Mengukuhkan Visi Kebangsaan

kebangsaanSumpah Pemuda (28 Oktober 1928) tak terasa sudah berlalu 88 tahun silam. Meski (saat itu) para tokoh nasional tak selalu seirama se-iya se-kata, tetapi demi pertalian bangsa, perbedaan mestilah diberi batas waktu dan tempat. Berbeda di ruang rapat, berbeda statement di halaman suratkabar, sudah biasa. Perbedaan dalam orasi kebangsaan bagai sekadar aksesori cara pengungkapan. Tetapi visi mencintai dan memajukan bangsa tak pernah beda.
Tetapi itulah momentum pembangunan visi kebangsaan yang utama. Diawali rasa ke-tertindas-an, selama ber-abad-abad. Sumpah Pemuda, dicetukan oleh aktifis pemuda kebangsaan. Hal itu berhubungan dengan sikap rezim penjajah Belanda yang mulai merespons desakan dalam negeri. Serta desakan internasional, agar lebih santun terhadap pribumi jajahannya. Pada saat bersamaan sudah banyak aktifis internasional mengecam penindasan militeristik terhadap bangsa Indonesia.
Dipicu protes terhadap program tanam paksa. Melalui program tanam paksa, 70% perekonomian kerajaan Belanda ditopang oleh rakyat Indonesia. Jika tidak, negara Belanda sudah terhapus dari peta Eropa atau setidaknya di-merjer menjadi koloni Inggris atau Perancis (sebagai pemenang perang). Sebaliknya kondisi petani Jawa hidup dalam kemisikinan yang mendalam. Di berbagai daerah sering terjadi protes dan pemberontakan yang luas, namun selalu bisa  ditumpas secara militer.
Dengan itu Belanda terhindar dari kebangkrutan karena kalah perang. Dan, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, dianggap berhasil gemilang, lalu dianugerahi gelar kebangsawanan Graaf, (pada peringatan Natal 1839). Namun politik tanam paksa, tak dapat dilaksanakan seterusnya. Di Eropa dan Amerika makin gencar meng-kampanye-kan HAM. Namun Belanda, tergolong bebal dalam pelaksanaan HAM, berbeda dengan Inggris dan Perancis.
Politik etis (yang sedikit meng-adopsi HAM) baru dilaksanakan tahun 1916, pada masa Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum. Berbagai organisasi kedaerahan, dan keagamaan ditolerir. Bahkan organisasi keagamaan lebih berpeluang cepat berkembang luas, karena dianggap tidak berpolitik.
Momentum Sumpah Pemuda, merupakan cara awal yang memadai menuju kemerdekaan. Ada juga kelompok lain yang menginginkan cara lebih “greng,” revolusi dengan angkat senjata. Padahal cara “greng” sudah sering dicoba oleh beberapa kerajaan (ke-daerah-an) namun selalu gagal. Maka disadari, bahwa untuk merdeka dari penjajahan oleh bangsa asing harus mempersatukan seluruh komponen dengan satu wadah nasional.
Di rumah kos-kosan komunitas Jong Java, di jalan Kramat Nomor 106, digagas untuk me-nasional-kan tekad merdeka. Di-deklarasikan satu negara bangsa Indonesia, walau saat itu rezim HJ de Graaff memerintah dengan tangan besi. Maka jangan dulu angkat senjata melainkan cukup deklarasi adanya satu bangsa. Pada saatnya ((November 1945) diperlukan aksi lain sebagai realisasi Sumpah Pemuda, angkat senjata mempertahankan kemerdekaan bangsa.
Kini momentum Sumpah Pemuda juga membutuhkan aksi berbeda, seiring dengan berkembangnya arti kemerdekaan. Saat ini pemuda dituntut bersatu-padu dalam aksi pemberantasan korupsi (dan pungli), serta memberantas narkoba. Seluruh dunia juga mendendam sengit terhadap korupsi dan peredaran narkoba. Keduanya bisa menghancurkan generasi penerus (pemuda).
Sampai PBB menerbitkan konvensi khusus korupsi (UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION), tahun 2003. Pada mukadimah konvensi itu dinyatakan: Prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat … merusak tatanan negara, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.”
PBB juga menerbitkan konvensi, memberi label khusus perdagangan obat narkotika dan bahan psikotropika sebagai kejahatan serius. Dalam Pasal 3 ayat (6) diharapkan setiap negara harus memastikan pengenaan sanksi yang maksimum. Maka pemuda, mestilah bersumpah (lagi) untuk melawan korupsi dan narkoba!

                                                                                                            ———   000   ———

Rate this article!
Tags: