaan tambang, negara hanya puas dengan menerima pembayaran pajak dari perusahaan tersebut.
Dalam penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) menempatkan sektor pajak sebagai sumber utama pembiayaan APBN, hingga di atas 70%, didukung pendapatan non pajak dan hutang luar negeri. Akibatnya setiap tahun pemerintah menaikkan pendapatan pajak, mencari sumber-sumber obyek pajak baru. Hutang luar negeri juga ditambah setiap tahun, untuk menutupi defisit APBN. Sementara sumber daya alam yang berlimpah pengelolaannya diserahkan swasta dan cukup puas dengan hasil pembayaran pajak.
Menurut penulis, menaikkan pajak dari dan menambah hutang luar negeri bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi defisit APBN. Fakta menunjukkan setiap tahun hutang Indonesia selalu meningkat, padahal setiap tahun hutang dan bunganya selalu dibayarkan, tapi justru bertambah. Hingga bulan Nopember 2016 hutang Indonesia telah mencapai Rp. 3.485 trilyun belum lagi ditambah dengan beban bunganya. Jelas hutang luar negeri bukanlah solusi untuk mengatasi defisit anggaran.
Menurut, John Perkin dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man, hutang luar negeri sebagai alat penjajahan, jabakan bagi suatu negara. Negara kreditor akan memberikan hutang semaksimal mungkin, hingga negara tersebut tidak sanggup lagi membayarnya. Jika kondisinya sudah demikian, maka mereka tidak ada pilihan selain mengikuti kemauan negara kreditor. Negara bisa dikuasai dengan mudah tanpa harus menggerahkan pasukan dan kendaraan militer.
Oleh karena itu, tidak bisa tidak, pengelolaan sumber daya alam Indonesia harus diambil alih oleh negara, sehingga negara memiliki otoritas penuh atas aset milik rakyat ini. Menyerahkan penggelolaan sumber daya alam kepada swasta asing melalui sejumlah undang-undang jelas merupakan sebuah kesalahan yang diulang-ulang terus-menerus dari satu rezim ke rezim berikutnya. Jadi semuanya berpulang kepada pemerintah kita, apakah masih akan tetap bersikukuh menggelola sumber daya alam dengan sistem Kapitalisme yang telah terbukti menyenggsarakan rakyat atau mau berubah. Jika tetap bersikukuh menyerahkan penggelolaan SDA kita kepada asing, ini merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat, yang telah memilihnya sebagai pemimpin.
————– *** —————-

Tags: