Polemik Hukuman Kebiri

Belakangan ini hukuman kebiri bagi predator seksual anak kembali menjadi perbincangan publik. Fakta tersebut mencuat setelah putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Mojokerto diperkuat putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang memvonis hukuman kebiri kepada Muh Aris (20), seorang pemuda asal Mojokerto, Jawa Timur, yang dinyatakan terbukti melakukan pemerkosaan terhadap 9 anak. Selain hukuman kebiri kimia, Aris diberikan hukuman tambahan 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta dengan subsider 6 bulan kurungan, (Kompas.com, 26/8)
Majelis hakim memberi hukuman tambahan kepada predator anak tersebut lantaran dianggap terbukti melanggar Pasal 76D juncto Pasal 81 ayat (2) Perppu 1/2016 tentang Perubahan Kedua UU RI 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Melalui putusan pengadilan tersebut, tentu saja melegakan banyak pihak. Pasalnya, Perppu Nomor 1 Tahun 2016 mengenai penerapan hukum kebiri tersebut sempat menjadi wacana pro dan kontra. Hingga kini, untuk pertama kalinya hukuman kebiri kimia sebagaimana perintah Undang-Undang Perlindungan Anak akhirnya dapat dilaksanakan.
Namun, rupanya publik harus masih bersabar. Pasalnya, meski pelaku predator seksual tersebut sudah ada pasal penjeratnya, namun petunjuk teknis eksekusi hukuman kebiri kimia belum ada. Terutama bagian eksekutor, yakni tenaga medis dokter. Semua itu, mengingat hanya dokter yang memiliki kompetensi untuk memasukkan zat kimia ke tubuh manusia.
Namun, masalahnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor, dengan alasan melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Sikap IDI tersebut tentu saja menimbulkan dilemma. Di satu sisi IDI menolak, namun di sisi lain perintah kebiri kimia adalah perintah undang-undang. Melihat kenyataan yang demikian, kasus pidana predator seksual di Mojokerto ini masih berpeluang menjadi polemik yang berkepanjangan.

Asri Kusuma Dewanti
Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Rate this article!
Polemik Hukuman Kebiri,5 / 5 ( 1votes )
Tags: