Persoalan Kesenjangan Kaya-Miskin

Ani Sri RahayuOleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar dan Penulis Buku Pengantar Kebijakan Fiskal Universitas Muhammadiyah Malang

Hijau merimbuni daratannya. Biru lautan di sekelilingnya. Itulah negeri Indonesia. Negeri yang subur serta kaya raya. Seluruh harta kekayaan negara, hanyalah untuk kemakmuran rakyatnya. Namun hatiku selalu bertanya-tanya. Mengapa kehidupan tidak merata. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Yang kaya makin kaya. Yang miskin makin miskin.
Demikianlah sepenggal lirik lagu milik Hj. Rhoma Irama, dengan judul Indonesia. Melalui syair lagu itu setidaknnya mengingatkan pada kita semua bahwa belakangan ini ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia sudah menjadi persoalan akut. Pasalnya, di sejumlah kota besar, ketimpangan itu bisa kita bilang sangat mencolok.
Seorang penjual es buah misalnya, yang mendorong gerobak jualan esnya keliling kota atau desa dan merasa dirinya merupakan salah satu orang tertinggal, walaupun setiap hari bekerja lebih kurang 15 jam masih sangat sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Itulah gambaran kemiskinan. Distribusi pendapatan atau kekayaan yang tidak merata selalu menempatkan mereka yang tidak beruntung atau tidak memiliki akses menjadi kelompok yang miskin. Di Indonesia, persentase kelompok yang terakhir ini cukup besar, sekitar 11 persen dari total jumlah penduduk. Upaya bertahun-tahun memerangi kemiskinan belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Pemandangan pengemis di perempatan jalan ibarat potret yang sudah tergantung di ruang kota selama puluhan tahun, dan entah di mana kesalahannya, potret itu tidak pernah bisa diturunkan.
Mengkhawatirkan Ketimpangan
Di Indonesia, ketimpangan pendapatan di Indonesia cenderung meningkat pada tingkatan yang cukup mengkhawatirkan. Menurut data pemerintah dalam hal ini Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2015, koefisien gini yang menunjukkan tingkat ketimpangan berada pada tingkatan yang cukup mengkhawatirkan, yaitu 0,41.
Besaran ini jangan dianggap remeh karena koefisien Gini dinilai dengan rasio 0 dan 1. Rasio 0 menggambarkan pemerataan yang ideal. Kalau Gini Rasio Indonesia 0,41, jelas menggambarkan adanya persoalan yang sangat serius. Kemiskinan yang akut melahirkan ekses yang mengerikan.
Ketimpangan pada tingkatan tertentu yang terjadi karena peningkatan produktivitas tenaga kerja terampil dan sumbangan teknologi adalah positif. Tetapi, ketimpangan yang tinggi karena kesempatan yang tidak sama, kekakuan sosial, dan kronisme membahayakan keberlanjutan perkembangan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi sekalipun diikuti oleh penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan, tetapi golongan atas mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar.
Sebagian besar pekerja di Indonesia, sekitar dua per tiga bekerja di sektor informal yang tidak mendapatkan bagian yang memadai dari pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan yang tinggi berakibat pada kekakuan sosial, menghambat mobilitas sosial, dan selanjutnya melemahkan kesatuan sosial yang mengancam keberlanjutan perkembangan ekonomi dan keutuhan bangsa.
Sekalipun beberapa faktor mempengaruhi ketimpangan pendapatan, seperti perbedaan keterampilan dan keahlian, usia, dan geografi, tetapi kebijakan pemerintah memegang peranan penting. Kebijakan pemerintah juga penting dalam mengatasi sumber ketimpangan dengan kebijakan yang progresif. Upaya mengatasi ketimpangan dapat sejalan dengan pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan.
Pemerataan kesempatan merupakan jalan efektif bagi mobilitas sosial. Karena itu, kronisme dan korupsi yang menghambat mobilitas sosial harus diminimalkan. Selain itu, investasi pada golongan muda akan sangat menentukan pengurangan ketimpangan pada masa datang. Program sosial mencakup pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial lainnya harus ditingkatkan efektivitas dan jangkauan pelaksanaannya untuk memberikan basis bagi golongan miskin melakukan mobilitas sosial.
Mengatasi ketimpangan dan meningkatkan kesejahteraan tidak harus membuat peran negara menjadi terlalu besar karena akan memberatkan perekonomian. Perhatian ditujukan pada kemampuan membiayai program sosial. Program sosial haruslah fleksibel dan inovatif. Manfaatkan teknologi untuk mengefektifkan pelaksanaan program sosial. Apa yang penting adalah menjaga keterbukaan kesempatan yang sama dengan efektivitas pajak dan program sosial yang dijalankan pemerintah.
Memperkecil Ketimpangan
Langkah pemerintah dalam memperkecil ketimpangan pendapatan adalah kekuatan belanja pemerintah dan investasi swasta. Namun, kekuatan belanja atau investasi pemerintah belum terlalu kuat untuk bisa memperkecil ketimpangan itu. Demikian juga dengan realisasi investasi dari tahun ke tahun. Karena kontribusi dua faktor itu belum maksimal, angka pengangguran di dalam negeri masih terbilang besar:7 persen.
Keberlanjutan perkembangan ekonomi sangat bergantung pada rendahnya ketimpangan dan persamaan kesempatan bagi mobilitas yang tinggi. Ketimpangan yang tinggi akan menghambat perekonomian karena menurunkan partisipasi masyarakat dan melemahkan kohesi sosial.
Pada tahun pertama pemerintahannya, Presiden Joko Widodo harus menghadapi masalah kelambanan penyerapan anggaran oleh kementerian dan lembaga (K/L). Gejala ini menggambarkan minimnya belanja atau pengeluaran pemerintah sepanjang tahun ini. Gejala yang sama dengan alasan berbeda juga terjadi pada hampir semua pemerintah daerah. Sekitar 273 anggaran pembangunan daerah hanya diendapkan di perbankan, karena pejabat daerah tidak berani mengeksekusi proyek dengan alasan takut dikriminalisasi.
Kecenderungan itu tentu saja sangat bertolak belakang dengan karakter Presiden yang ingin agar semua perangkat kerja di pusat dan daerah bergerak progresif merealisasikan proyek-proyek pembangunan. Keberanian, kecepatan dan ketepatan menggunakan anggaran akan berdampak pada masyarakat, seperti tersedianya lapangan kerja dan terserapnya produk-produk yang digunakan untuk proyek-proyek pembangunan.
Kelambanan penyerapan anggaran tidak boleh berulang di tahun-tahun mendatang. Pemerintah harus belajar dari kesalahan tahun ini. Kalau saja belanja pemerintah tepat waktu dan bisa diperbesar lagi di tahun-tahun mendatang, tentu akan mempengaruhi Gini Rasio. Mungkin tidak signifikan. Akan tetapi, kemampuan mereduksi Gini Rasio secara bertahap bisa memberi motivasi lebih kuat dalam memerangi kemiskinan.
Keberanian pemerintah Presiden Joko Widodo mengalihkan subsidi energi ke sektor infrastruktur dan perlindungan sosial patut diapresiasi. Kini, pemerintah harus bekerja lebih keras lagi untuk mewujudkan pemerataan pendapatan melalui kebijakan fiskal. Dalam konteks memperkuat belanja pemerintah, persoalan penerimaan negara dari pajak menjadi sangat penting untuk dibahas. Potensi penerimaan pajak masih sangat besar. Tetapi rasio pajak masih sangat rendah, sekitar 12 persen. Target penerimaan pajak tahun ini pun sulit dicapai. Direktorat Jenderal Pajak hanya bisa menyetor 85 persen dari target.  Ada perhitungan yang menyebutkan bahwa jumlah masyarakat yang seharusnya sudah menjadi wajib pajak (WP) sebenarnya masih sangat besar.
Kalau perluasan basis penerimaan pajak tidak segera dilakukan, kemampuan belanja pemerintah pun akan sulit didongkrak. Keterbatasan belanja pemerintah itu sudah barang tentu tidak akan mampu memengaruhi atau memperkecil Gini Rasio. Kalau sudah begitu, keharusan memperluas basis penerimaan negara dari pajak menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari lagi. Ini menjadi tantangan bagi Direktur Jenderal Pajak yang baru.
Melihat fakta tersebut, pemerintah Presiden Joko Widodo tak boleh menepuk dada atas pertumbuhan ekonomi yang masih bisa dicapai pada saat negara-negara lain minus atau stagnan. Faktanya, peningkatan yang dihasilkan bukanlah pertumbuhan yang berkualitas yang menyentuh semua kelas ekonomi. Perputaran roda ekonomi nasional hanya menggerakkan mesin uang orang-orang kaya dan para konglomerat. Yang miskin makin terpuruk.
Kesenjangan yang menganga akan melahirkan problem sosial yang serius, seperti kekerasan dan kriminalitas. Problem sosial, pada gilirannya, juga akan membawa dampak terhadap kontinuitas pembangunan. Keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan inilah yang sepatutnya dijaga pemerintah Jokowi.

                                                                                               ————— *** —————-

Rate this article!
Tags: