Pancasila Nasibmu Kini

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosioogi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Menyambut hari lahirnya Pancasila 1 Juni, negeri pancasila ini dihadapkan pada kompleksitas persoalan yang meruntuhkan sendi-sendiri kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam diskusi mata kuliah filasafat Pancasila di ruang kelas, seorang mahasiswa bertanya; benarkah Negara Indonesia berdasarkan Pancasila, benarkah kita hidup di Negara Pancasila, jika benar kita hidup di Negara Pancasila, mengapa sila dasar dari Pancasila; masalah Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, Keadilan nyaris hilang dari kesadaran dan praktik kehidupan berbangsa dan bernegara kita?. Pertanyaan kritis-reflektif tersebut layak dikemukakan di tengah problematika yang terus mendera bangsa ini yang menjadikan bangsa ini sulit berkembang dan maju.

Soekarno sebagai penggagas dan juru bicaranya pada waktu itu dengan tegas memberikan dua kualifikasi utama kepada Pancasila, yaitu kedudukannya sebagai dasar filsafat negara (philosophische grondslag) dan fungsinya sebagai suatu pandangan (tentang) dunia (Weltanschauung). Pancasila tidak hanya sekedar idiologi negara, tapi juga menjadi falsafah dan system hidup berbangsa dan bernegara. Namun sayang dalam praktik berbangsa dan bernegara, pada penyelenggara negara ini lebih cenderung menyesampingkan nilai dan prinsip-prinsip dasar dari lima sila dalam Pancasila. Dan menggantinya dengan idiologi dan sistem hidup yang lain, apakah itu liberalism ataupun kapitalisme.

Salah satunya hal ini terwujud dalam kehidupan dan peyelenggaran Negara di bidang ekonomi. System ekonomi pancasila yang lebih mendasarkan pada ekonomi kerakyatanan (baca: UUD 1945 pasal 33), misalnya, dalam praktik perekonomian nasional telah berubah wujud menjadi ekonomi kapitalisme. Indikasi yang paling telanjang adalah lahirnya peraturan perundangan-undangan yang pro asing/kapitalis (baca: UU Migas), menjamurnya pasar-pasar supermodern dan pada saat yang sama regulasi tersebut mengancurkan pasar tradisional.

Fakta yang paling telanjang adalah menguatnya pihak asing yang menguasai sumber-sumber ekonomi, industri sumber daya mineral dan energy strategis nasional. Kondisi ini mengusik rasa nasionalisme kolektif kita. Hampir 80 persen sumber-sumber ekonomi strategis tersebut dikuasai pihak asing. Pada saat yang sama, masyarakat Indonesia harus menjadi kuli di negeri sendiri. Sebuah realitas sosial-ekonomi yang sangat ironis dan tragis. Apakah ini yang namakan nasionalisme?. Nasionalisme Indonesia sudah tergadaikan.

Di bidang sosial-keagamaan; munculnya kekerasan dengan legitimasi agama (baik fisik maupun non fisik) yang kerapkali mewarnai kehidupan Beragama kita. Hilangnya sikap intoleransi antar umat dan pemeluk agama. Kasus pengrusakan tempat ibadah yang menimpa umat yang seagama maupun lain agama kerapkali terjadi. Di bidang hukum, penegakan hukum sarat dengan mafia dan transaksional, surplus lembaga peradilan, tapi defifit keadilan. Kasus yang teraktual adalah, adanya upaya pelemahan KPK yang berjalan terstrutkur, sistematis, dan masif, dan yang lebih parah lagi dilakukan melalui instrumen hukum. Pendek kata, Pancasila saat ini -pelan tapi pasti- sudah mulai ditinggalkan. Para penyelenggara Negara ini lebih kagum dengan idiologi dan sistem hidup negara asing.

Nasib Pancasila Mengenaskan

Nasib pancasila sungguh mengenaskan. Para penyelenggara negara ini sudah terjangkit penyakit amnesia atas idiologinya sendiri. Mengutip pernyataan B. J. habibie, saat Pidato tentang Pancasila pada 1 Juni 2011 lalu, menyatakan; Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik”.

Nasib Pancasila memang mengenaskan. Sebagai Ideologi negara Pancasila tak ubahnya seperti sebuah kata-kata saja yang untuk diucapkan ketika upacara. Menurut B.J. Habibie, yang menyebabkan Pancasila terlupakan adalah: Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global. Perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini.

Kedua, terjadinya euforia reformasi sebagai akibat traumatik masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional’ tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi masyarakat yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Sehingga keberadaan Pancasila saat ini seperti; ADA dan TIADA.

Secara fisik ada dan bahkan kerapkali Pancasila dijadikan “mantra dan panjangan” dalam berbagai kegiatan formal kenegaraan. Namun sebenarnya TIADA; nilai-nilai dasar Pancasila tidak mewujud secara riil dalam pola perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Dan yang lebih parah lagi, tidak adanya keteladan dari para pemimpin negeri ini. Justru para pemimpin negeri ini kerapkali menjadi masalah dan sumber masalah negeri ini. Berbagai problematika yang terus mendera bangsa ini menjadi bukti empirisnya.

Revoluasi Pancasila

Di tengah hiruk pikuk euphoria politik dan reformasi, mengutip pernyataan keprihatinan Buya Syafi’i Ma’arif (2009:196-197), sebagaimana dikutip oleh Hariyono; Pancasila yang hanya dimuliakan dengan kata, tetapi dikhianati dalam laku, hanyalah akan memperpanjang derita bangsa ini, sementara tujuan kemerdekaan berupa tegaknya sebuah masyarakat yang adil dan makmur akan semakin menjauh saja (Hariyono, 2014: 12).

Di tengah problematika bangsa yang kompleks seperti sekarang ini, sudah saatnya kita dan terutama para penyelenggara negeri ini melakukan pembumian nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara riil dan konsistensi. Para penyelenggara Negara ini perlu diingatkan dengan pernyataan Jendral nasution; bahwa Pancasila sebagai ideologi satu-satunya yang menjamin kesatuan nasional dan cocok dengan kepribadian Indonesia, dan karena itu menjadi landasan yang sesuai bagi dasar Negara Indonesia.

Bahkan tak sekedar pembumian, dalam bahasa Yudi Latif (2015), kita perlu melakukan apa yang disebut sebagai revolusi Pancasila, yakni suatu ikhtiar perubahan mendasar (secara akseleratif) pada sistem sosial (meliputi ranah material, mental, political) berlandasakan prinsip-prinsip Pancasila, dalam usaha mewujudkan perikehidupan kebangsaan dan kewarganegaraan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (materiil dan spiritual). Dengan adanya revolusi pancasila, dengan sendirinya sekaligus menjawab problematika HAM di Indonesia. Problematika HAM Indonesia perlu dijawab dengan “obat mujarab” HAM Pancasila, HAM yang bercita asa Keindonesiaan (nasionalisme dan relijiusitas). HAM Pancasila yang sesuai dengan karakter dan kepribadian bangsa dan rakyat Indonesia. Jadikan Pancasila sebagai pattern for behavior, bukan pattern of behavior. Pattern for Behavior, menjadikan Pancasila sebagai watak dalam berperilaku dan bertindak; “living value, norm, law, and system” bagi setiap insan Indonesia.

——- *** ——–

Rate this article!
Pancasila Nasibmu Kini,5 / 5 ( 1votes )
Tags: