Menjemput Pemimpin Idaman Rakyat

Ahmad Anwar MusyaffaOleh:
Ahmad Anwar Musyafa’
Peneliti Kajian Politik Islam Klasik-Kontemporer di Monash ; Aktivis HMI Komisariat Syariah IAIN Walisongo Semarang

Era reformasi telah berjalan lebih dari lima belas tahun, hiruk pikuk permasalahan negara Indonesia seperti halnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)kembali menjulang kepermukaan bumi pertiwi beriringan dengan gempita pesta politik yang digelarrutinan tiap lima tahun sekali. Wacana pelanggaran hak asasi manusia dan “politik citra”pun juga tak kalah menarik untuk diperbincangkan dalam dunia perpolitikan saat ini.
Munculnya kembali isu ini merupakan wacana yang hampir dalam setiap lingkungan masyarakat mengetahuinya. Entah, apa yang menjadi pemicukasus ini kembali bergejolak. Akan tetapi, dengan tidak menafikan wacana tersebut, pada dasarnya latar belakang dari semua ini tak lain adalah imbas negatif dari “keganasan”dunia politik semata.
Kita menyadari bahwa, pada dasarnya dalam dunia perpolitikan tak mengenal kata kawan. Oleh sebab itu, jika sudah bergulut di lingkup politik, status kawan yang awalnya kita kenal berubah sepenuhnya menjadi lawan. Inilah yang menjadi salah satu faktor kebobrokan demokrasi.
Perpolitikan yang pada dasarnya harus menjunjung tinggi faktor kejujuran dan keadilan, seperti halnya yang dikatakan oleh Robert A. Dahl. Menurutnya ada enam prinsip yang harus ada dalam negara demokrasi, salah satunya adalah kebebasan mengemukakan pendapat tanpa ancaman. Namun kenyatannya ini justru berbanding terbalik. Manusia yang seharusnya menjadikan dunia perpolitikan sebagai wahana untuk memanusiakan manusia berubah drastis layaknya seekor hewan yang bertarung dengan hewan lain demi merebut mewahnya kekuasaan.
Capres Kontroversi
Perpolitikan menjadi kian heboh ketika muncul dua kandidat “hebat”dalam permukaan yang nantinya akan menghuni istana negara. Ya, mantan angkatan bersenjata (Prabowo) yang dianggap tegas namun menuai kritik akibat pelanggaran HAM pada era reformasi tahun 1998, dan mantan walikota Solo (Joko Widodo) yang diangap merakyat tapi hanya sebatas pencitraan.
Rakyat tentunya mengalami kegalauan ketika Prabowo dan Jokowi RI “dinobatkan” sebagai capres yang penuh kontroversi. Akan tetapi semua ini tak akan menjadi faktor penghambat berjalannya demokrasi apabila rakyat memang cerdas dalam menganalisa sebuah konsep wacana politik.Prabowo mempunyai sifat tegas sebagai mana dikemukakan oleh Hasil survei lembaga Puskaptis yang menunjukkan bahwa, alasan publik memilih pasangan Prabowo-Hatta sebanyak 33,80 persen. Lain dari prabowo yang dinilai tegas, sebesar 16,27 persen sepakat bahwa Jokowi-JK mempunyai sifat merakyat dan bijaksana.
Survei ini dipraktekkan terhadap 1.250 responden berumur 17 tahun ke atas di 33 Provinsi dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan margin error 2,8 persen.Dari hasil survei diatas, responden telah menentukan pilihannya sesuai dengan hati nurani bahwa demikianlah karakter pemimpin Indonesia kedepan. Tentunya bukan sepatan pemimpin boneka, polesan media, dan pencitraan belaka.
Iman, Ilmu dan Amal
Alqurán pernah mengisahkan peristiwa raja Thalud. Dijelaskan di dalamnya bahwa; Nabi mereka mengatakan kepada mereka (Bani Israil); “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Lalu mereka (Bani Israil) menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) menjawab: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah ayat 247).
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa, hakikatnyaseorang pemimpin wajib mempunyai fikiran dan daya tahan tubuh yang sehat. Dalam arti lain, kemampuan intelektual, moral dan spiritual harus tertanam dengan baik dan berkualitas. Begitupun daya tahan tubuh juga harus dipastikan kuat. Sebab, seorang pemimpin merupakan tumpuan utama dari segala macam tumpuan.
Hal tersebut dapat dipastikan sebab seorang pemimpin akan selalu berjibaku dalam menghadapi problematika yang dialami negara. Dalam konteks ini, tergambar dari kisah raja Jalud, seorang pemimpin harus memiliki iman, ilmu, dan kemudian amal. Ilmu merupakan suatu penyeimbang dari iman dan amal perbuatan. Sebab,segala perkataan dari seorang pemimpin tentunya merupakan harapan manis bagi rakyat. Pemimpin akan dinilai baik apabila antara ucapan dan tindakannya seimbang, dan pemimpin akan dikatakan buruk apabila ucapan dan tindakannya tidak sesuai, dalam artian lebih banyak bicara tanpa melakukan usaha.
Atau bisa dikatakan, iman dan amal merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Komponen ini mengandung nilai yang cukup tinggi dari pada komponen-komponen yang lain. Keduanya akan mengahasilkan sesuatu yang dicita-citakan apabila seimbang. Ibaratnya; iman dan amal bagaikan sekeping mata uang yang apabila salah satunya tidak ada maka sama dengan ketiadaan keduanya.
Oleh sebab itu, sejatinya status quo (negative)atau yang sering kali disebut pencitraan, yang dilakukan lewat blusukan ataupun “gaya koboy” sudah sepatutnya”dihilangkan”bagi para calonpresiden yang nantinya akan menghuni istana negara. Sebab,pemimpin yang diharapkan rakyat saat ini bukanlah sosok pemimpin yang dihasilkan polesan media, akan tetapi pemimpin sejati yang mau bekerja secara nyata demi mewujudkan keadilan dan kemakmuran bangsa dan negara. Dari pemaparan ini, pemipin yang benanr-benar memiliki dhirah perjuangan demi memperbaiki bangsa dan negara sangat butuhkan mengngat eksistensi Indonesia yang dewasa ini tergolong mengalami kebobrokan dalam lini apapun.
Dengan demikian apabila seorang pemimpin telah menguasai aspek-aspek yang sebagaimana telah terpapar diatas, maka masyarakat adil makmur yang senantiasa diharapkan bangsa Indonesia akan segera terwujud.
Wallahua’lam bi al-Shawab

—————– *** —————–

Rate this article!
Tags: