Mensos Larang Pemasungan Fisik Penyandang Psikotik

Mensos Khofifah Indar Parawansa di Padepokan Among Budaya Sastro Loyo, penampungan korban Nafza dan penderita psikotik di Desa Sentono Rejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Minggu (28/2) kemarin. [kariyadi]

Mensos Khofifah Indar Parawansa di Padepokan Among Budaya Sastro Loyo, penampungan korban Nafza dan penderita psikotik di Desa Sentono Rejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Minggu (28/2) kemarin. [kariyadi]

Kab Mojokerto, Bhirawa
Masih banyaknya pemasungan secara fisik kepada penyandang gangguan jiwa atau psikotik di Indonesia mengusik Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa. Ketua Umum Fatayat ini menekankan agar masyarakat tidak lagi memasung secara fisik penyandang psikotik.      Karena pemasungan sangat bertentangan dengan pemenuhan hak-hak dasar manusia. Bahkan Mensos memasang target pada 2017 mendatang, di Indonesia sudah bebas dari aksi pemasungan secara fisik terhadap warga dengan kategori gangguan jiwa.
Khofifah menyampaikan statemennya  itu saat melakukan kunjungan ke Padepokan Among Budaya Sastro Loyo, penampungan korban Nafza dan penderita psikotik di Desa Sentono Rejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Minggu (28/2) kemarin. “Format rehabilitasi penyandang psikotik yang dilakukan Pak Wulung (Pemilik Padepokan Among Budaya Sastro Loyo) ini semuanya tanpa pasung, tanpa rantai. Format ini perlu ditularkan secara luas,” kata Khofifah.
Menurutnya, saat ini jumlah penyandang psikotik yang dipasung diseluruh Indonesia sekitar 57 ribu jiwa. Angka ini harus terus dikurangi  agar pada 2017 Indonesia bebas pasung. “Ada sekitar 57 ribu warga bangsa ini yang mengalami gangguan psikotik dan dipasung. Kita dari pemerintah pusat, provinsi dan daerah mencanangkan Indonesia bebas pasung pada 2017 nanti,” tambah  Khofifah.
Menurut Khofifah, setelah ada Kartu Indonesia Sehat (KIS), tidak ada alasan bagi pemasungan. “Keluarga dan masyarakat agar tidak melakukan pemasungan penyandang psikotik. Sebab, mereka bisa mendapatkan intervensi KIS, berupa kontinuitas pengobatan yang mesti dikonsumsi agar bisa kembali sehat,”tekannya.
Kader posyandu di daerah, katanya, punya tugas untuk memastikan penyandang psikotik mendapatkan obat, sebab jika diputus bisa mempengaruhi instabilitasi emosi dan kembali dipasung.
Ia pun menyatakan angkat topi dengan upaya mandiri yang dilakukan Sri Wulung untuk menangani dan menyembuhkan korban nafza dan penyandang psikotik. “Penanganan korban nafza dan penyandang psikotik yang dilakukan Pak Wulung sangat memanusiakan manusia,” katanya.
Di hadapan Mensos dan Kepala Dinas Sosial Kabupaten Mojokerto Hariyono, Sri Wulung yang akrab disapa Pak Jliteng mengatakan kedatangan Mensos bagi puluhan penderita gangguan jiwa penghuni padepokan bak mendapat guyuran semangat baru.
Pria yang dulunya pernah berprofesi sebagai pemain ludruk ini menuturkan,  yang masih menjadi ganjalan jika ia mendapati korban nafza atau penyandang psikotik yang meninggal dunia namun tidak memiliki data kependudukan yang jelas.
“Meski saya hanya seniman ludruk, saya tetap berupaya agar bisa memenuhi kebutuhan para korban nafza dan penyandang psikotik yang sedang saya tangani. Baik itu soal makan dan kebutuhan kesehatan. Tapi miris kalau melihat gelandangan, penyandang psikotik meninggal dunia. Mau dimakamkan dimana juga repot kalau tidak jelas identitas jelas,” ujarnya.
Ia pun bertutur soal tingkat kesembuhan penghuni padepokan dengan beragam latar belakang dan usia itu tergantung  pada derajat penyakit jiwa masing-masing. “Terapi yang saya berikan sebenarnya sederhana saja, olahraga, mengurusi kebutuhan pribadi seperti mandi, cuci pakaian dan sebagainya, serta istirahat cukup,” imbuhnya.
Namun, penyadaran bahwa mereka juga bagian dari makhluk sosial yang bermartabat dan layak sejajar dalam berintertaksi menurut Pak Jliteng, yang sejatinya menjadi titik awal terapi justru paling banyak memakan waktu. “Prosesnya cukup panjang dan butuh waktu yang relatif lama,” ujarnya.
Di saat kehadiran  Mensos,  mereka tengah duduk-duduk di latar berukuran kecil berlatar belakang nama padepokan. Mereka rata rata hanya diam. “Kepedulian seperti yang dilakukan Bu Mensos saat ini juga menjadi obat bagi kesembuhan mereka,” ujar Pak Jliteng yang mengaku sudah melakukan kegiatannya itu sejak puluhan tahun silam itu. [kar]

Tags: