Mewujudkan Tekad Kemandirian Pangan

Gumoyo Mumpuni NingsihOleh :
Gumoyo Mumpuni Ningsih
Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menunjukkan komitmen yang kuat untuk mewujudkan tekad kemandirian pangan. Dengan berusaha untuk menghentikan impor beras, kecuali kelak, dalam keadaan keperluan yang sangat mendesak, maka kemungkinan barulah keran impor beras dibuka secara sangat hati-hati dan seselektif mungkin.
Jargon kedaulatan pangan telah membangkitkan semangat baru, tetapi operasionalnya belum sampai kepada: apa dan bagaimana kedaulatan pangan yang sebenarnya.
Di permukaan, itu dimaknai dengan stop impor pangan. Pada tahap implementasi, masih seperti “menempel ban bocor”. Per defenisi dan implikasi, kedaulatan pangan memerlukan kebulatan sistem. Jadilah realitas peningkatan produksi dijamin sejumlah besar pejabat malah berimplikasi kepada kenaikan harga sehingga kebanyakan orang jungkir balik untuk dapatkan pangan sesuai standar gizi dan kalori.
Beras: Berdaulatkah ?
Aspek pangan yang dijargonkan masih sebatas padi/beras. Teknologi peningkatan produksi yang paling populer saat System of Rice Intensification (SRI). Teknologi ini mampu meningkatkan produksi hingga 50 persen. Teknologi ini sudah diterapkan pada sejumlah besar negara sedang berkembang sebagai teknologi yang menyelamatkan kebutuhan pangan. Berlawanan dengan teknologi budidaya konservatif yang memerlukan pengairan, teknologi ini menggunakan metode basah dan kering yang tepat untuk menata kondisi tanah aerobik dan anaerobik. Konservasi air baik, dan tingkat keuntungan petanipun menaik. Lebih jauh lagi, aspek agronomi dan ekonomi meningkat melalui efisiensi waktu kematangan bulir padi. Efisiensi kebutuhan benih tercapai, karena satu lubang tanam hanya membutuhkan satu tanaman. Penggunaan pupuk organik sangat dianjurkan sebagai basis berproduksi dengan pendekatan ekologi.
Realitasnya, teknologi ini belumlah berdaulat. Kebutuhan benih, mikrobia pengurai hara, sampai kepada ketersediaan bibit ikan atau hortikultura untuk diversifikasi usaha tani masih terkendala. Di kita, pemerintah belum memberikan “ruang” yang berarti menumbuhkan industri benih, apalagi lokal sifatnya, sebagaimana yang disyaratkan konsep kedaulatan pangan. Kata lainnya, teknologi budidaya padi kitapun belum berdaulat karena belum terlibatnya komunitas lokal dalam seluruh sistem pangan tersebut.
Kaprah yang Benar
World Food Summit oleh FAO (1996) mendefenisikan keamanan pangan sebagai ketika seluruh orang, sepanjang waktu, memiliki akses fisik dan harga pangan untuk mendukung aktivitas dan kesehatannya. Defenisi yang diajukan oleh Commintte on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) ini meliputi  hak kecukupan pangan yang direalisasikan per pribadi maupun  dalam suatu komunitas, sebagaimana dinyatakan Sophia Murphy pada diskusi Institute for Climate, Environment and Energy tahun 2006.
Hak mendapatkan pangan dapat terjangkau secara ekonomi berdasarkan kemampuan ekonomi komunitas lokal adalah unsur utama. Dalam konteks inilah, penataan sistem penyediaan pangan secara keseluruhan menjadi kewajiban penyelenggara negara. Dalam konteks ini pula, para ahli agronomi mengintroduksikan sistem budidaya pangan alternatif yang lokalistik sifatnya. Dalam konteks inipun, penyelenggara negara wajib melindungi kesinambungan sistem penyediaan pangan melalui penangkar benih lokal, penyedia sarana dan prasarana produksi berbasis lokal, bahkan hingga kepada penataan harga dan distribusi pangan yang pantas dan logis menurut satuan ekonomi lokal. Jelas, LSM memiliki peran yang besar untuk menginisiasi dan menjalankan konsep-konsep pangan lokal, termasuk seleksi benih yang layak secara spesifik lokasi.
Kedaulatan pangan dalam konteks yang lebih luas lagi dapat didefenisikan sebagai “hak bagi setiap orang secara fisik dan budaya menghasilkan pangan melalui aspek ekologi dan metoda yang berkelanjutan dalam skala lokal, dan mendefenisikan pangan mereka sendiri serta sistem pertaniannya. Itulah defenisi kedaulatan pangan sebagaimana Summit Food yang diselenggarakan  La Via Campesina tahun 1996 (note: penggagas utamanya malah dari Sumut, Henry Saragih). Kedaulatan pangan menempatkan siapa yang memproduksi, mendistribusikan dan mengkonsumsikan pangan dalam sistem pangan dan kebijakannya, bahkan pada tingkat lokal sekalipun. Persoalannya – dengan demikian – tidak saja pada penampakan angka produksi padi yang dengan mudah kemudian disimpulkan sebagai swasembada pangan dan sudah berdaulat atas pangan.
Kaprahnya adalah sejauh mana institusi dan komunitas lokal mampu memproduksi dan memilih pangan apa yang hendak diproduksi sesuai potensi sosioagroekologi dan ekonomi, memperoleh sarana produksi lokal, menggunakan prasarana lokal, memutuskan harga jual hingga mendistribusikannya pada tingkat lokal secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Dengan itulah, ketahanan pangan berwujud kepada kedaulatan, bukan dengan mengangkat rangkaian padi pada panen raya, tetapi kemudian peningkatan harga panganpun melonjak.
Agenda Prioritas
Sejumlah negara wilayah tertentu sudah menyusun kesepakatan untuk kesinambungan pangan mereka. Pangan yang berdaulat adalah pangan yang seluruh sistemnya harus didukung secara bulat untuk menghindari rentanitas produktivitas dan harga serta ketergantungan terhadap “luar” kawasan. African Ecological Organic Initiative, yang mengajukan rencana aksi dengan tujuan utama memasukkan unsur organik ke dalam sistem produksi pertanian pangan nasional hingga hingga tahun 2020 adalah salah satu contohnya. Bagaiman dengan kita di Asean ?.
Persoalan pangan nampaknya masih disembunyikan, bahkan sebagai komoditas dipersaingkan. Asean tidak memiliki jargon kedaulatan pangan sebagai keputusan bersama di kawasan yang dapat diimplementasikan. Tetapi, antar propinsi di Indonesia sendiri masih belum memiliki kesepakatan-kesepakatan bersama untuk mendukung kedaulatan pangan yang bulat. Melihat realitas yang demikian, maka sudah saatnya pemerintah menyiapkan agenda prioritas untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
Pertama, pemerintah daerah mulai menyusun strategi baik antar propinsi maupun antar kabupaten. Potensi sosioagroekologi dan ekonomi spesifik lokasi harus dihidupkan. Varietas lokal sangat pantas untuk diimplementasikan menjadi “kekuatan” pangan lokal.
Kedua, pola tanam tanaman perkebunan – tanaman pangan patut menjadi unsur kedaulatan pangan kita dalam skala lokal. Teknologinya sudah tersedia, seharusnya sudah pada tingkat implementasi yang konsisten.
Ketiga, produksi dan industri pengolahan pangan lokal maupun regional harus memandang pangan impor sebagai tantangan terbesar, sehingga inisiasi untuk menumbuhkan produk komersial pangan lokal harus pula kompetitif.
Jadi dalam konteks inilah, regulator pertanian lokal tidak lagi “duduk manis” di kantor, tetapi wajib “turun” ke lapangan, bersinergi dengan LSM dan petani mengembangkan potensi lokal spesifik kepanganan yang berdaulat. Sekali lagi, jargon kedaulatan pangan sudah berlalu, saatnya pada tahap implikatif. Semakin mengecewakan, bila dinas pertanian di banyak daerah (propinsi dan kabupaten) malah tidak memiliki konsep apapun.

                                                                                         ——————- *** ——————–

Rate this article!
Tags: