Menyiapkan Generasi Emas

Oleh Totok Sujatmiko
Pengajar di SMK Negeri 2mBojonegoro

Yang namanya permasalahan tidak akan pernah lepas dari seluruh sektor yang ada di sebuah Negara, termasuk pada sektor pendidikan di Indonesia. Sampai saat ini masalah pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya teratasi. Tentu hal ini menjadi suatu hal yang teramat disayangkan karena kualitas pendidikan merupakan salah satu penentu dalam meningkatkan sumber daya manusia nasional Dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia tentu akan membuat perkembangan suatu Negara menjadi terhambat. Tanpa adanya kualitas sumber daya manusia yang mumpuni, sebanyak apapun kekayaan alam tidak akan bisa dimaksimalkan jika tidak ditangani orang-orang yang tepat.

Dunia pendidikan Indonesia masih terus berkembang, mencari bentuk paling sesuai dengan keadaan zaman. Perubahan kurikulum yang terjadi hingga puluhan kali sejak Indonesia merdeka, termaktub di dalamnya, perubahan-perubahan tujuan dari setiap racikan kurikulum. Berimbas juga pada sistem pembelajaran siswa. Di era globalisasi saat ini, sektor pendidikan dituntut untuk mampu berperan penting dalam mencerdaskan masyarakat dan bangsa, serta mendukung peningkatan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) berkualitas dan unggul.

Meski tidak terlalu bagus, setidaknya posisi tersebut naik satu peringkat dari tahun sebelumnya, 2020 yang ada di peringkat ke-55. Tapi Indonesia masih kalah unggul dan berada di posisi ke-4 jika dibandingkan dengan sesama negara yang berada di kawasan Asia Tenggara yakni Singapura di peringkat 21, Malaysia di peringkat 38, dan Thailand di peringkat 46. Namun masih lebih baik dibandingkan, dengan beberapa negara Asia Tenggara yang sistem dan kualitas pendidikannya yang masih berada di bawah Indonesia, seperti Filipina di peringkat 55, Vietnam di peringkat 66, dan Myanmar di peringkat 77.

Sebagian peserta didikkecil dipintarkan oleh sistem yang menghasilkan ilmu yang tidak membumi, cemerlang secara teori tetapi nihil penerapan di dunia nyata. Sebagian besar lain terus dibodohkan oleh sistem dan malah menjadi beban di usia produktifnya. Sudah sedemikian rumitnyakah permasalahan dunia pendidikan Indonesia saat ini, hingga tidak jelas ujung pangkal penyelesaiannya. Pendidikan telah sedemikian terseret arus kapitalisme, kehilangan arah dan menjadi alat ekonomi.

Undang-undang Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” (UU RI, No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 3).

Sekolah cenderung stagnan dari segala sisi, membosankan. Antara sekolah yang satu dengan yang lain tidak bisa dibandingkan secara obyektif, dan tidak ada jaminan seseorang yang melewati proses pendidikan di suatu lembaga mengalami peningkatan kualitas individu, sebagaimana adanya jaminan kualitas.

Perjalanan pendidikan secara nasional saat ini sering dihadapkan dengan banyak permasalahan, mulai dari angaran pendidikan, kurikulum, fasilitas, sarana dan prasarana, sumber daya tenaga pendidikan dan lain-lain.

Pembiayaan pendidikan
Alokasi anggaran pendidikan lebih spesifik dituangkan dalam Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( UU Sisdiknas), yaitu dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD. Untuk melaksanakan amanat Konstitusi dan UU Sisdiknas, sejak tahun 2009, pemerintah telah mengalokasikan 20 persen dari APBN untuk anggaran pendidikan. Alokasi tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan belanja publik untuk pendidikan terbesar di Asia.

Merujuk data Kementerian Keuangan, setiap tahunnya alokasi anggaran pendidikan di APBN selalu mengalami peningkatan. Bahkan, terbaru di APBN 2023, pemerintah mengelontorkan anggaran pendidikan sebesar Rp. 612,2 triliun, ini angka tertinggi sepanjang sejarah APBN di Indonesia. Tahun sebelumnya, APBN 2022, anggaran pendidikannya sebesar Rp. 574,9 triliun sedangkan di APBN 2021 sebesar Rp. 479,6 triliun.

Dukungan secara politik yang realisasikan melalui anggaran pendidikan merupakan satu keinginan pemerintah yang dapat diartikan untuk memajukan pendidikan di Indonesia, namun butuh proses dan pertimbangan-pertimbangan beserta kebijakan-kebijakan yang dapat mengakomodir, selain pendidikan dan kebutuhan negara di sektor-sektor lain.

Seperti kita ketahui, masalah pendidikan yang paling mendasar di Indonesia sebenarnya adalah masalah biaya pendidikan yang tinggi atau mahal. Meskipun pemerintah telah menyiapkan program biaya pendidikan gratis, masih ada bagian atau kebutuhan-kebutuhan yang harus berbayar. Selain itu, program pendidikan gratis tidak merata di pelosok wilayah NKRI.

Kurangnya motivasi dan minat belajar.
Rendahnya tingkat literasi di Indonesia, salah satunya disebabkan oleh penggunaan teknologi yang kurang bijaksana. Masyarakat Indonesia lebih memilih untuk mendengarkan musik, bermain game, atau berselancar di sosial media ketimbang membaca. Data Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2016, menyebut bahwa tingkat literasi membaca masyarakat Indonesia ada di peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei UNESCO. Hanya 0.001 persen atau 1 dari 1.000 orang di Indonesia yang gemar membaca. (https://www.gatra.com/news-560126)

Permasalahan pendidikan di Indonesia juga terletak pada rendahnya kualitas pendidikan. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya motivasi dan minat peserta didik untuk belajar, dimana belajar bukanlah kewajiban atau kesadaran diri yang merupakan bentuk kewajiban terhadap diri sendiri. Belajar merupakan kewajiban setiap individu sebagai bekal hidup dan masa depan. Sayangnya, menuntut ilmu sebagai kewajiban, kini beralih pada mengejar pangkat, gengsi dan gelar, disinilah rendahnya kualitas pendidikan di mulai.

Sekolah sebagai institusi pendidikan seharusnya memiliki kemampuan untuk melihat kemana arah perkembangan zaman. karena peserta didiknya bukanlah pemilik pada era ini namun akan berkarya pada masa 10 sampai 20 tahun kedepan. Disitulah peranan sekolah menyiapkan agar anak dapat bersaing pada masanya.

Oleh karena itu sangat disarankan sekolah mengikuti perkembangan zaman dan teknologi yang yang pada dasarnya sudah menggeser seluruh sendi kehidupan terutama pendidikan pada era globalisasi ini. Salah satunya dengan meledaknya penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran tatap muka.

Sedangkan terkait persoalan rendahnya prestasi siswa, solusinya dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, bukan dengan meningkatkan jam belajar yang berlebihan, karena setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda dan sudah banyak dipenuhi pembelajaran diluar sekolah. Harus juga membangun ekosistem sekolah yang nyaman.

Membangun sekolah sebagai Ekosistem Pendidikan
Sekolah dapat dikatakan sebagai sebuah ekosistem pendidikan. Hal ini karena di sekolah terdapat sebuah bentuk interaksi antara faktor biotik (unsur yang hidup) dan abiotik (unsur yang tidak hidup).

Faktor ini meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan unsur hidup seperti manusia. Contohnya adalah siswa, kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, pengawas, orang tua dan masyarakat di sekitar sekolah. Faktor-faktor Abiotik ini meliputi segala sesuatu yang non hidup seperti faktor keuangan, sarana dan prasarana dan lainnya. Kedua unsur ini saling berinteraksi satu sama lain sehingga akan menciptakan hubungan yang selaras dan harmonis.

Keberhasilan sebuah proses pembelajaran sangat bergantung pada acara pandang sekolah pada dirinya dalam membangun dan merangsang kreativitas ekosistemnya untuk menunjang keberhasilan tujuan pendidikan yang ingin dicapai sebagaimana yang telah tertuang dalam visi dan misi sekolah tersebut.

Dalam ekosistem sekolah faktor-faktor biotik ini akan saling mempengaruhi dan membutuhkan keterlibatan aktif satu sama lainnya. Ibarat siklus dalam rantai makanan, ia akan saling mempengaruhi dan membutuhkan satu sama lainnya sehingga terciptalah keselarasan dan keharmonisan yang diharapkan

Pada era milenial ini sekolah tidak lagi dapat menggunakan cara-cara lama yang termasuk ketinggalan zaman. Terlebih ketika dua tahun belakangan ini seluruh dunia dipaksa memasuki masa disrupsi yang yang sangat cepat dan rasanya tidak memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk menyiapkan diri.

Institusi yang paling berdampak adalah sekolah. Karena tidak banyak lembaga pendidikan yang membekali diri dengan pengembangan teknologi, sehingga mayoritas mengalami kesulitan untuk melakukan pembelajaran dengan model yang baru. Tentu saja hal yang sama tidak boleh terulang lagi ketika akan memasuki tahun pembelajaran baru.

Hal ini sejalan dengan tujuan Kurikulum Merdeka yang lebih menitikberatkan pada fokus serta kemampuan dasar setiap anak yang perlu dikembangkan agar ia siap menghadapi tantangan masa depan. Kendati demikian bukan berarti kemudian tuntutan kurikulum menjadi diabaikan. Namun perlu penyesuaian di berbagai aspek pembelajaran.

Salah satu cara agar sekolah dapat menjadi suatu ekosistem pendidikan yang merdeka maka harus memiliki kemauan untuk bergerak serta berubah mengikuti perkembangan zaman. Tidak lagi kaku mengikuti peraturan namun juga tidak melanggarnya. Ekosistem pendidikan yang dikembangkan haruslah tetap terpusat pada anak namun bergerak pada koridor yang telah ditentukan oleh pemangku kebijakan. Oleh karena itu, guru beserta pendamping sekolah tidak boleh lalai untuk melihat gejala yang perlu ditangani sedini mungkin ketika proses pembelajaran itu berlangsung. Menjadikan sekolah sebagai suatu ekosistem pendidikan berarti menempatkan suatu institusi pendidikan menjadi garda terdepan untuk membangun pengetahuan, keterampilan, serta karakter peserta didiknya. Hal ini merupakan suatu tantangan tersendiri terutama bagi institusi yang konservatif.

Berpusat Pada Pengembangan Kemampuan Siswa

Sekalipun terdapat kurikulum yang menjadi salah satu patokan standar sekolah untuk mengembangkan kemampuan siswa, namun tetap saja institusi pendidikan tersebut harus memperhatikan bakat dan minat peserta didiknya terlebih dahulu. Sehingga dapat dikembangkan untuk mencapai tujuan kurikulum, bukan sebaliknya.

Ditambah lagi dengan adanya Kurikulum Merdeka yang lebih memberikan ruang bagi sekolah untuk mengembangkan semua sumber daya yang dimiliki untuk mendukung perkembangan siswa. Dengan kebebasan ini, seharusnya institusi pendidikan lebih fleksibel dalam pemanfaatan semua yang dibutuhkannya.

Oleh karena itu dalam kurun waktu tertentu sebaiknya sekolah memetakan kemampuan siswa agar dapat menggunakan informasi tersebut dalam pengembangan kurikulumnya. Institusi pendidikan dapat bekerjasama dengan lembaga terkait yang lebih memahami hal tersebut

Melibatkan Orang Tua
Jika selama ini orang tua tidak dilibatkan secara aktif dalam pembuatan kebijakan, maka sekarang saat untuk meminta mereka juga terlibat dalam pengembangan ekosistem pendidikan tersebut. Salah satu sumber daya yang dapat dimanfaatkan sekolah agar lebih berkembang adalah orang tua.

Dari mereka, sekolah dapat memperoleh pengalaman serta manfaat lain yang dapat digunakan untuk mengembangkan kualitas pembelajaran. Bahkan bisa jadi sekolah mengadakan program guru tamu di mana para orang tua berperan sebagai pendidik agar lebih mengenal siswanya.

Melalui orang tua pun, sekolah akan mendapatkan informasi yang sungguh berharga tentang para siswanya. Sebab tak jarang sekali peserta didik menunjukkan sikap yang berbeda antara ketika di rumah dan di sekolah. Tentu saja hal ini dapat dikolaborasikan dengan apa yang telah diketahui oleh para guru.

Terlebih lagi banyaknya orang tua yang mungkin saja memiliki profesi yang bersentuhan dengan teknologi atau dengan pengetahuan masa depan. Oleh karenanya, akan sangat baik jika sekolah membuka ruang diskusi sebesarnya. Karena dari proses itulah sekolah akan memahami perkembangan di masa depan.

Melibatkan Pemangku Kebijakan
Libatkan pula pemangku kebijakan yang mengetahui dengan jelas koridor mana yang dapat membantu sekolah untuk mengembangkan seluruh sumber daya alamnya. Antara lain pengawas, MGMP, MKKS, serta dinas pendidikan terkait. Pasalnya untuk menjadikan institusi tersebut suatu ekosistem pendidikan yang baik maka perlu adanya peraturan jelas yang dapat digunakan untuk mendukung hal tersebut. Sebab jangan sampai sekolah pun bergerak tanpa panduan yang tepat.

Dengan terlibatnya pemangku kebijakan serta orang tua maka sekolah akan lebih mempunyai informasi yang tepat dan dapat dielaborasi untuk mencapai tujuan terbentuknya ekosistem pendidikan yang profesional dan mendahulukan kepentingan peserta didik.

Menyadari Perkembangan dan Tuntutan Zaman

Tuntutan zaman dimana peserta didik bertumbuh tentu saja berbeda dengan zaman dimana para guru berkembang. Oleh karenanya jika saja para pendidik mengetahui betapa besarnya beban yang akan dihadapi oleh para siswa, mereka tentu akan meningkatkan kemampuan yang tidak akan lekang oleh waktu. Antara lain kemampuan berkomunikasi, terutama dengan yang berbeda latar belakang dan beradaptasi dengan lingkungan baru.

Sebab nantinya, tantangan yang akan dihadapi oleh peserta didik bukan saja berhadapan dengan bangsanya sendiri tetapi juga melibatkan warga dunia secara global yang tentu saja memiliki kemampuan yang beragam. Bahkan mungkin melebihi dari kapasitasnya sendiri.

Sekolah yang tidak mampu beradaptasi untuk membangun ekosistem pendidikan milenial akan tertinggal, dan pada akhirnya tentu saja tidak akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap anak didiknya. Padahal disitulah fungsi sesungguhnya sekolah, yaitu mengembangkan siswa yang menjadi pondasi bagi masa depan negara ini. Oleh karena itu, mau tidak mau, siap tidak siap, pemimpin harus bergerak dan mendorong setiap mereka yang terlibat untuk memaksakan diri berkembang mengikuti zaman.

———– *** ———–

Rate this article!
Menyiapkan Generasi Emas,5 / 5 ( 1votes )
Tags: