Polemik RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan

Oleh :
Ahmad Muflihin, S.Pd
Guru Bahasa Inggris SMA N 1 Karangrayung, Grobogan 

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam kajian disiplin keilmuan, yang disajikan dengan apik_nya. Dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas Islam yang dikembangkan dari_masa-ke masa, dan dari periode. Kondisi tersebut, telah ter_cover dalam dunia pesantren. Namun, dilain sisi keilmuan yang diajarkan dalam pesantren. Mengalami sekelumit masalah yang terjadi dalam lingkup pesantren. Pesantren digunakan sebagai lembaga alternatif_baik dalam bidang pendidikan, pengembangan masyarakat (Community Development) atau pembangunan proyek yang berbasis “Partisipatoris”secara umum.
Asumsi yang terselip dalam masyarakat, menjadi tolok ukur. Apakah memang pesantren hanya sebuah lembaga alternatif yang dapat mengatasi kesenjangan-kesenjangan antara teori dan praktek, dengan menjembatani ‘Proyek yang disusun secara elitis oleh kaum terpelajar dan birokrat’ di kota-kota besar?. Pasalnya, banyak sekali terjadi pembelokan yang ditingkat praktis, diatas maupun dibawah dalam masyarakat. Apabila memang, diperlukan sebuah kajian atau studi serius tentang lembaga-lembaga yang mampu mengatasi masalah tersebut. Maka, hal tersebut dapat pula dikaitkan dengan ‘proyek pembanguan’ dengan lembaga-lembaga lokal yang disebut sebagai pesantren.
Walaupun, nantinya akan memiliki implikasi pada perubahan masyarakat, yang notabennya perubahan tersebut dilakukan melalui dan menggunakan kultur mereka sendiri. Yaitu dengan pembanguna dari ‘dalam’, bukan dipaksakan dari ‘luar’. Sehingga, kegagalan yang muncul akan dapat diminimalisir. Maka, peran pesantren dan kiai menjadi sangat diperlukan. Dan dari sinilah, romantisasi atas kehidupan mulai muncul dari dunia pesantren.
Ketika dunia pesantren mengalami “romantisasi” yang termanifestasikan dalam bentuk lembaga alternatif bagi masyarakat. Seringkali terjadi banyak kritikan dari berbagai pihak. Sehingga, masyarakat mulai menengok dan mempertanyakan. Benarkah “Lembaga Pendidikan Partikular” ini adalah lembaga modern yang cenderung mengalami kompartementalisasi atas pengetahuan?
Sedangakan seringkali terjadi kontradisksi dengan penggambaran “Romantik” tentang pesantren yang seringkali mewakili kenyataan yang sebenarnya. Karena, gambaran-gambaran yang “Romantik” itu hanyalah khas pandangan kaum terpelajar kota yang melihat segala jenis “Barang-barang etnik”dengan mata seorang turis? Kemudian, bukankah “Romantisasi” atas pesantren hanya bagian dari “Romantisme” oleh orang-orang kota atas hal yang berbau tradisi.
Dari gambaran diatas, memberikan interpretasi yang jelas. Bahwasanya, romantisasi pesantren tidak menawarkan “solusi” apa-apa atas persoalan yang membelit pesantren. Selama ini, pesantren di romantisir, akan tetapi seraya juga mengalami “instrumentalisasi” demi memenuhi kebutuhan masyarakat kota. Atau kasarannya hanya sekadar diperalat untuk memuasi obsesi orang-orang terpelajar di kota tentang “Proyek Sosial” yang bernama “Pembangunan Masyarakat yang Partisipatoris”.
Banyak sekali masyarakat kota yang memanfaatkan pesantren sebagai “pusat” dari mana perencanaan-perencanaan pembangunan ditingkat bawah diinspirasikan. Maka dari itu, peran kiai sebagai figur kharismatik yang akan menjadi ‘pialang’ bagi pembaharuan-pembaharuan ditingkat lokal. Namun, hal tersebut tidak dapat hanya ditaklukan dengan cara berfikir kaum terpelajar kota. Pasalnya, dinamika intern pesantren tidak memberikan dukungan yang pasti terkait hal itu semua.
Pro-Kontra RUU Pesantren
Semenjak muncul wacana terkait disahkannya RUU Pesantren dan Pendidikan Keagaman, banyak sekali dari berbagai pihak terutama pemuka agama lain yang mengkritik kebijakan tersebut. Draft RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan menuai polemik. Sebab, dalam draft tersebut, ada pasal yang mengatur tentang sekolah minggu dan katekisasi yang terdapat pada Pasal 69 dan Pasal 70. Hal tersebut RUU Pesantren dan Pendidikan Keagaman tersebut dapat memberatkan pendidikan agama lain yang notabennya memiliki adat yang berbeda dengan pesantren sendiri.
Draft RUU ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat lantaran memuat poin yang meregulasi sekolah minggu dan katekisasi pada agama Kristen. Ini juga yang kemudian membuat Sekretaris Umum PGI, Gomar Gultom turut mengomentari RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. “Sejatinya, pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan bagian hakiki dari peribadahan gereja, yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta, serta mestinya tidak membutuhkan izin karena merupakan bentuk peribadahan,” ujar Gomar. (Kompas.com)
Kondisi tersebut tentu menjadi sebuah polemik yang harus segera diselesaikan agar tidak merugikan salah satu pihak. Oleh sebab itu, sebagai bahan usaha preventif sebelum disahkannya secara resmi RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan pemerintah melakukan peninjauan ulang dan mempelajari Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang menjadi inisiatif DPR. Pemerintah tidak terburu-buru untuk membahasnya karena ingin mendengarkan dari semua pihak terkait.
Munculnya berbagai penolakan terkait Draft RUU yang mengatur tentang sekolah minggu dan katekisasi yang terdapat pada Pasal 69 dan Pasal 70. Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) tentang aturan pendidikan sekolah Minggu dan Katekisasi, pemerintah berjanji akan memperhatikan berbagai aspirasi tersebut. Prinsipnya, kehadiran RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, bukan untuk mengintervensi lembaga pendidikan keagamaan, tetapi untuk memberikan pengakuan kepada pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan lainnya.
Semoga pemerintah lebih bijak untuk memutuskan draf RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Sehingga negara yang Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika menjadi nilai-nilai yang dapat teraplikasikan dengan baik. Sikap toleransi menjadi pondasi utama untuk membentuk negara yang aman dan damai.

Wallahu’alam Bi As Shawab
———– *** ————

Tags: