Pemerintah Diminta Fasilitasi Pengolahan Garam dan Rumput Laut NTT

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Jakarta, Bhirawa.
Musim paceklik di NTT saat ini yang membuat sebagain rakyatnya terpaksa makan “makanan ternak”, bisa diatasi bila lahan tidur disana dimanfaatkan optimal. Pemerintah wajib membantu NTT untuk memanfa atkan lahan tidur yang luasnya lebih dari 1 juta hektar. Disesuaikan dengan iklim di NTT, lahan tidur itu tidak harus ditanami dengan tanaman pangan. Tetapi dengan tanaman apa saja yang bisa dijual untuk membeli bahan pangan. Misalnya, menanam “kemiri sunan” untuk bahan biodiesel, sengon untuk bahan baku kertas, rumput gajah untuk pakan ternak.
Demikian terungkap dalam dialog kenegaraan tentang “Masalah Pangan di Indonesia Timur” di loby gedung DPD RI, kemarin. Sebagai pembicara 3 orang warga NTT, yakni senator asal NTT Ibrahim Agustinus Medah(mantan Bupati yang kini anggota Komite II DPD RI), aktifis NTT Ketua Umum PMKRI, Agustinus Tamo Mbapa dan Agustinus Gusti Lesek
Menurut senator Ibrahim, pemerin tah wajib membantu rakyat NTT untuk mengentaskan diri kemiskinan. Misal nya memfasilitasi pengolahan garam rakyat yang produksinya bisa menca pai 4 juta ton. Juga rumput laut yang digeluti rakyat NTT selama ini, belum bisa diolah secara baik. Rakyat NTT yang kini telah terlanjur menjadikan beras sebagai makanan pokok, harus diajari kembali makan sagu dengan pengolahan cara baru. Semuanya itu memerlukan batuan dan fasilitas dari pemerintah.
Menyinggung masalah tanaman pangan yang ada di NTT, Ibrahim yang mantan Bupati ini berceritera; Bukan hanya pupuk dan bibit, tetapi obat tanaman juga selalu datang terlambat. Bibit datang ketika habis musim tanam, sehingga petani menanam bibit seadanya yang tidak bisa menghasilkan produk yang maksi mal. Pupuk dan obat tanaman juga terlambat dari jadwal,hingga produksi tidak seperti yang diharapkan dan petani merugi.
“Menghindari keterlambatan bibit dari perusahaan besar, seyogyanya bibit lokal diperbanyak, sehingga petani bisa optimal menanam bibit lokal. Pengadaan obat E katalog yang selalu bermasalah, diganti saja dengan obat herbal produk sendiri. Pemerintah bisa memberi pelajaran cara membuat sendiri dan pemakaian obat herbal tersebut,” saran Ibrahim.
Sebagai aktifis Tamo Mbapa melihat, kemiskinan banyak disebab kan oleh sangat kurangnya niat baik pejabat NTT untuk mengentaskan rakyatnya dari keterpurukan. Di NTT pejabat pemerintah dianggap yang berhak memerintah, jadi terbiasa untuk dilayani. Sebaliknya di negara maju, pejabat pemerintah diartikan “pelayan” jadi harus melayani rakyat.
Para politisi dan wakil rakyat NTT di DPR dan DPD juga belum mampu memperjuangkan nasib rakyat. Agustinus Gusti Lesek warga NTT yang tinggal di Jakarta, menyesalkan pembangunan pelabuhan di pulau Sumbawa disebelah selatan pulau. Padahal lalulintas kapal dari Surabaya dan Makasar, lewat disebelah Utara. Pengusaha kapal tentu ogah singgah pelabuhan dengan cara harus memu tari pulau Sumbawa. Dia mencurigai, pembangunan pelabuhan di sebelah Selatan pulau yang jarang disinggahi kapal itu bermotif korupsi.
“Sampai saai ini baru 57% listrik yang mengalir di NTT. Sedang jalan provinsi yang memadai baru 40%, dan jatah jalan kabupaten/kota hanya 2 kilometer per tahun. Lumayan jalan nasional yang terbengkelahi tinggal 20%,” sela Ibrahim. [ira]

Tags: