Narasi Pidato Terakhir Bung Karno

revolusi belum selesaiResensi buku :
Judul Buku   : Revolusi Belum Selesai
Penyunting  : Budi Setiyono dan Bonnie Triyana
Penerbit  : Serambi Ilmu Semesta, Jakarta
Tahun  : Januari 2014
Tebal    : 807 halaman
ISBN    : 978-979-024-420-7  
Peresensi  : Muhammad Bagus Irawan
Pustakawan IAIN Walisongo Semarang
Fakta sejarah menyebutkan, bahwa salah satu daya tarik sekaligus kekuatan Presiden Soekarno terletak pada kemampuannya berpidato. Pada zamannya, orang rela berdesakan demi mendengarkan pidato sang Pemimpin Besar yang disiarkan radio. Ribuan rakyat selalu antusias menghadiri rapat raksasa yang menampilkan orasi Bung Karno. Ketika komunikasi lisan lebih populer, pidato Bapak Proklamator itu mendapat tempat untuk didengarkan, juga dipatuhi. Namun bagaimana bila suara kencang Bung Karno mulai tak didengar?
Tentunya kita masih ingat dengan ungkapan sohor ‘Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!’ yang disingkat Jasmerah merupakan pidato penuh gempita yang disampaikan pada 17 Agustus 1966. Yakni petikan yang mengajak rakyat kembali menekuri sejarah sebagai bekal perjuangan masa depan. “Itulah intisari ari peringatanku tadi, Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, never leave history! Jangan sekali-kali meninggalkan sejarahmu sendiri-never, never leave your own history” lantang Bung Karno (hlm. 602).  Dalam pidato itu Soekarno berusaha memertahankan sisa pengaruh politiknya, bahkan ia menyebut kondisi bangsa-negara, kala itu, sedang menghadapi tahun yang gawat, perang saudara, dan seterusnya Orasi penuh harapan legitimasi itu menjadi bukti kekuatannya mulai memudar.
Buku bertajuk “Revolusi Belum Selesai” ini sejatinya berisi 64 pidato yang disunting dari jumlah keseluruhan 103 pidato, dalam kurun waktu 1965-1967. Pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya itu Soekarno menjadi sosok yang kesepian. Suaranya tak lagi didengar. Perintahnya tak lagi dipatuhi. Arus balik itu bergulir sejak meletusnya Gerakan 30 September (G-30-S) 1965. Satu per satu pendukungnya ditangkap dan dipenjara atas tuduhan terlibat gerakan revolusi komunis tersebut.
Nahasnya, sisa-sisa koran yang masih diizinkan terbit waktu itu lebih sering memelintir pernyataannya atau membiarkan suaranya hilang bersama angin lalu. Tak ayal dalam pidato-pidatonya, Soekarno mengultimatum wartawan agar mengecek kebenaran, bukan menyebar fitnah, karena fitnah lebih kejam dari pembunuhan (hlm. 161-162). Penulisan sejarah nasional pun kemudian melupakan pidato Bung Karno sebagai salah satu sumber penting. Dan, pidato-pidato yang terkumpul dalam buku ini menarasikan banyak hal tentang pribadi Soekarno, sikap, keyakinan, pemikiran, sebelum ia terjungkal dari panggung kekuasaan, dan dijauhkan dari massa-rakyatnya (hlm. 15). Isi pidato sepanjang 1965-1967 itu, dalam amatan Asvi, tidak hanya menggambarkan sengitnya peralihan kekuasaan, melainkan juga kegetiran presiden yang ucapannya tidak didengar lagi oleh para jenderal yang dulu sangat patuh. Soekarno marah-marah. Karena begitu sering marah, banyak yang menilai Bung Karno kehilangan wibawanya (hlm. 21).
Kemarahan Bung Karno, misalnya, tampak dalam pidato di depan empat panglima angkatan di Istana Bogor, pada 20 November 1965. Ia menyatakan ada perwira yang mbregudul alias kepala batu. Perwira yang dimaksud sepertinya Soeharto. Paling tidak, hal itu tergambar pada bagian lain pidatonya yang menyatakan, “Sayalah yang ditunjuk MPRS menjadi Pemimpin Besar Revolusi. Terus terang bukan Subandrio, bukan Nasution… bukan engkau Roeslan Abdulgani, bukan engkau Soeharto, bukan engkau Soeharto….” Hanya nama Soeharto yang disebut sampai dua kali.
Beberapa sisi sejarah yang cenderung ditutupi pada masa Orde Baru juga tergambar dalam rangkaian pidato ini. Pertama, tentang peristiwa G-30-S. Bila Orde Baru hanya menunggalkan peran Partai Komunis Indonesia (PKI), komentar Soekarno sudah mencakup semua teori yang saat ini berkembang. Menurut Soekarno, ada tiga faktor yang menyebabkan G-30-S: keblingernya pemimpin PKI, adanya subversi neokolonialisme (nekolim), dan oknum yang tidak bertanggung jawab.
Soekarno mengakui, ada oknum PKI yang bersalah. Tapi, dia ingin menyelidiki dulu secara menyeluruh sebelum mengambil keputusan tentang tragedi itu. Ia mengibaratkan, kalau ada tikus yang mencuri kue di rumah, jangan sampai rumahnya dibakar. Tentang nekolim, belakangan terjabarkan lewat teori keterlibatan CIA. Sedangkan oknum tidak bertanggung jawab lebih dekat dengan teori konflik internal Angkatan Darat.
Kedua, tentang Supersemar. Saat melantik Kabinet Ampera pada 28 Juli 1966, Soekarno berkali-kali menegaskan bahwa Supersemar bukanlah penyerahaan kekuasaan. “Pers asing mengatakan bahwa perintah ini adalah a transfer of authority to General Soeharto. Tidak. It is not a transfer of authority to General Soeharto… I repeat again, it is not a transfer of authority,” ujar Bung Karno. Tidak hanya pada masa itu keberadaan Supersemar dispekulasikan sebagai bentuk kudeta halus. Sampai saat ini pun masih berkembang analisis bahwa Supersemar adalah salah satu fase “kudeta merangkak” yang dilakukan Soeharto. Dimulai pada Oktober 1965 sampai 1967, ketika Soeharto ditetapkan sebagai penjabat presiden.
Ketiga, tentang peristiwa pembantaian G-30-S. Ketika berpidato dalam rangka ulang tahun kantor berita Antara di Bogor, pada 11 Desember 1965, Bung Karno menyatakan bahwa berdasarkan visum dokter, tidak ada kemaluan yang dipotong dalam peristiwa di Lubang Buaya. Juga tidak ada mata yang dicukil seperti ditulis pers. Esok harinya, 13 Desember 1965, di depan gubernur se-Indonesia, Soekarno menyatakan, pisau yang dihebohkan sebagai pencukil mata tak lain adalah pisau penyadap lateks pohon karet. Soal visum et repertum dokter itu beberapa tahun kemudian juga diungkapkan Bennedict R.O.G. Anderson, guru besar sejarah politik Unversitas Cornell, Amerika Serikat, bahwa tak satu pun jenderal yang disilet kemaluannya.
Masih banyak soal lain yang terungkap dari kumpulan pidato ini. Misalnya, mengapa Soekarno yang hingga 1967 masih didukung Korps Komando Operasi Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan sebagian Kodam Brawijaya dan Diponegoro tidak memerintahkan perlawanan? Di situ terungkap bahwa Soekarno tidak mau terjadi petumpahan darah sesama bangsa, meski taruhannya dia jatuh.
Pada akhirnya, ikhtiar pemunculan pidato-pidato ini menjadi penting sebagai  pembanding opini, yang dikembangkan sebuah rezim Soeharto yang cenderung manipulatif. Karena tak bisa dimungkiri, bila setiap kekuasaan punya kecenderungan menonjolkan peran kesejarahan tertentu, disamping juga menenggelamkan sisi sejarah yang lain. Kumpulan pidato Bung Karno ini adalah jawaban atas tuduhan fitnah dari pihak-pihak yang mencoba menggulingkan pemerintahannya. Selamat membaca.

———— * * * ———–

Rate this article!
Tags: