Otoritas Teks Teologis Mutakhir

Oleh :
Moh Rofqil Bazikh
mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga. Sekarang tinggal di Garawiksa Institute Yogyakarta

Penyakralan terhadap teks-teks teologis, sudah tidak bisa dihindari. Ini adalah rangkaian ritual keagamaan kebanyakan orang dalam memuliakan agama masing-masing. Begitu pula dalam agama islam, terdapat sesuatu yang juga secara nyata disakralkan. Meski pada dasarnya, hal tersebut dimulai dari kedudukan agama yang memang dipandang sakral. Hingga selanjutnya merembet kepada aspek-aspek dari agama, termasuk teks teologis.

Teks teologis disini dapat dimaknai sebagai al-Quran dan hadits, yang sudah berabad menjadi sumber hukum. Meski dalam dinamika teks teologis tersebut tentu banyak hambatan. Termasuk setelah wafatnya nabi Muhammad SAW.

Tersebab kosmos ini juga sesuatu yang dinamik dan tidak monton, maka teks teologis seolah-olah mengikuti bagaimana dinamika zaman. Interpretasi terhadap teks teologis memang seyogianya dikembangan sesuai dengan zaman. Masalah kemudian banyak interpretasi destruktif dan justru merusak citra islam itu sendiri, ini hal yang perlu ditelisik lebih jauh. Tentu bisa diterima semisal usulan dari Abdullah Saed, salah seorang cendikiawan muslim, yang mengungkapkan bagaimana sebuah tafsir itu dikemukakan. Dengan memadukan pada problem-problem yang melanda mutakhir atau dengan perpaduan pada tragedi sosial belakangan.

Sudah sepatutnya kita tidak menerima semua dengan apa yang disampaikan teks-teks teologis. Tidak menerima dalam konteks ini, adalah sebuah proses penyaringan. Jika semisal teks teologis yang terlihat sangat ekstrem, maka hal demikian bukankah dapat dipermudah? Di sinilah titik interpretasi terhadap teks teologis itu yang sangat urgen. Sampelnya, dalam teks al-Baqarah ayat 218 ada sebuah frasa tentang jihad. Tetapi apakah frasa tersebut dapat diartikan dengan makna yang asali, tentu tidak. Lebih-lebih jika banyak yang membuat persepsi bahwa jihad dalam hal di atas identik dengan perang. Ini tentu tidak sesuai dengan konteks kekinian, bagimana pun. Membunuh, melukai, atau bahkan apapun, meski atas nama agama tidak dapat dibenarkan.

Statemen tersebut dapat diperkuat bahwa islam justru lahir atas nama kemanusian. Teks-teks teologis juga lahir atas respon terhadap realitas. Maka kemanusian di sini dapat diletakkan di atas segalanya, lebih-lebih masih berkaitan dengan agama. Kalau semisal hanya berbekal sebuah ayat dan kemudian menumpas kemaksiatan dengan kekerasan, ini sama sekali tidak bisa dibenarkan. Mungkin agak luput dari pertahatian, berapa puluhan ayat yang menunjukkan welas asihnya Allah sebagai Tuhan. Tetapi pemakluman di dalam hal ini bukan untuk dijadikan alasan berhenti mencegah kemungkaran.

Terlebih memang, prioritas utama islam adalah memanusiakan manusia manusia. Tidak saling menyakita atau bahkan sampai melukai. Jika perkataan saja wajib dijaga, sebagaimana dalam teks hadits, tentu tindakan harus lebih dikawal. Kemudian otoritas teks teologis bukan dinafikan sama sekali. Tetapi teks teologis yang menjurus ke arah ekstrem mungkin dapat dikaji kembali lebih mendalam. Melewati semacam proses kuratif tanpa menafikan keautentikan teks tersebut.

Dalam konsep maslahat Najamuddin al-Thufi yang meneruskan teori maqasid-nya as-Syatibi. Al-Thufi mendudukan maslahat di atas teks, meski akan terlihat sedikit kontroversial. Tetapi jika ditelaah lebih dalam, memang kemaslahatan justru penting untuk dilihat lebih jauh. Meski maslahat itu sendiri berdasar pada akal semata bukan pada nash. Patut memang disoroti bagaimana ekspresi keislaman yang kelihatan ekstrem. Ini sekali lagi, mohon maaf, akan mendestruktif terhadap islam sebagai sebuah dogma yang pada mulanya disakralkan. Sebuah agama yang sepatutnya diekspresikan dengan sangat hati-hati.

Maka otoritas teks teologis tidak sepenuhnya dapat dibenarkan sebagai penguasaan terhadap akal. Tetapi bagaimana akal juga diberi porsi pada dinamika keberagamaan dan konsep berekspresi. Jika memang selayaknya teks teologis, sekali lagi al-Quran dan hadits, dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Maka, jalan utama adalah membersihkan dari sesuatu yang bisa merusak citra islam itu sendiri. Teks-teks teologis tidak sepenuhnya bisa dijadikan dasar atas nama kekerasan di muka bumi. Apalagi atas nama kekerasan dan kepentingan individu dan kelompok. Tetapi hal tersebut bukan sebagai pengabaian terhadap teks. Melainkan hanya sebuah antisipasi terhadap kesumiran penafsiran.

Lebih dari hal tersebut, memang selayaknya membangun citra islam yang berkemajuan. Tidak melulu menuhkan dan menyakralkan teks. Hingga berimplikasi pada ekstremisme dan radikalisme beragama. Sebab agama adalah cinta dan akal, maka akal memang selayaknya mendapt porsi yang lebih. Sebab hal demikian adalah fitarh dari akal itu sendiri.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: