Menjamin Hak Anak Bisa Bermain

Wahyu Kuncoro

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Anggota Dewan Pendidikan Kota Surabaya ; Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Bhayangkara Surabaya

Hari Anak Nasional (HAN) baru selesai diperingati Selasa (23/7) kemarin. Berbagai pihak terlihat menjadi begitu perhatian dan peduli dengan kehidupan anak-anak. Berbagai instansi baik dari pemerintahan maupun swasta ramai-ramai menggelar acara untuk memuliakan anak-anak. Media massa pun begitu bergairah menyorot kehidupan anak-anak dengan berbagai dinamikanya, dengan segala suka dukanya.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah setelah peringatan Hari Anak Nasional usai digelar, masih adakah gairah dan antusiasme yang sama untuk memuliakan kehidupan anak-anak? Apakah masih ada kepedulian dan keinginan untuk memenuhi apa yang sesungguhnya lebih dibutuhan bagi anak dalam menikmati dunianya?
Kalau merujuk sejarahnya, peringatan Hari Anak Nasional ditujukan untuk mengajak seluruh warga memperingati dan merenungkan apa yang harus kita lakukan untuk mewujudkan dunia anak yang lebih baik. Menurut Keppres RI No. 44 Tahun 1984 hari anak Nasional adalah hari yang diperingati se-Indonesia pada tanggal 23 Juli setiap tahun dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anak secara keseluruhan.
Sejarah hari anak nasional berawal dari gagasan mantan presiden RI ke-2 (Soeharto), yang melihat anak-anak sebagai aset kemajuan bangsa, sehingga sejak tahun 1984 berdasarkan Keputusan Presiden RI No 44 tahun 1984, ditetapkan setiap tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Kegiatan Hari Anak Nasional dilaksanakan mulai dari tingkat pusat, hingga daerah yang bertujuan untuk menunjang Kesejahteraan anak serta melindungi hak-hak anak-anak
Dunia Anak Dunia Bermain
Bermain adalah hak anak, sesuai dengan konvensi PBB mengenai hak anak yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia tahun 1990. Maka patut diketahui dan dicamkan oleh mereka yang mengaku orang dewasa –utamanya mereka yang berprofesi sebagai pendidik maupun sudah menjadi orangtua–, bahwa dunia anak adalah bermain, melalui bermain anak-anak ini diharapkan juga mempelajari berbagai objek maupun peristiwa, yang ada dan berlangsung di sekelilingnya, tanpa merasa dirinya dipaksa untuk belajar.
Bermain adalah kegiatan yang menyenangkan, sehingga anak akan melakukannya dengan emosi gembira, bahagia. Dengan sendirinya, melalui kegiatan bermain yang menyenangkan, anak lebih mudah mempelajari dan menyerap banyak hal. Selain itu, belajar, akan menghasilkan perubahan kemampuan dan perilaku.
Kegiatan belajar sebenarnya bukan hanya bersangkut paut dengan bidang akademis saja, tetapi juga hal-hal yang non akademis, seperti life skills, olahraga, seni, dan sebagainya.
Sebagian besar anggota masyarakat masih memandang bermain sebagai kegiatan yang membuang-buang waktu, tidak ada manfaatnya. Anggapan ini tentu salah besar karena sebenarnya melalui bermain aspek perkembangan fisik (kesehatan, kekuatan otot tubuh), ketrampilan motorik (gerakan tubuh, ketrampilan jari-jemari); perkembangan kognitif (atensi, konsentrasi, daya ingat, daya nalar, bahasa, mengenali dan memahami berbagai konsep dasar pengetahuan.
Sungguh menyedihkan sekali apabila anggota masyarakat beranggapan bahwa sejak usia Balita bahkan Batita, anak sudah harus dijejali dengan berbagai kegiatan formal untuk belajar (sebagai contoh, ada institusi yang menawarkan kursus membaca, menulis, berhitung, untuk anak usia 3 tahun). Alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini adalah usia lima tahun pertama anak-anak harus diberikan rangsangan agar lebih cerdas. Kalau tidak, maka mereka akan kehilangan masa emasnya untuk belajar sehingga waktu bermainnya sangat dibatasi. Dunia anak-anak merupakan dunia bermain. Maka cara terbaik mendidik anak harus juga dengan cara bermain, bukan dengan cara kekerasan.
Kebutuhan Literasi Anak
Angka literasi anak di Indonesia masih sangat buruk. Hal itu didasarkan pada data Early Grade Reading Assissmet (EGRA) yang menyebut 5,8 persen siswa kelas dua Sekolah Dasar (SD) tidak bisa membaca, lalu 26,3 persen bisa membaca namun tidak lancar, dan 20,7 persen bisa membaca tanpa bisa memahami isi bacaan. Data itu menunjukkan angka literasi itu buruk ya. Meskipun, tingkat buta huruf saat ini berkurang, karena hampir 90 persen lebih sudah mengenal huruf. Tapi peningkatan literasi bukan hanya itu.
Bahwa untuk bisa bersaing di era global seperti saat ini, anak dituntut mampu memiliki skill membaca baik. Bukan hanya sekadar membaca huruf per huruf, melainkan skill membaca angka-angka matematika atau hal lainnya. Tapi kalau kita berbicara soal literasi bagi anak, kita tidak hanya kemampuan anak saja. Tapi juga media pendukung literasi, misalnya pendistribusian buku yang baik, akses perpustakaan, dan lainnya juga harus baik.
Saat ini pemerintah telah cukup memberi perhatian dalam peningkatan literasi. Karena itu, agar pemerintah terus mendorong peningkatan literasi pada anak di seluruh Indonesia. Demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik nantinya, si kecil tidak cukup hanya mendapatkan ilmu dari pendidikan formal saja. Proses sosialisasi pertama kali dilakukan dalam keluarga, dimulai dengan proses belajar adaptasi dan mengikuti setiap hal yang diajarkan oleh orang-orang di dalam lingkungan keluarga. Keluarga merupakan tempat pertama kali anak mendapatkan didikan, baik secara langsung, maupun tidak langsung. Melalui keluarga, anak mengenal dunia sekitar, pola pergaulan kehidupan sehari-hari, serta menjadi proses awal terbentuknya kepribadian anak. Sistem pendidikan keluarga bisa dilakukan melalui pola asuh, yaitu suatu pola untuk menjaga, merawat, serta membesarkan anak.
Literasi dalam Keluarga
Untuk urusan pendidikan, sebagian besar orang tua beranggapan bahwa sekolahlah yang memiliki tanggung jawab sepenuhnya. Orang tua hanya perlu mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah serta memenuhi kebutuhan finansial yang diperlukan anak selama sekolah, tanpa tahu sejauh mana anak menyerap pendidikan.Untuk menuju pendidikan secara khusus ke arah kepribadian, tentu seorang guru harus bekerja ekstra dan membutuhkan waktu lebih lagi untuk mengenali puluhan anak. Jika kita bandingkan, tentu akan jauh lebih efesien saat orang tua berperan aktif dalam pendidikan dasar anak.
Dari sekolah, anak-anak mendapatkan pengajaran oleh seorang guru, kemudian dilanjutkan dengan bimbingan oleh orang tua di rumah. Persoalannya sekarang, sistem pendidikan keluarga belum terlaksana seperti yang diharapkan.
Kendala terbesarnya adalah orang tua tidak memiliki cukup waktu luang karena rutinitas pekerjaan. Selain itu, sebagian orang tua juga tidak memiliki latar belakang pendidikan yang baik, sehingga menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan anak sebagai tanggung jawab sekolah. Oleh karena itu, diperlukan langkah yang solutif dalam mengatasi persoalan bagaimana keluarga dapat ikut ambil bagian dalam pendidikan anak. Pendidikan literasi di rumah bisa menjadi solusi tepat untuk diterapkan sebagai sistem pendidikan keluarga.
Bisa kita amati satu tahun belakangan, banyak bermunculan gerakan literasi, diantaranya Gerakan Literasi Bangsa (GLB), Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Gerakan Indonesia Membaca (GIM), Taman Bacaan Masyarakat (TBM), serta Pustaka Bergerak yang diinisiasi oleh ratusan pegiat literasi di seluruh Indonesia. Sejauh ini, gerakan literasi mendapat respons positif dari masyarakat, khususnya anak-anak.
Oleh karena itu, akan sangat baik rasanya apabila pendidikan literasi ini juga diterapkan di rumah yang pada dasarnya merupakan ruang yang lebih efektif daripada sekolah maupun lingkungan. Sebab, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah, dan lebih dari itu keluarga bisa jadi lingkungan paling nyaman bagi anak.
Bentuk pendidikannya pun bisa mencontoh gerakan-gerakan literasi yang sudah ada. Setiap rumah mulai membangun perpustakaan sendiri, minimal dengan membeli satu buku tiap bulan yang rasanya tidak terlalu sulit untuk taraf ekonomi keluarga. Dengan ketersediaan buku-buku bacaan di rumah, seperti buku cerita untuk anak-anak, tentu akan menumbuhkan minat anak untuk membaca. Dengan berjalannya pendidikan literasi di rumah, berbagai kendala dalam dunia pendidikan anak, baik yang dirasakan oleh pihak sekolah (guru-guru), keluarga (orang tua), maupun dari anak-anak itu sendiri, secara perlahan dapat teratasi.
Pendidikan literasi yang diterapkan di rumah, dapat lebih memudahkan kerja guru di sekolah dari segi pendekatan secara khusus yang tidak harus dilakukan lagi terhadap murid-murid. Anak-anak mendapat fasilitas tambahan, berupa kemudahan mengakses buku-buku yang berguna menunjang pendidikan dasarnya.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

——- *** ——–

Rate this article!
Tags: