Pajak Sertifikat Mahal, BPN Surabaya Ajak Bank Beri Pinjaman Lunak

Suasana proses verifikasi pengajuan sertifikat massal oleh Kantor Pertanahan Surabaya II di Kantor Kelurahan Wonorejo, Rabu (14/12) kemarin. [Gegeh Bagus Setiadi/bhirawa] 

Suasana proses verifikasi pengajuan sertifikat massal oleh Kantor Pertanahan Surabaya II di Kantor Kelurahan Wonorejo, Rabu (14/12) kemarin. [Gegeh Bagus Setiadi/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Tingginya biaya pajak sebagai syarat pembuatan sertifikat masih banyak dikeluhkan khusunya masyarakat Kota Surabaya . Mengatasi kondisi yang membuat macet target program Sertifikasi Tanah Massal (SMS) ini, BPN II Surabaya mencoba mengajak dunia perbankan agar bisa menyalurkan kredit lunak bagi masyarakat.
Memang untuk pengurusan sertifikat tanah, masyarakat masih harus mengeluarkan bioaya pajak yang cukup mahal sebagaimana PP 34/2015. Dalam aturan ini setiap pengalihan kepemilikan tanah sejak tahun 1997 dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) 2,5 persen, dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 5 persen.
Karena banyaknya keluhan masyarakat itulah, Kantor Pertanahan Surabaya II mencoba mendekati perbankan agar mau memberikan pinjaman lunak.
Kepala Seksi Survei, Pengukuran, dan Pemetaan, Kantor Pertanahan Surabaya II Ardi Rahendro mengatakan, ada beberapa bank yang sudah berminat. Namun, masih menunggu kabar lebih lanjut terkait hal ini.
“Sekarang sudah ada Bank Mandiri dan Bank BRI. Hal ini untuk memberikan pinjaman lunak untuk pajaknya,” katanya saat ditemui Harian Bhirawa di Kelurahan Wonorejo, Rabu (14/12) kemarin.
Biaya PPh dan BPHTB, menurut Ardi, sebenarnya tidak terlalu besar. Terutama untuk tanah yang ada di perkampungan. “Rata-rata tanah di perkampungan dengan nilai jual objek pajak di bawah Rp100 juta, biaya PPh dan BPHTB-nya enggak sampai Rp10 juta, kok,” ujarnya.
Namun ia berharap, dengan adanya pinjaman lunak dari perbankan ini, warga akan terbantu untuk melunasi pajak yang menjadi syarat pengurusan sertifikat tanah massal Surabaya.
Sementara, sejak peresmian program sertifikasi massal surabaya oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang, akhir September lalu, Kantor Pertanahan Surabaya II sudah menerima 700 pengajuan warga. Namun, yang telah terverifikasi hanya sebanyak 97 pengajuan. Jika lolos verifikasi, pemohon barulah menerima Surat Perintah Setor (SPS).
Ardi merinci, Ada 13 pengajuan di Gunung Anyar, 40 pengajuan di Wonorejo, dan 40 pengajuan di Kedung Baruk yang sudah terverifikasi. Para pemohon pun sudah menerima SPS-nya.
“Kendalanya, riwayat tanah itu tidak nyambung. Antara data-data tanah di kelurahan dan data-data yang mereka miliki,” katanya.
Hal ini terjadi, biasanya atas tanah yang sudah mengalami jual beli bertingkat hingga tangan ketiga atau keempat dan seterusnya. Kantor pertanahan pun perlu mencermati riwayat tanah di Buku C kelurahan, dan meminta bukti-bukti dari pemilik.
“Biasanya jual beli ini di bawah tangan, tidak melalui notaris. Ini yang kita harapkan, supaya warga tidak terbebani Bea Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),” ujarnya.
Namun, pemohon sertifikat tanah tetap perlu menyerahkan bukti pembayaran Pajak Penghasilan (PPh). Sebab, sesuai dengan kesepakatan Menteri Keuangan dalam PP 34/2015 tentang pertanahan, PPh menjadi syarat wajib pengurusan tanah. “Kalau tidak, nanti kami yang dikira menggelapkan pajak. Ya, kan?,” Ujarnya.
Hanya saja, Ardi mengakui, selama ini warga belum banyak yang memahami peraturan. Padahal, peraturan itu menyiratkan bahwa PPh seharusnya merupakan beban yang harus ditanggung oleh penjual.
“Seharusnya penjual yang memenuhi pajak penghasilan. Yang dapat hasil dari jual beli tanah siapa? Sedangkan pembeli harus menanggung BPHTB,” terangnya.
Perlu diketahui, Surabaya menjadi satu dari beberapa kota di Indonesia yang terpilih sebagai pilot project program sertifikasi massal. Pemkot Surabaya menargetkan pada akhir 2017 mendatang, 224 ribu bidang tanah di Surabaya yang belum bersertifikat, seluruhnya sudah tersertifikatkan. (geh)

Tags: