Panen, Jaga Harga Beras

Karikatur BerasAKHIR Maret sampai April ini, akan menjadi puncak panen raya padi. Namun serta-merta harga gabah anjlok. Sekilas, seolah-olah suplai melebihi demand (kebutuhan). Karena itu pemerintah mesti ekstra waspada menata perdaganagn dan distribusi beras. Untuk mengamankan stok beras nasional (tanpa impor), pemerintah wajib memborong hasil panen dengan harga layak. Juga untuk menghindari “permainan” harga oleh pedagang besar.
Benarkah pemerintah akan coba memenuhi kebutuhan beras tanpa impor, mulai tahun ini? Ternyata belum. Bahkan sudah diterbitkan Inpres Nomor 5 tahun 2015 tentang Impor beras. Walau (selalu) dengan persyaratan yang diperketat. Penerbitan Inpres (izin) impor, konon, bisa digunakan sebagai “penjinak” makelar beras impor. Sehingga stok beras cukup, harganya tidak memberatkan masyarakat. Namun presiden Jokowi bertekad masih akan melanjutkan swasembada pangan.
“Minta apa pun saya beri,” kata Presiden Jokowi seusai acara pemberian penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara, di Balai Besar Tanaman Padi, Subang, Jawa Barat, Januari (2015) lalu. Presiden merasa malu, ketika ditawari beras oleh Presiden Vietnam. Tetapi dengan penerbitan Inpres impor beras, berarti merespons positif tawaran berbagai negara tetangga (India, China, dan Vietnam).
Berdasar Inpres, impor boleh dilakukan manakala persediaan hasil panen dalam negeri tidak mencukupi. Sedangkan “catatan” ketersediaan beras akan dikontrol melalui Bulog. Karena itu pada diktum ke-7 klausul ke-3 dinyatakan, “Pelaksanaan kebijakan pengadaan beras dari luar negeri dilakukan oleh Perum BULOG.”  Sehingga ketersediaan beras di gudang Bulog (dengan divisi regional yang tersebar di daerah seluruh Indonesia) akan menjadi pertimbangan utama.
Selama ini stok beras tidak hanya tersimpan di gudang Bulog, melainkan juga di gudang milik pedagang besar. Tak jarang, stok di gudang pedagang sengaja disimpan untuk “mengayun” harga. Terutama menjelang hari raya Idul Fitri dan Tahun baru. Pada situasi (seolah-olah) stok langka, maka harga beras akan naik. Itulah modus yang dilakukan mafia pedagang, agar pemerintah membuka peluang (dan kuota) impor beras.
Panen raya bulan Maret – April 2015, diperkirakan menghasilkan sebanyak 68 juta ton gabah kering giling (GKG). Sedikit turun dibanding tahun lalu. Sekitar 57% GKG akan menjadi beras (39 juta ton). Sedangkan konsumsi beras mudah dihitung. Yakni, perkiraan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 256 juta jiwa, dengan konsumsi beras sebanyak 139 kilogram per-kapita per-tahun. Maka diperlukan 35,584 juta ton beras. Dus, masih surplus beras sebanyak 3,5 juta ton.
Maka impor beras, seharusnya tidak perlu! Namun tata-niaga beras, tidak semudah sekadar kalkulasi ketersediaan hasil panen. Melainkan juga situasi di desa-desa sentra pangan. Kenyataannya, tidak semua gabah (apalagi beras) disetor ke Divre Bulog. Bahkan lebih sering, tengkulak lebih “agresif” dibanding Bulog. Diantaranya, tengkulak memberi talangan (utang) untuk modal bertani. Selain itu, tengkulak menghargai gabah kering sawah (GKS) lebih tinggi.
Agar petani lebih memilih menjual gabah kepada Divre Bulog, satu-satunya jalan, hanya dengan menaikkan HPP. Tahun (2015) ini HPP juga sudah dinaikkan.  HPP beras yang sebelumnya Rp 6.600,- menjadi Rp 7.300,- per-kilogram. HPP gabah kering giling (GKG) naik dari Rp 4.200,- menjadi Rp 4.650,- per kilogram. Sedangkan harga gabah kering sawah (GKS) juga meningkat dari Rp 3.300,- menjadi Rp 3.700,- per kilogram.
Biasanya, petani menjual dalam bentuk GKS. Itupun tidak mudah meraih harga tertinggi (Rp 3.700,- per-kilogram), karena terdapat beberapa persyaratan. Derajat sosoh (kandungan air, butir pecah dan tanah tercampur) akan menjadi penentu harga. Maka Divre Bulog harus lebih progresif “merapat” ke kelompok tani, dengan memudahkan persyaratan harga lebih menarik (dibanding tengkulak).

                                                                                                                   ———   000   ———

Rate this article!
Panen, Jaga Harga Beras,5 / 5 ( 1votes )
Tags: