Pendidikan Investasi di Desa Miliader

Oleh :
Untung Dwiharjo
Pengamat Sosial dan Pedesaan, Alumnus Fisip Unair

Desa miliader kini sedang jadi tren. Buktinya setelah sebelumnya dimulai desa Sekapuk di Kecamatan Ujungpangkah, Gresik Jawa Timur. Kini muncul berbagai desa miliader di berbagai daerah yang membikin heboh seantero nusantara. Terutama desa-desa yang terkena proyek pemerintah seperti proyek jalan tol dan proyek kilang minyak serta proyek strategis nasional lainnya. Disebut desa miliader karena sebagaian besar warganya memerima “ganti untung” dari pemerintah akibat pembebasan lahan milik mereka berupa uang tunai yang nilianya miliaran rupiah. Sehingga dari uang tersebut mereka menjadi orang kaya baru (OKB). Uang yang mereka terima mereka belikan barang mewah seperti kendaraan bermotor, mobil, serta tanah dan rumah yang mungkin jumlah bisa lebih dari satu.

Fenomena desa miliader sejatinya akan semakin menjamur di berbagai daerah pada masa yang akan datang. Sebagai akibat dari maraknya program proyek strategis pemerintah, sepertin misalnya jalan tol, bandara, serta proyek strategis lainnya. Karena biasanya masyarakat di sekitar proyek akan menerima “ganti untung” sebagai konsekuensi adanya relokasi, akibat lokasi mereka yang selama ini huni atau miliki terkena pembebasan lahan. Nilai uang yang dimiliki masyarakat pun tergantung berapa besar mereka memiliki tanah.

Desa Miliader Baru

Fenomena desa miliader di berbagai daerah yang terdampak proyek strategis nasional itu bak dapat “durian runtuh” dimana mereka banyak mendapatkan uang dari pembebasan lahan proyek. Sehingga mereka mempunyai banyak uang untuk memborong barang-barang konsumtif seperti sepeda motor atau mobil keluaran terbaru.

Menurut penuturan salah seorang warga desa dia ikut membeli barang konsumtif karena ikut-ikutan karena banyak tetangganya yang membeli. Sehingga sebenarnya fenomena membeli barang konsmtif ini lebih karena dorongan “gengsi” tidak mau kalah dengan tetangganya. Dengan demikian mereka membeli konsumtif tidak selalu karena kebutuhan, tapi karena didorong tujuan-tujuan sosial yang lain seperti prestise, kepentingan untuk memperoleh modal sosial sebagai tiket menjalin relasi dengan peer-groupnya (baca: tetangga).

Karena di era kapitalisme seperti sekarang membeli barang konsumtif seperti mobil sesungguhnya berarti membeli kesan dan pengalaman, serta kegiatan berbelanja bukan lagi suatu transaksi ekonomi sederhana , melainkan lebih merupakan interaksi simbolik dimana individu membeli dan mengkonsumsi kesan (Suyanto, 2013). Menurut penulis fenomena memborong barang konsumtif yang dilakukan warga desa miliader adalah fenomena konsumerisme yang melanda pedesaan akibat terserapnya budaya kosmopolitan kota yang merembes ke pedesaan.

Sehingga jor-joran warga dalam membeli barang konsumtif tersebut sebenarnya bisa membawa efek domino pada kehidupan mereka di masa yang datang. Dimana apabila mereka tidak pintar-pintar mengatur uang mereka yang diterima dari “ganti untung” tersebut mereka bisa tekor untuk biaya pemeliharaannya . Apabila apabila barang konsumtif itu hanya dipakai untuk sekadar untuk prestise (gengsi) tanpa diimbangi dengan usaha untuk menghasilkan uang tambahan dengan membuka usaha. Maka lama-kelamaan akan banyak memakan biaya perawatan atau mungkin dijual pada beberapa tahun ke depan.

Banyak penelitian di daerah pertanian atau pedesaan menemukan bahwa ketika petani dengan hasil melimpah dan memperoleh banyak uang, mereka gunakan untuk membeli mobil atau kendaraan bermotor. Tapi begitu masa paceklik mereka menjual kembali mobil atau kendaraan bermotornya untuk membeli bibit agar bisa mengolah tanah pertaniannya kembali. Hal itu paling tidak pernah penulis temukan ketika beberapa kali melakukan penelitian pedesaan beberapa tahun silam.

Mendesaknya Pendidikan Finansial di Desa Miliader

Fenomena memborong barang konsumtif warga desa yang menerima rezeki melimpah sebenarnya adalah fenomena “gunung es” masyarakat kita.Bahwa ketika masyarakat diberikan suatu kelimpahan rezeki misalnya “ganti untung” proyek , mereka berorintasi pada perilaku konsumer. Tidak salah memang, tapi alangkah baiknya hal tersebut tidak terlalu berlebihan. Sehingga bisa menghemat pengeluaran. Apalagi dalam masa pandemi seperti sekarang ini.Dimana dibutuhkan bekal materi (tabungan) untuk waktu yang relatif panjang untuk bisa bertahan dari ancaman krisis ekonomi.

Walaupun demikian tidak semua warga membeli mobil tapi ada juga warga dibelikan reksadana, deposito, bahkan persiapan pendidikan anak. Tidak banyak memang warga yang melakukan hal tersebut. Inilah sebenarnya yang perlu dilakukan aparat desa setempat dan pemerintah daerah serta pihak swasta terkait , untuk memberikan edukasi ke masyarakat agar bisa mengerem perllaku konsumer masyarakat desa yang sedang dapat rezeki nompok tersebut.

Jadi yang perlu diberikan edukasi adalah bagaimana masyarakat yang menerima “ganti untung” dengan terlanjur membeli barang konsumtif secara berjamaah tersebut bisa mengerem budaya komsumer mereka. Dikatakan oleh Veblen di dalam masyarakat muncul konsumsi yang mencolok karena apa yang mereka lakukan ingin dinilai lebih oleh lingkungan sekitar (Veeger, 1985). Akibatnya cepat atau lambat hal ini akan bisa menyebabkan utang menumpuk dan sekaligus mengurangi kekayaaan bila uang dari hasil ” ganti untung” yang diterima warga telah habis terpakai.

Sehingga kedepan diperlukan proses edukasi tentang kecerdasan investasi kepada masayarakat agar bisa mengerem konsumerisme masyarakat . Hasilnya diharapkan uang “ganti untung” yang nilianya milyaran itu bisa dialihkan ke investasi yang bernilai jangka panjang seperti lebih banyak membeli tanah agar bisa bercocok tanam lagi atau investasi lain yang di masa depan bisa jadi sandaran hidup. Dari pada sekedar mengejar prestise di tengah masyarakat agar mendapat julukan miliader di desa. Sehingga konsumerisme yang merembes ke desa dapat di bendung dengan upaya pendidikan investasi. Untuk itulah mendesaknya pendidikan finansial untuk warga desa miliader patut diagendakan segera.

———- *** ———

Rate this article!
Tags: