Pemesanan Baja Ringan Turun

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Melambatnya pertumbuhan properti di Indonesia mulai di rasakan para produsen baja ringan. Kebutuhan baja ringan yang diperuntukkan untuk atap rumah, dan lainnya saat ini sedang mengalami penurunan permintaan dari pengembang rumah.
Sherly Gestia Dili, Direktur pemasaran produk baja ringan di Surabaya mengungkapkan jika produk yang dijualnya saat ini mengalami penurunan omzet. Terutama untuk daerah pemasaran Jatim dan Jateng. Sedangkan untuk daerah yang di luar pulau Jawa, relatif lebih stabil meskipun sampai saat ini belum ada lonjakan permintaan.
“Sejak produk property mengalami kelesuan pada semester I tahun 2015, memang banyak produsen lebih menyesuaikan produksinya dengan permintaan. Kalau pun produsen membuat stok sudah tidak sebanyak dahulu, 30-40 persen dari omzet. Saat ini produsen lebih memilih untuk produksi tambahan dengan kapasitas 10-20 persen saja dari kapasitas normal,” ujarnya di Surabaya, Kamis (28/5) kemarin.
Mengurangi produksi tambahan lebih kepada efisiensi. Karena jika produksi dilakukan berlebihan dikhawatirkan akan menganggu cash flow perusahaan. Langkah aman diambil, karena berkaitan dengan 300 karyawan yang menggantungkan hidupnya di sini.
“Melemahnya pertumbuhan properti karena memang ada melemahnya pasar, dan lambatnya anggaran bantuan pemerintah yang turun ke daerah. Terutama untuk pembangunan rumah bagi warga yang tidak mampu,” katanya.
Sherly tidak terlalu meyakini, bahwa kinerja produsen baja ringan akan bisa menyamai tahun lalu. Sebabnya penjualan baja ringan secara nasional selama empat bulan ini mengalami penurunan sekitar 30-40 persen.
“Sudah pasar sepi, sekarang produsen menjual dengan margin yang semakin tipis. Semua berkorban, yang penting terjual, bisa melalui tahun 2015 dengan penjualan yang minim serta margin keuntungan yang tipis itu saja sudah sangat lumayan” jelasnya.
Tak kunjung carinya dana pemerintah pusat kepada daerah menjadi penyebab utama terjadinya perlambatan pertumbuhan property. Di tambah dengan, tidak pastinya penegakan hukum yang berdampak kepada keraguan investor dalam berinvestasi dalam hal properti.
“Salah satunya isu pengenaan pajak barang mewah untuk bangunan properti di atas 300 meter persegi, sukses membuat pelaku wait and see dalam sektor properti. Maka dari itu, capaian  yang ingin di dapatkan mencapai 600.000 ton seperti tahun lalu kurang bisa terrealisasi. [wil]

Rate this article!
Tags: