Pola Konsumsi Mahasiswa terhadap Makanan Impor

Oleh:
Jabal Tarik Ibrahim
Guru Besar Prodi Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Mahasiswa adalah individu manusia yang sedang menempuh pendidikan tinggi. Pada umumnya, mahasiswa masuk dalam kategori pemuda yang berumur antara 18 – 25 tahun, namun bisa kurang atau lebih dari itu.

Gaya hidup mahasiswa seakan-akan menjadi trendsetter bagi golongan umur yang lain. Hal ini disebabkan oleh kemampuan intelektual mahasiswa yang sangat baik, kemampuan berkomunikasinya bagus, pengguna sosial media yang canggih, sensitifitasnya pada banyak hal dalam kehidupan ini relatif tinggi juga.

Mahasiswa merupakan agen pembaharu (the agents of change) dalam suatu periode masa. Kemampuan penalaran mahasiswa menjadi pabrik ide baru dalam suatu negara atau masyarakat adalah kelebihan lain spesies mahasiswa. Bisa dilihat dalam hal politik, mahasiswa menjadi demonstran yang mengubah sistem politik.

Dalam hal penggunaan teknologi baru, mahasiswa adalah target pasar produsen teknologi baru semisal handphone dan laptop, beserta asesoris pelengkapnya. Gaya berpakaian mahasiswa tak luput dari perhatian pihak lain untuk dijadikan sosok idola yang pantas ditiru.

Dalam hal makanan maupun minuman, mahasiswa adalah target penting yang perlu dipertimbangkan. Bisa ditebak, area dimana banyak mahasiswa bertempat tinggal (kos, asrama, kontrakan) maka disitulah banyak dijumpai warung, café, resto, kios makan, dan apa saja hal lain yang ada hubungannya dengan makan minum.

Pelaku bisnis makanan dan minuman tentu ngiler mengincar segmen pasar mahasiswa. Selain sisi menjamurnya pedagang makanan dan minuman di sentra mahasiswa tinggal, kuliah, ngobrol, ataupun sekedar healing, ada juga pedagang makanan dan minuman yang buka dagangan namun beberapa bulan kemudian, tidak sampai satu tahun tutup lagi alias gulung tikar.

Jika diamati, kebangkrutan para pedagang makanan dan minuman di sentra mahasiswa tinggal dan beraktivitas tentu berlembar-lembar alasannya. Dalam teori marketing yang didapat dari buku teks, internet, kuliah dosen, atau diskusi, pasti yang dipertimbangkan adalah sekitar produk yang dijual, tempat dimana barang dijual, harga yang cocok dengan kantong mahasiswa, dan promosi yang mengena pada mahasiswa. Katakanlah pebisnis mampu mengira berapa isi kantong mahasiswa, sosial media yang dipakai oleh mahasiswa (instagram, youtube, tiktok, twitter, facebook), dan tempat berjualannya di area mahasiswa, maka hal yang paling penting diketahui adalah apa makanan/minuman kegemaran mahasiswa.

Di awal tahun 2023 ini, penulis melakukan survei tentang makanan yang dikonsumsi mahasiswa dalam tiga hari terakhir (tiga hari terakhir dari saat pengisian angket).

Angket diberikan kepada mahasiswa yang kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, Politeknik Negeri Malang, Universitas Islam Malang, dan Universitas Tri Bhuana Tungga Dewi. Angket dibuat dalam bentuk google form disebarkan lewat group whatsapp para mahasiswa selama satu hari.

Hasil isian angket kemudian dianalisis sederhana dengan cara membuat prosentase. Nilai prosentase adalah jumlah mahasiswa yang mengkonsumsi setiap jenis makanan tersebut dibagi jumlah mahasiswa yang mengisi google form. Banyak hal menarik untuk diketahui para pihak, khususnya pebisnis makanan atau calon pebisnis makanan.

Topik pertama yang ditanyakan adalah makanan tradisional apa saja yang dimakan dalam tiga hari terakhir? Makanan tradisional yang dimaksud adalah makanan yang secara umum dianggap berasal dari Indonesia. Jawaban mahasiswa adalah nasi pecel (39%), nasi goreng berbagai jenis (32%), soto berbagai jenis (21%), sayur bening (17%), berbagai jenis makanan padang (15%), sate semua jenis (14%), ayam goreng tradisional (13%), lauk sambal balado (12%), rawon (9%), bali telor-tempe-tahu (6%), dan sayur asem (5%). Berbagai jenis makanan tradisional yang tidak termasuk di atas sebanyak 16%.

Topik kedua adalah jenis-jenis makanan non tradisional yang dimakan oleh mahasiswa antara lain: Mie instan (66%), ayam goreng merk impor (44%), mie yang tidak termasuk mie instan (36%), semua jenis makanan Korea (9%), semua jenis makanan Jepang (6%), dan berbagai jenis masakan Eropa/Arab/India berada di bawah 5%. Dari topik pertanyaan pertama dan kedua ini ada indikasi atau ada dugaan kuat jenis-jenis makanan impor menggeser makanan tradisional Indonesia walaupun makanan Indonesia masih dapat disimpulkan “tetap bertahan.” Mie instan dan semua jenis ayam goreng cepat saji merk impor disukai lebih banyak mahasiswa dibanding semua jenis masakan tradisional. Mie instan (66%) dan ayam goreng cepat saji merk impor (44%) mengungguli dua jenis masakan tradisional kesukaan mahasiswa yaitu nasi pecel (39%) dan nasi goreng (32%).

Jika ditanyakan lebih dalam (di-breakdown) tentang jenis masakan Korea yang dikonsumsi muncullah jawaban sebagai berikut: Tteokbokki (27%), ttokpokki (20%), kimchi (13%), samyang (12%), kimbab (6%), bulgogi (6%), dan makanan Korea lainnya di bawah 5%. Jenis makanan Korea yang jumlahnya dikonsumsi oleh sebagian kecil mahasiswa adalah odeng, rapokki, dakgalbi, gulgoki, dan tokebi. Saingan berat masakan Korea di kalangan mahasiswa adalah makanan dari Jepang. Jenis masakan Jepang yang dikonsumsi oleh mahasiswa adalah sushi (44%), ramen (37%), dan takoyaki (10%). Jenis makanan Jepang lainnya seperti dorayaki, sashimi, dan chicken katsu hanya dikonsumsi oleh 3% mahasiswa atau kurang dari itu.

Keseruan mahasiswa mengkonsumsi makanan Korea dan Jepang akan menjadi lebih “wah” lagi bila dilihat dari jenis-jenis makanan Eropa. Pizza adalah makanan Eropa terpopuler dikalangan mahasiswa (28%), disusul oleh burger (24%), fried chicken merk impor (11%), spaghetti (10%), serta steak (9%). Sandwich, french fries, pie, pasta, lasagna, dan zuppa dikonsumsi oleh mahasiswa di bawah jumlah 5%.

Popularitas masakan asal Korea melebihi masakan asal Jepang dan Eropa. Realitas ini nampaknya seiring dengan naiknya keterdedahan berbagai pihak di Indonesia dari drakor (istilah populer dari drama Korea). Bisa juga dipengaruhi oleh membanjirnya produk teknologi asal Korea di Indonesia seperti handphone, laptop, dan peralatan elektronik lainnya. Mengkonsumsi masakan luar negeri khususnya yang ada di dalam survei ini didorong oleh preferensi mahasiswa untuk menampilkan diri bahwa “diri”-nya (self) adalah manusia kosmopolit, strata elit, mengikuti gaya hidup kekinian, dan berbeda dari kaum kebanyakan (others).

Pergeseran makanan yang dikonsumsi oleh mahasiswa, yang notabene mahasiswa adalah pemuda elit yang menjadi trendsetter bagi kelompok anak muda lainnya, adalah sebuah pergeseran ketahanan pangan. Jika dilihat dari sudut pandang ketahanan pangan, fenomena pergeseran jenis makanan mahasiswa dari makanan tradisional berbasis nasi ke makanan impor berbasis terigu, maka program-program ketahanan pangan NKRI perlu ditata dan dipraktekkan lebih serius lagi. Istilah ekstrimnya “tidak ada serumpun gandum yang berbuah lebat” yang tumbuh di Indonesia. Namun, tidak bisa kita menahan derasnya keterdedahan anak muda dari komunikasi global di bidang kesukaan makanan ini.

Upaya menjaga ketahanan pangan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: Re-thingking, re-form, dan revitalisasi masakan-masakan tradisional Indonesia dengan berbagai cara. Bentuknya, ukurannya, rasanya, cara penyajian, dan penggunaan “pabrik ide” atau sosial media dalam promosi kelebihan masakan tradisional. Promosi kebaikan masakan tradisional lewat sosial media yang paling banyak digunakan mahasiswa, misalnya instagram, menjadi penting dilakukan pelaku bisnis makanan tradisional.

Berikutnya adalah substitusi bahan-bahan makanan yang diimpor dengan bahan-bahan makanan asal Indonesia dan tersedia di Indonesia. Misalnya, french fries yang kentangnya impor disubstitusi dengan kentang Indonesia. Daging sapi impor disubstitusi dengan daging sapi lokal. Bagaimana supaya rasanya sama?? Serahkan pada ahli tata boga ataupun cheff kawakan yang banyak tersedia di Indonesia.

———- *** ———-

Tags: