Menyiapkan “Senjata” Menghadapi MEA

Gigih MardanaOleh :
Gigih Mardana
Penulis adalah Pelayan Masyarakat di Bagian Humas dan Protokol Setda Kota Blitar

Selepas euforia malam pergantian tahun, masyarakat sudah dihadapkan pada tantangan baru. Awal tahun baru 2016 ini adalah hari-hari perdana berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Masyarakat Indonesia, termasuk kita warga Jawa Timur, akan melihat ASEAN yang semakin tanpa batas (borderless). Alih-alih mempersiapkan diri, sampai saat ini masih banyak masyarakat yang belum paham terhadap konsekuensi berlakunya MEA.
Padahal jika tidak siap menghadapi MEA, bukan tidak mungkin kita hanya akan menjadi penonton. Meminjam terminologi Bung Karno, kita akan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa. Realisasi MEA adalah hilangnya batas-batas dalam kerjasama di negara-negara ASEAN yang mencaukup sumber daya manusia, barang, dan jasa. Secara implisit, dalam format kerjasama MEA ini terkandung makna kompetisi. Persaingan perebutan konsumen tidak hanya antar daerah dan wilayah dalam satu negara. Kompetisi itu sudah dijalankan antar negara.
MEA memiliki tujuan strategis dalam meningkatkan daya saing ASEAN terhadap investasi. Para Pemimpin ASEAN telah sepakat untuk mewujudkan MEA dengan empat pilar yaitu : Pasar tunggal dan basis produksi, Kawasan ekonomi berdaya saing tinggi, Kawasan dengan pembangunan ekonomi yang setara, dan Kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global. Ke depan terbuka kemungkinan ASEAN akan berkembang seperti Uni Eropa.
Di satu sisi, pemberlakuan MEA adalah tantangan. Mengingat akan semakin banyak barang dan yang masuk membanjiri negeri kita. Akan tetapi, di sisi lain sebenarnya juga ada peluang untuk lebih banyak mengirim barang, jasa, dan sumber daya manusia Indonesia ke negara-negara di wilayah ASEAN.
Serbuan tenaga asing juga sangat terbuka kemungkinannya. Terutama pada tenaga di sektor jasa seperti dokter, perawat, arsitek, engineering, akuntan, tenaga survei, dan jasa pariwisata. Pada sektor-sektor ini, dan juga memungkinkan akan diperluas, tenaga kerja Indonesia harus berkompetisi dengan tenaga kerja asing.
Pemenang kompetisi tentu adalah mereka yang lebih baik dibandingkan kompetitornya. Pengguna akan penyedia barang, jasa, dan tenaga kerja yang lebih berkualitas, lebih murah, lebih cepat, dan memiliki keunggulan. Siap atau tidak siap, MEA telah mulai dilaksanakan. MEA bukan galaksi simulakra yang seolah menjadi ketakutan tanpa alasan. MEA bukan hunian semu, tetapi memang relasi internasional yang secara nyata harus kita hadapi. Tidak hanya di ibu kota dan kota-kota besar, pengaruh MEA juga akan terasa sampai di daerah.
Lalu sebenarnya apa yang perlu kita lakukan?. Banyak yang berharap negara hadir dalam menjawab tantangan pemberlakuan MEA melalui kebijakannya. Misalnya dengan memberlakukan kebijakan posisi-jabatan tertentu tidak boleh ditempati tenaga kerja asing. Pemerintah diharapkan juga menciptakan regulasi yang berpihak pada kepentingan dalam negeri. Perlu disadari, negara hanya menjadi salah satu pemangku kepentingan untuk menghadapi ketatnya persaingan dengan negara lain. Dibutuhkan sinergitas triple helick yakni pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat termasuk akademisi agar bangsa ini memiliki daya saing yang tinggi.
Keunggulan kompetitif
Dalam beberapa forum diskusi, ada pertanyaan apa yang secara konkrit bisa dilakukan untuk menghadapi MEA. Bukan dalam konsep makro strategis, tetapi pada langkah nyata yang membumi dapat kita lakukan. Ada beberapa “senjata” yang perlu disiapkan agar kita menjadi pemain utama dan bukan sekadar penonton. Pertama, sertifikasi produk. Dibukanya kran perdangan membawa konsekuensi membanjirnya produk dari berbagai negara ASEAN. Dengan cara ini produk dalam negeri setidaknya bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Dengan harga yang akan sangat bersaing, tentu konsumen akan memilih barang bagus yang harganya murah. Pembanding sebuah produk tentu akan semakin banyak. Sertifikasi produk akan meningkatkan daya tawar produk kita sehingga bisa menjadi pilihan masyarakat dalam negeri bahkan dapat diekspor ke manca negara.
Kedua, peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Tidak bisa ditunda lagi, masyarakat utamanya yang berada di usia produktif harus meningkatkan kompetensi, profesionalitas, pengetahuan, dan ketrampilan di dalam setiap profesi termasuk wirausahawan. Mereka yang akan menciptakan lapangan pekerjaan atau mencari pekerjaan juga harus terus meningkatkan kapasitas diri. Sertifikasi profesi menjadi sebuah keniscayaan dalam menghadapi serbuan tenaga kerja asing.
Ketiga etos kerja yang handal. Bukan hanya soal hard skill yang perlu ditingkatkan, yang tidak kalah penting aspek soft skill juga perlu menjadi perhatian. Beberapa referensi menyebut, soal kecerdasan intelektual bangsa kita bisa bersaing di kancah internasional. Beberapa hasil olimpiade sains menunjukkan kapasitas intelektual sumber daya manusia Indonesia. Masalahnya, aspek soft skill-nya yang perlu banyak ditingkatkan. Yakni aspek kejujuran, integritas, kerja keras, disiplin, respek, dan budaya kerja menjadi harga mati yang mutlak kita perlukan di era MEA.
Keempat, penguasaan bahasa. Komunikasi lintas negara akan mensyaratkan adanya pemahaman pesan. Bahasa akan menjadi senjata ampuh untuk melakukan negosiasi bisnis dan membangun relasi komunikasi efektif dengan pelaku usaha asing. Kalaupun tidak sampai penguasaan bahasa yang muluk-muluk dan lengkap, pemahaman praktis Bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin akan menuntun pelaku usaha ke dalam kesuksesan dalam persaingan.
Kelima, melek HaKI. Ide kreatif, kekayaan budaya, dan seluruh produk intelektual warga bangsa harus terlindungi Hak atas Kekayaan Intelektualnya. MEA akan menjadikan turn over sebuah barang dan jasa akan semakin tinggi. Belum tuntas sebuah ide, produk, atau jasa digunakan masyarakat, akan segera ada ide dan produk baru. Begitulah seterusnya. Beberapa kasus diakuinya ide warga Indonesia menjadi hak milik asing harus membuka mata kita bahwa HaKI itu tidak sekadar menjadi kewajiban tetapi sudah menjadi kebutuhan.
Meminjam istilah Mc. Luhan, MEA akan mengantarkan ASEAN seperti sebuah desa global (global village). Masyarakat ASEAN akan berada layaknya di dalam satu komunitas desa saja. Ketika ini terjadi, persaingan dan persahabatan akan menjadi inheren. Persaingan ketat MEA itu telah dimulai. Semoga sejarah akan mencatat republik ini akan menjadi pemenang, bukan sebagai pecundang.

                                                                                                       —————— *** —————–

Tags: