Optimalisasi Pembelajaran E-Learning di SD

Oleh :
Kurniawan Adi Santoso
Guru SDN Sidorejo, Kec. Krian, Kab. Sidoarjo

Mengajar anak SD zaman sekarang beda dengan zaman saya masih SD. Tahun 1990-an guru jadi satu-satunya sumber belajar. Sekarang anak-anak bisa memilih berbagai sumber belajar. Salah satunya adalah internet yang kemudian dikenal dengan e-learning.
Dengan E-learning, siswa bisa belajar dimana saja dan kapan saja dengan memakai komputer, laptop, atau smartphone asalkan ada jaringan internetnya. Jadi, belajarnya tidak dibatasi oleh ruang kelas. Peran guru sebagai fasilitator yang mendampingi murid untuk menyelesaikan tugas belajarnya.
E-learnig merupakan terobosan pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan keterampilan abad 21 atau diistilahkan dengan 4C (Creative, Critical thinking, Communicative, dan Collaborative). Sayangnya sampai kini e-learning kebanyakan diterapkan oleh sekolah menengah dan perguruan tinggi. Belum banyak diterapkan di SD.
Saya pikir e-learning bisa diterapkan dalam pembelajaran di SD. Bila melihat karakteristik anak saat ini, pembelajaran berbasis teknologi digital tersebut sangat cocok. Anak-anak yang sekarang ini di SD merupakan generasi Z. Yakni, generasi yang lahir antara tahun 1995-2010.
Generasi Z itu pemikirannya sangat dipengaruhi informasi dan media sosial. Mereka akan sangat produktif jika tetap terhubung dengan internet dan media sosial. Mereka sering disebut sebagai digital native. Yang dicirikan “bahasa ibu” mereka itu teknologi informasi.
Selain itu, menurut ahli perilaku konsumen Alexandra Broennimann, generasi Z memiliki kemampuan konsentrasi dalam keterlibatan secara pasif 8-12 menit. Dan generasi ini lebih suka membaca melalui perangkat lunak dan menonton video. Jadi, mereka akan aktif belajar bila terhubung dengan teknologi digital.
Pada tahun 2019 diperkirakan generasi Z akan mengisi lebih dari 20% dunia kerja. Lalu bagaimana dengan sekolah kita? Sudahkah sekolah menyiapkan perangkat e-learning untuk mendidik generasi Z ini? Terutama pendidikan dasar (SD).
Sekolah merupakan salah satu institusi yang dipercaya untuk menyiapkan generasi dimasa yang akan datang. Pengelola SD (kepala sekolah, guru dan karyawan) dituntut bisa memfasilitasi generasi Z belajar yang sesuai dengan perkembangan zaman. Jika sekolah tetap menerapkan model pembelajaran dengan tidak memperhatikan perkembangan zaman, bisa diyakini generasi Z ini tidak akan terdidik dengan baik. Maka dari itu, seyogyanya pendidikan di SD bertransformasi dalam model pendidikan kekinian. Yakni pendidikan yang tidak hanya tatap muka tetapi juga jarak jauh.
Tidak Sulit
Saya pikir itu tidak sulit. Setidaknya ada tiga hal sederhana untuk menuju pembelajaran e-learning. Pertama, penyediaan perangkat e-learning. Sekolah bisa mengalokasikan dana BOS dan BOSDA untuk penyediaan sarana prasarana e-learning. Seperti  Komputer/Laptop, LCD Proyektor, internet dan sambungan wifi-nya.
Di sekolah-sekolah yang minim anggaran, kepala sekolah sebagai manajer harus berani membuat terobosan mengembangkan inovasi e-learning. Ia harus bersinergi dengan komite sekolah untuk mendapatkan bantuan dana pendidikan (Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 pasal 10 ayat 1 dan 2).
Kedua, menyiapkan sumber daya manusia. Semua sumber daya manusia yang ada di sekolah yakni kepala sekolah, guru, dan karyawan dituntut bisa mengoperasikan komputer dan internet. Bila masih banyak guru yang belum bisa mengoperasikan komputer dan internet. Tentu bisa diatasi dengan membentuk jejaring belajar lewat kelompok kerja guru (KKG). Seperti mengadakan workshop, seminar, tutor sebaya, dan sebagainya. Kuncinya guru harus punya niat yang kuat untuk adaptif terhadap kemajuan teknologi dan tidak malu untuk belajar.
Ketiga, penerapannya dalam pembelajaran. Guru punya beragam cara untuk menerapkan konsep e-learning. Misalnya saja, anak-anak dikenalkan dulu cara mengoperasikan komputer dan internet secara terarah. Dalam hal ini guru tak hanya menekankan aspek kognitif dan psikomotorik. Guru juga mengutamakan pendidikan karakter seperti kejujuran, tanggungjawab, disiplin, dan mandiri. Ini untuk membetengi anak-anak agar tidak terjerembak ke dalam dampak negatif dari internet.
Kemudian peserta didik diberi tugas melalui jaringan internet untuk mengakses pembelajaran dimanapun mereka berada, ditentukan waktu mengaksesnya. Biarkan mereka mengeksplorasi tugas itu melalui dunia digital. Lalu, mereka mengunggah tugas tersebut melalui website yang disediakan guru.
Di samping itu, guru bisa menyediakan berbagai aplikasi belajar di smartphone. Guru bisa mengunduh aplikasi itu lewat laman http://m-edukasi.kemdikbud.go.id/medukasi/. Aplikasi yang disediakan sudah disesuaikan dengan karakteristik anak SD dan materi yang dipelajari. Lalu dengan telepon pintarnya, anak-anak bisa belajar sendiri maupun belajar kelompok menyelesaikan tugas yang ada di aplikasi tersebut.
Jika siswa ingin berkonsultasi mengenai materi yang sulit dipelajari, guru bisa membuat grup diskusi dengan siswa via WhatsApp, Facebook, dan sebagainya. Siswa bisa bertanya tanpa takut salah, tanpa takut dimarahi gurunya. Grup diskusi ini memudahkan guru mengontrol fokus pembelajaran. Sehingga anak-anak akan tetap berada pada tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
Kemudian  penilaiannya pun berbasis online. Mulai ulangan harian, ulangan tengah semester hingga ulangan akhir semester, penilaiannya berbasis online. Nilai diunggah lewat website sekolah. Sehingga orangtua bisa tau nilai anaknya tanpa harus pergi ke sekolah. Ini lebih terbuka dan memudahkan pertanggungjawabannya.
Akhir kata, akankah sekolah berkutat pada pembelajaran yang konvensional? Mari kita renungkan pandangan pakar pendidikan terkenal, Jhon Dewey. “If we teach our children as we did yesterday, we rob them of the future” (Jika kita mengajar anak-anak kita sebagaimana yang kita lakukan kemarin, sama saja kita merampas masa depan mereka). Begitu.

                                                                                                                     ———— *** ————

Tags: