Peran Pesantren Mengawal Disrupsi

Oleh:
Nakok Aruan
Peneliti Lembaga Pengkajian dan Pendampingan Pemberdayaan Desa dan Pesantren (LP3DP)
Disrupsi adalah perubahan besar yang merubah tatanan. Perubahan tersebut bisa saja berimplikasi positif maupun negatif. Jika berimplikasi negatif, disrupsi diartikan sebagai gangguan atau kekacauan. Kalau berimplikasi positif diartikan sebagai tantangan dan peluang. Revolusi industri 4.0 mendorong terjadinya disrupsi dalam berbagai bidang, bisa saja mengganggu dan mengacaukan, namun bisa pula menjadi tantangan dan peluang.
Disrupsi sesungguhnya sudah terjadi sejak era revolusi 1.0. Hanya saja istilah disrupsi menjadi populer pasca revolusi industri 4.0. Melalui bukunya The Innovator Dilemma (1997), Clyton M. Christensen memperkenalkan gagasan “disruptif innovation” dalam dunia bisnis. Teorinya menjelaskan bagaimana perusahaan kecil dengan sumber daya yang minim, mampu memasuki pasar dan menggantikan sistem yang sudah mapan.
Jika sebelumnya perusahaan General Electric (GE) mampu menguasai dunia, saat ini perusahaan berbasis teknologi seperti Google, Facebook, dan lainnya menjadi penguasa ekonomi dunia. Di Indonesia Grab, Go-jek, dan sejenisnya mampu mengalahkan pengusaha transportasi off-line. Pengusaha taxi Blue-Bird sekarang kelimpungan menghadapinya. Jangan ditanya becak dan ojek off-line sudah lebih dulu tersingkir.
Sementara Francis Fukuyama melalui bukunya The Great Disruption (1999), melihat gejala disrupsi sebagai guncangan yang mengacaubalaukan tatanan sosial dalam masyarakat. Secara lebih spesifik, Fukuyama melihat perkembangan teknologi informasi yang semakin radikal (revolusi industri 4.0), justru membuat kondisi-kondisi sosial yang memburuk. Di kota-kota besar, kekerabatan dan keluarga sebagai institusi sosial terguncang, tingkat perceraian meningkat, dan jumlah kehamilan di luar nikah sulit dibendung.
Dalam perspektif yang berbeda, baik Christensen maupun Fukuyama memiliki argumen yang kuat. Revolusi industri 4.0 dalam kenyataannya telah mengangkat pengusaha ekonomi baru menjadi besar, dan pada waktu bersamaan juga telah menyebabkan banyak pengusaha besar yang mapan gulung tikar. Disrupsi memudahkan banyak orang untuk berkomunikasi, mengembangkan pengetahuan, tetapi di sisi lain menciptakan jarak yang lebar antara individu-individu di suatu lingkungan sosial, terutama keluarga.
Menyikapi Disrupsi
Sebagai pengajar politik-ekonomi internasional di Johns Hopkins University, Francis Fukuyama tidak mengharamkan teknologi informasi (revolusi industri 4.0). Bahkan ia memandang masyarakat yang dikuasi oleh kekuatan informasi cenderung menghargai nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam demokrasi, yaitu kebebasan (freedom) dan kesetaraan (equality).
Fukuyama memanut Thomas Hobbes (1651) bahwa kecenderungan manusia untuk mempertahankan diri, hal mana membuatnya mampu berbuat destruktif terhadap orang lain. Manusia melihat sesamanya sebagai saingan dan ancaman potensial, oleh karenanya manusia harus bersikap sebagai “serigala bagi sesamanya” (homo homini lupus). Kondisi ini lah yang mendorong terjadinya bellum omnium contra omnes (perang melawan semua).
Dalam konteks ekonomi, Fukuyama menghadapkan modal sosial (social capital) dengan kapitalisme. Ia mencontohkan keluarga sebagai salah satu modal sosial yang paling penting. Kapitalisme sangatlah dinamis dan juga merupakan sumber kerusakan kreatifitas yang dapat menghancurkan perubahan-perubahan yang ada pada komunitas manusia. Ini lah sumber disrupsi menurutnya. Kapitalisme justru membawa kerusakan dan mengganggu tatanan sosial yang sudah ada, terutama keluarga.
Sebagai guru besar Harvard Business School, Clayton M. Christensen melihat disrupsi sebagai tantangan dan peluang yang perlu dihadapi dan dimanfaatkan menjadi sebuah keuntungan. Teknologi informasi (internet) adalah inovasi yang memberikan keuntungan. Rhenald Kasali dalam bukunya Disrupsi (2017) memanut Christensen, disrupsi lebih merupakan inovasi, yang menggantikan seluruh sistem lama dengan cara baru. Menurutnya, Inovasi sejatinya destruktif sekaligus kreatif.
Rhenald Kasali menegaskan pandangan Christensen, disrupsi sebagai inovasi yang bisa memberi keuntungan bukanlah sebuah bencana yang harus dihindari, melainkan tantangan dan peluang yang harus dihadapi. Dari perspektif ini, kita tampaknya bisa mengkolaborasikan dua pandangan yang kontradiktif antara Fukuyama dan Christensen. Disrupsi bukan hanya goncangan yang menghancurkan, tapi juga inovasi yang mendatangkan perubahan positif, yang membangun lingkungan sosial masyarakat menjadi kreatif dan modern.
Peran Pesantren
Disrupsi bisa membawa kehancuran pada tatanan sosial, namun kehancuran itu ibarat biji gandum yang mati, kini tumbuh subur dan berbuah lebat. Disrupsi memudahkan banyak orang untuk berkomunikasi, mengembangkan pengetahuan, tapi dilain pihak menciptakan jarak yang lebar antara individu-individu di suatu lingkungan sosial (Roja, 2018).
Internet menyebarkan hoax, tapi di sisi lain juga menyebarkan ajaran spiritual. Menurut Paus Fransiskus, internet yang kian canggih dapat menjadi sarana penyebar ajaran keagamaan. Ilmu pengetahuan pun punya dua pilihan, mendisrupsi atau didisrupsi? Mendisrupsi berarti mengkontekstualkan dengan kebutuhan dan perkembangan agar menggiring modal sosial seperti keluarga pada arah yang benar, dan didisrupsi berarti dirubah oleh guncangan yang membuat ilmu pengetahuan menjadi kaku dan ketinggalan.
Di sini lah perlunya ilmu pengetahuan lain yang mendukung teknologi, misalnya etika dan moral. Bukan kah pesantren merupakan lembaga pendidikan sosial yang mengedepankan etika dan moral? Pesantren salah satu lembaga pendidikan sosial yang dapat “mengawal” agar disrupsi yang berlangsung tetap berlandaskan etika dan moral. Pesantren dengan ilmu pengetahuan etika dan moralnya diharapkan mampu merubah inovasi yang destruktif menjadi konstruktif.
Ada baiknya kita menyimak pendiri sekaligus pemilik saham Go-jek Nadiem Makarim, “bisnis tak melulu cari untung, harus ada manfaat sosial”. Go-jek telah membuat Nadiem menjadi termasuk jajaran orang kaya di Indonesia, tetapi juga memberi lapangan kerja bagi ribuan orang di Indonesia. Sulit membayangkan jika seandainya tidak ada Go-jek, ribuan orang tersebut akan menjadi pengangguran yang akan membengkakkan jumlah orang miskin di Indonesia.
Disrupsi yang ditimbulkan oleh revolusi industri 4.0 memang membawa perubahan sosial ekonomi yang positif bagi masyarakat perdesaan pada umumnya, tetapi pada waktu yang sama berpotensi berimplikasi negatif di bidang sosial ekonomi. Kita perlu melakukan penelitian, apakah disrupsi itu lebih banyak berimplikasi positif secara sosial ekonomi bagi masyarakat perdesaan, atau malah justru sebaliknya?
Sebagai wujud “pengawalan’ disrupsi, pesantren perlu mengambil peran untuk melakukan penelitian tersebut pada masyarakat perdesaan. Dengan mengetahui implikasi positif dan negatifnya secara valid dan lengkap, pesantren dapat melakukan setting sosial (dengan etika dan moral) agar disrupsi menjadi konstruktif.
Ibarat men-setting komputer, ada taks baar yang diposisikan di atas, bawah, samping, atau di tengah. Artinya, pesantren harus mampu mengintegrasikan dan mengaktualkan etika dan moral dalam disrupsi yang sedang berlangsung di masyarakat perdesaan pada khususnya. Pesantren tumbuh dari dan untuk masyarakat, dan bukan menara gading.
——– *** ———-

Rate this article!
Tags: