Pandemi yang Merawat Bumi

Adi Faridh

Refleksi Hari Bumi 22 April
Oleh :
Adi Faridh
Guru Geografi SMAN 1 Karangbinangun Lamongan. Instruktur Nasional Guru Pembelajar

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) telah memasuki bulan keempat sejak wabah ini muncul di Wuhan, Tiongkok dan merambah seantero dunia. Sebanyak 213 negara terjangkit dengan grafik kasus harian korban yang terus menanjak. Warta covidvisualizer.com per 21 April, 2.478.153 jiwa di seluruh dunia terkonfirmasi positif. Pagebluk, demikian kosa kata lokal mengakrabi wabah ini membuat kalang kabut otoritas negara-negara terpapar untuk segera menetapkan protokoler penyelamatan warganya.
Eskalasinya yang cepat dan meluas memaksa tiap negara melaksanakan penutupan batas negara, pembatasan sosial, dan fisik. Sejumlah agenda dan regulasi seperti lockdown, karantina, dan isolasi mandiri dipilih sebagai peta jalan yang diyakini efektif untuk membentengi wilayah fisik dan sosialnya. Alhasil, masyarakat mulai disiplin jaga jarak, belajar, dan bekerja dari rumah. Sadar kebersihan lingkungan, rajin cuci tangan, memakai masker, serta tidak lagi berkerumun. Upaya lainnya berkorban sementara waktu mengurangi aktivitas rutin di tempat ibadah dan pelayanan publik.
Meskipun kecemasan belum dapat diredam sepenuhnya karena masih belum mengerti kapan pandemi melandai dan berakhir tetapi ikhtiar ini adalah tekad optimisme. Kedisiplinan menaati protokoler kesehatan diyakini dapat memutus mata rantai penyebaran virus corona yang lebih luas. Seperti himbauan viral bernada humor, “Jika passionmu adalah rebahan, maka ini saatnya hanya dengan rebahan kamu akan jadi pahlawan yang menyelamatkan bumi manusia.”
Ternyata penyelamatan bumi dengan berdiam diri di rumah saja bukanlah sekadar anekdot. Sejumlah studi menyampaikan kabar gembira berkenaan dengan kondisi langit yang makin cerah dan air yang bertambah jernih selama masa pandemi Covid-19. Gambar satelit dari Badan Antariksa Eropa (ESA) menunjukkan berkurangnya tingkat nitrogen dioksida, produk sampingan dari pembakaran bahan bakar fosil yang menyebabkan masalah pernapasan. Pemandangan itu tampak di seluruh kota besar Eropa seperti Paris, Madrid, dan Roma ketika negara-negara terkunci atau lockdown.
Di China, sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, emisi karbon dioksida turun seperempatnya dibanding beberapa pekan sebelum negara ini mengunci diri. Menurut analisis yang diterbitkan dalam Carbon Brief, para ilmuwan mencatat penurunan serupa di polutan lain seperti nitrogen dioksida dan partikel, yang telah bertahun-tahun berusaha membersihkan udara yang tersumbat asap. Kota-kota di seluruh Amerika Serikat juga telah mengalami efek serupa ketika warganya tinggal di rumah pada kota-kota yang rawan macet seperti Los Angeles dan New York.
Di negara kita, deretan foto pesona langit Jakarta yang biru dan cerah dipamerkan warga net di akun media sosialnya. Fenomena biru cerahnya langit disebut oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memang ada kaitannya dengan dampak pembatasan pergerakan orang dan ditutupnya pusat keramaian. Menurut hasil pengamatan BMKG konsentrasi partikel polusi (suspended particulate matter) baik kuantitatif maupun kualitatif lebih rendah konsentrasinya dibanding bulan yang sama tahun lalu. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta dan Bandung juga berdampak pada anjloknya konsumsi BBM hampir 60 persen.
Pada satu sisi dunia sedang cemas dan berduka karena data korban terpapar yang terus bertambah sementara obat penyembuh dan penangkal belum dipastikan penemuannya. Pada sisi yang lain, tindakan mandiri masyarakat yang disiplin mematuhi pembatasan sosial dan fisik telah berdampak pada semakin sehatnya lingkungan dan terawatnya bumi dari polusi. Implikasi positif berupa polusi udara buangan industri yang menurun dan kualitas lingkungan hidup yang meningkat adalah kado peringatan hari bumi tahun 2020 yang bertepatan pada tanggal 22 April.
Rutin diperingati setiap tanggal 22 April, dunia merayakan hari bumi. Seremonial tahunan yang didesain untuk menggugah kesadaran dan apresiasi terhadap bumi, terutama meningkatkan kesadaran publik akan kepedulian pada kelestarian lingkungan. Dalam sejarahnya, hari bumi pertama kali dicanangkan oleh aktivis lingkungan Amerika Serikat Gaylord Nelson pada 1970. Seiring berjalannya waktu, Hari Bumi mendapat dukungan dari berbagai pihak untuk pembentukan Badan Perlindungan Lingkungan dan berkontribusi pada pengesahan regulasi udara bersih, perundangan yang mengatur peningkatan kualitas air, pengaturan penyelamatan spesies dari kepunahan dan beberapa regulasi lingkungan lainnya.
Setiap hari bumi diperingati dengan berbagai aksi kepedulian terhadap upaya menjaga kelestarian bumi. Aksi berupa menanam pohon penghijauan, mengurangi penggunaan sampah plastik, hemat bahan bakar fosil, mematikan listrik satu jam, dan beragam tindakan lain yang intinya merawat bumi. Aksi ini menjawab keluhan yang mengemuka yaitu masih mayoritasnya manusia yang tak peduli dan abai merawat bumi.
Lazimnya, ketidakharmonisan manusia dengan bumi berujung pada rusaknya ekosistem, punahnya spesies, dan arus baliknya adalah bencana alam dan kemanusian. Bencana alam yang kerap melanda adalah dampak nyata dari keserakahan eksplorasi dan eksploitasi oleh personal, korporasi, dan otoritas negara terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Refleksi dari dirayakannya hari bumi ini adalah untuk memulihkan hubungan yang lebih harmonis antara manusia dengan planet bumi kita yang makin uzur.
Konon, filosofi kearifan menyebutkan bahwa manusia hanyalah tamu di bumi. Planet biru ini sudah tercipta sejak 4,5 miliar tahun terdahulu. Sementara manusia pertama yang diutus memakmurkan bumi baru datang ribuan tahun lalu. Layaknya tamu, manusia haruslah hormat, sopan, dan berperilaku etis terhadap bumi sebagai tuan rumahnya. Dengan begitu, manusia dapat hidup harmonis dan mengakrabi kearifan lokal. Kearifan lokal dibangun dari budaya setempat, diturunkan oleh nenek moyang, maka harus dijaga dan dilestarikan. Jika dihayati, kearifan lokal pasti mengandung nilai-nilai yang baik bagi masyarakat dan lingkungannya.
Tetapi zaman terus bergerak, populasi manusia secara global kian membengkak, kearifan lokal merawat bumi mulai ditinggalkan. Manusia berganti gaya hidup yang mengantar kita pada era anthropocene. Suatu zaman yang oleh para ilmuwan diidentifikasi sebagai era geologi baru di mana gaya hidup manusia, tindakan manusia, teknologi yang digunakan dan praktiknya tidak dapat ditarik kembali segala dampak negatif yang ditimbulkan terhadap alam. Perilaku manusia telah menempatkan kelangsungan hidup banyak spesies terancam, dan sumber daya alam terkuras.
Pertanda dari era anthropocene ini akan terlihat pada jejak sedimen, naiknya deposit karbon, menyusutnya cadangan fauna, penggundulan hutan, punahnya keanekaragaman hayati, ledakan populasi manusia, serta perubahan iklim global. Tekanan yang kuat terhadap masa depan planet bumi inilah yang mengilhami upaya penyelamatan bumi dengan menggugah kesadaran kita melalui peringatan hari bumi internasional.
Selain berkah tersembunyi dari pandemi Covid-19 yang merawat bumi setidaknya ada dua kiat sederhana yang dapat kita lakukan. Pertama, mengajak orang lain untuk mengenal dan memahami masalah lingkungan. Kampanye ini akan menggugah dan menginspirasi individu lain dan diharapkan berpartisipasi melakukan tindakan nyata melindungi bumi dari kerusakan. Kedua, Meneguhkan komitmen diri sendiri untuk merawat bumi. Pembiasaan sederhana seperti menanam pohon di pekarangan rumah, membersihkan lingkungan sekitar, hemat energi dengan membiasakan jalan kaki dan bersepeda angin, hemat listrik dengan mematikan peralatan elektronik saat tidak butuh, menggunakan produk berbahan alami yang bisa didaur ulang, dan mulai membatasi sampah plastik.
Rutinitas sehari-hari demi kehidupan masa depan seperti dicontohkan di atas adalah langkah kecil yang dilakukan saat ini tetapi mampu memberikan dampak sangat besar di masa depan, apalagi langkah yang besar. Mahatma Gandhi, pejuang kemanusiaan mewariskan petuah bijak,”Bumi ini cukup untuk menampung seluruh umat manusia, namun tidak akan pernah cukup untuk tujuh orang yang selalu merasa kurang.”Keserakahan memang menjadi pangkal ancaman dan bencana kehancuran bagi masa depan bumi. Dirgahayu bumi, segera berlalu pandemi. [*]

Rate this article!
Pandemi yang Merawat Bumi,5 / 5 ( 2votes )
Tags: