Pendidikan Rendah, Pemicu Perceraian

Supriyono SH MHum

Supriyono SH MHum
Meningkatnya angka perceraian dari tahun ketahun di Kota Santri Situbondo mendapat sorotan tajam dari salah satu dosen senior di kampus Universitas Abdurachman Saleh (Unars) Situbondo, Supriyono SH MHum, Minggu (29/12). Pria yang juga seorang advokat kenamaan di Kota Bumi Solawat Nariyah itu mengkritisi tingkat pendidikan masyarakat Kabupaten Situbondo yang masih rendah sehingga memandang setiap masalah keluarga harus diselesaikan dimeja hijau Pengadialan Agama.
Kata Supriyono, tingginya angka perceraian setiap tahun di Situbondo yang notabene selalu bertambah meski masih kalah jumlah dengan Kabupaten tetangga harus dipandang sebagai suatu fenomena yang harus diketahui masyarakat umum. Sebagai seorang dosen dan advokat, kata Supriyono, ia melihat hal pertama yang menjadi pemicu karena faktor pendidikan masyarakat masih rendah. “Rata rata yang bercerai, pemahaman soal keluarga karena strata pendidikannya masih rendah. Sehingga membuat mereka kemudian memilih bercerai ketika muncul masalah meski skalanya kecil,” ujar pria yang berdomisli di Kecamatan Besuki itu.
Bagi Supriyono, seyogianya setiap muncul persoalan dalam lingkup keluarga harus bisa dimusyawarahkan antara suami dan isteri. Justeru yang terjadi saat ini terbalik, akunya, karena itu semua dipicu oleh tingkat pendidikan masyarakat yang rendah sehingga dalam memahami sesuatu tidak sesuai porsinya. Ujung-ujungnya, lanjutnya, untuk menciptakan keluarga yang sakinah tidak terwujud dengan baik. “Itu (pendidikan yang rendah, red) yang menjadi faktor pertama. Yang kedua pemicu perceraian juga karena masalah faktor penggunaan medsos,” ucap Supriyono.
Masih kata Suriyono, angka perceraian Situbondo meski masih jumlahnya berkatagori kecil dibanding daerah lain juga ada benarnya jika faktor perceraian karena dipicu perkembangan jaman yang berkaitan dengan penggunaan medsos. Dimata Supriyono, penggunaan medsos oleh suami atau isteri, tidak serta merta menjadi pemicu yang dapat meningkatkan hubungan keluarga tidak harmonis. “Penggunaan medsos yang berlebihan oleh isteri/suami sebenanya menurut saya bisa dilakukan dengan kompromi. Apakah betul yang dilakukan isteri/suami saad bermedsos memiliki hubungan spesial dengan pihak ketiga. Itu yang harus dibuktikan,” ungkap pria tinggi besar itu.
Merujuk pada surat edaran (SE) Mahkamah Agung RI, bahwa majelis hakim di Pengadilan Agama juga wajib untuk memediasi, jika antara dua pihak (sumai isteri) bersama pengacaranya sama sama hadir dalam persidangan. Masalahnya, lanjut Supriyono, setiap sidang kehadiran para pihak tidak ada jaminan hadir secara keseluruhan.
“Jika sama sama hadir, termasuk pengacara para pihak, maka harus didamaikan. Menurut saya peran PA Situbondo dalam upaya perdamaian talak atau gugat cerai sudah cukup maksimal,” pungkas mantan pengacara nenek Asiyani yang merupakan kasus fenomenal di Situbondo itu. [awi]

Rate this article!
Tags: