Momentum Menata Ulang Pendidikan Nasional

Wahyu Kuncoro SN(Polemik Penarikan Kewenangan Pendidikan)
Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Anggota Dewan Pendidikan Kota Surabaya

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah akan berlaku secara penuh per 1 Januari 2017. Pemberlakuan Undang Undang ini membawa implikasi terjadinya pergeseran dan pendelegasian wewenang baik di pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten/ kota. Perubahan kewenangan ini terjadi di berbagai bidang pemerintahan, di antaranya pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, pemberdayaan perempuan dan lain sebagainya.
Di bidang pendidikan terjadi penarikan kewenangan pendidikan  ke pusat. Akibatnya, urusan pendidikan yang menyangkut  manajemen pendidikan, akreditasi sekolah, tenaga  pendidik dan kependidikan tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah daerah kabupaten/kota. Pendidikan menengah (SMA/SMK) yang dulunya menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota kini dialihkan ke pemerintah provinsi.
Sementara pendidikan dasar (SD) dan pendidikan anak usia dini  (PAUD) tetap dipercayakan kepada pemerintah daerah. Untuk kewenangan mutasi atau kepindahan yang bukan atas usulan sendiri, maka  pemerintah kabupaten/ kota hanya berhak memindahtugaskan pegawai negeri sipil dalam satu wilayah kabupaten/kota saja. Sedangkan Pemerintah Provinsi diberikan wewenang untuk memindahtugaskan pegawai negeri sipil dalam satu wilayah provinsi dan sebagainya.
Menyikapi perubahan kewenangan pengelolaan SMA/SMK tersebut, sekarang ini sedang berlangsung upaya-upaya seperti pemindahan urusan pendidikan menengah kini sudah mulai dilakukan pemindahan baik aset yang dimiliki oleh sekolah-sekolah menengah maupun tenaga pendidik dan tenaga kependidikannya. Namun demikian, ternyata tidak semua daerah nyaman dengan penarikan kewenangan tersebut, setidaknya tercatat dua daerah yakni Kota Surabaya dan Kota Blitar yang secara terbuka menolak ketentuan baru tersebut dan kemudian mengajukan Jucial Review atas UU 23/2014 dengan harapan bisa tetap mengelola SMK/SMA. Bahkan di Surabaya, ada gerakan menulis surat dari siswa yang meminta Presiden untuk tetap membolehkan Surabaya tetap mengelola pendidikan SMK/SMA. Dalihnya, perubahan kewenangan tersebut akan membuat program pendidikan seperti sekolah gratis akan dihapuskan.
Pelibatan siswa sekolah untuk mendesakkan kepentingan pemerintah daerah setempat tentu sangat memprihatinkan dan sungguh tidak elegan. Sepatutnya pemerintah kota memberikan kenyamanan dan ketenangan bagi masyarakatnya bahwa akan tetap berjuang melakukan yang terbaik untuk menyelenggarakan layanan pendidikan terbaik. Sayangnya, pemerintah kota justru menciptakan halusinasi kengerian –seperti sekolah gratis akan dihapus, sekolah semakin mahal dan seterusnya– yang bisa jadi memprovokasi siswa. Padahal bisa jadi pengambialihan tersebut akan membuat manajemen pengelolaan pendidikan di daerah akan lebih baik lagi, kenapa tidak?
Momentum Menata Ulang
Idealnya otonomi daerah merupakan ajang kreativitas daerah  karena daerah diberi keleluasaan  dan kewenangan untuk melaksanakan sistem pendidikan di daerah. Apakah itu memetakaan standar pendidikan daerah, pembiayaan, manajemen pendidikan  daerah termasuk manajemen  tenaga pendidik dan kependidikan, dll. Sayangnya, yang terjadi kemudian adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah ternyata banyak yang  tidak sesuai dengan regulasi yang dikeluarkan pemerintah pusat. Hal ini terlihat pada sistem rekrutmen kepala sekolah maupun rekrutmen pengawas sekolah yang tidak sesuai dengan pedoman/panduan yang diberikan.
Bahwa terlepas masih ada tarik menarik khususnya dalam hal pengelolaan pendidikan SMK/SMA hadirnya UU 23/2014 telah menyemaikan harapan akan hadirnya perubahan dalam layanan dan kualitas penyelenggaraan pendidikan di tanah air. Penarikan pengelolaan pendidikan ke pusat, membawa makna bahwa pendidikan akan kembali menjadi media pemersatu bangsa bukan justru menjadi pintu munculkan egosentris masing-masing daerah. Kekhawatiran pendidikan akan membangun sekat-sekat baru antar daerah misalnya terlihat dari kebijakan pendidikan antar daerah yang membatasi akses siswa dari  daerah yang berbeda. Misalnya yang terjadi di Surabaya, dalam setiap momentum penerimaan siswa baru selalu diramaikan dengan perdebatan soal kuota siswa luar daerah untuk sekolah ke Surabaya yang dibatasi hanya 2 persen. Asumsinya, sederhana APBD Surabaya hanya untuk warga Surabaya. Logika ini kalau kemudian dibiarkan bisa jadi fasilitas jalan di Surabaya hanya untuk warga Surabaya dan seterusnya. Artinya, penarikan kewenangan ini diharapkan mengembalikan pendidikan sebagai perekat  nasional. Maknanya, pendidikan ini merupakan ajang menyatukan Indonesia yang sangat beragam.
Bahwa penarikan pendidikan dasar dan menengah yang meliputi urusan pendidikan, manajemen pendidikan, akreditasi sekolah, tenaga  pendidik dan kependidikan ke pusat diharapkan akan menipiskan kesenjangan pendidikan antar daerah. Selama ini disparitas penyelenggaraan pendidikan antar daerah sungguh terjadi. Ada daerah yang relatif maju dan modern dalam penyelenggaraan pendidikannya karena didukung oleh sarana dan prasaranan yang memadai, sementara di daerah lain kondisi infrastruktur berikut sistem dan SDMnya tidak memadai bahkan mayoritas banyak fasilitas sekolah yang rusak.
Kondisi ini tentu kalau dibiarkan akan semakin membuat kesenjangan sosial terus melebar. Merujuk pada sinyalemen Randall Collin melalui bukunya The Credential Society : An Historical Sociology of Education Stratification (1979), memberi peringatan  bahwa pendidikan (formal) ternyata merupakan awal terjadinya proses stratifikasi (kesenjangan) sosial. Pendidikan menurut Collin hanya menjadi komoditas yang bernilai tinggi sebagai alat menuju kesuksesan ekonomi dan meningkatkan stratifikasi sosial individu. Dengan demikian, tidak perlu terlalu heran kalau sampai hari ini kesenjangan sosial masih terus terjadi, bisa jadi karena penyelenggaraan pendidikan formal secara terus menerus telah menyemaikan benih-benih kesenjangan sosial. Maka kalau kemudian ingin memangkas kesenjangan sosial, pintu masuk utamanya adalah memangkas kesenjangan dalam menikmati layanan pendidikan. Selama ini upaya pemerintah pusat untuk menata pendidikan di daerah sering terhalang ketentuan Undang Undang yang memberikan kewenangan pada daerah.
Pada wilayah lain, penarikan kembali kewenangan pengelolaan pendidikan SMK/SMA ke pusat melalui provinsi juga diharapkan akan memangkas kepentingan politik dan kepentingan sesaat para kepala daerah. Dengan kembalinya pendidikan menjadi kewenangan pemerintah pusat maka pendidikan tidak lagi menjadi ajang eksploitasi para politisi lokal. Sebagai imbas dari pendidikan hanya sebagai alat politik, maka akan dengan mudah kita temukan daerah yang benar-benar fokus dengan pendidikan sehingga memberi perhatian yang sangat serius.  Ada juga daerah yang menjadikan pendidikan sebagai alat politik di tingkat lokal untuk mencapai tujuan-tujuan politik lokal. Realitas ini mengindikasikan otonomi pendidikan yang berlangsung selama ini menunjukkan terjadinya  keberagaman pelayanan pendidikan di tiap daerah.
Akhirnya, UU 23/2014 mengembalikan kekuasaan pendidikan dasar dan menengah dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Hal ini sesungguhnya dalam perspektif tata hukum negara merupakan hal biasa terjadi karena otonomi di Indonesia berbeda dengan otonomi di negara serikat atau serikat negara. Pada otonomi Indonesia, kewenangan  kekuasaan berasal dari pemerintah pusat yang diberikan ke pemerintah daerah, bukan berasal dari pemerintah daerah. Oleh karena itu penarikan kewenangan pendidikan ke pusat sejatinya hal yang biasa saja dan tidak perlu terlalu dicemaskan apalagi dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

                                                                                                                  ——— *** ———

Tags: