Puasa Ramadan Tak Sebatas Formalitas

Ahmad Fatoni

Oleh:
Ahmad Fatoni, Pengajar PBA-FAI Universitas Muhammadiyah Malang
Setiap aktivitas ibadah dalam Islam mengandung dimensi ritual dan sosial. Keseimbangan antara ibadah ritual dan sosial itulah yang kemudian diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW. Ritual dan sosial ibaratnya satu keping mata uang dengan dua sisinya; tak bisa dipisahkan satu sama lain seandainya mata uang itu tak ingin kehilangan makna.
Begitu pula dengan ibadah puasa Ramadan, ia akan kehilangan ruhnya jika dilakukan sekadar ritual belaka. Puasa Ramadan niscaya kehilangan makna jika sebatas meninggalkan makanan, minuman, dan hubungan suami-istri di siang hari. Hakikat puasa Ramadhan, selain mencegah nafsu perut dan nafsu kelamin, juga tirakat pikiran dan hati dari seluruh nafsu keburukan.
Belakangan ini, sering betul muncul gejala keberagamaan yang cenderung mengamalkan dotrin puasa secara parsial. Seolah berpuasa hanya sebatas memenuhi syarat-syarat formalitas syariat, sehingga lahirlah sosok-sosok yang rajin berpuasa sekaligus tetap semangat berlaku munkar.
Padahal, seseorang yang melaksanakan amalan baik dan buruk secara bersamaan dapat dikatakan ia sedang mengalami kepribadian terbelah (split personality). Orang semacam itu senyatanya sedang sakit mental sebab tidak satu agama pun yang mengajarkan pemeluknya berkepribadian ganda. Karena itu, upaya mengembangkan pemahaman bagi setiap pemeluk agama agar menyandingkan ibadah ritual dengan amal sosial, niscaya beriringan.
Betapa banyak praktik-praktik keberagamaan yang kerap menyimpang dari rel agama. Pertanyaannya, layakkah seseorang menjalankan suatu amal ibadah melalui jalan yang salah? Ibarat mencuci pakaian maka tidak mungkin pakaian itu dicuci dengan air kotor. Selain nir-pahala, cara beribadah semacam itu jelas tidak akan berdampak apa pun bagi peningkatan mutu keberagamaan seseorang.
Sayangnya, praktik keberagamaan yang masih mencampuradukkan antara amal baik dan amal buruk telah mengepidemi banyak kaum beragama yang mengukur kesalihan seseorang dengan kriteria serba legal formal. Dalam konteks puasa Ramadhan, kesalihan terkadang hanya ditentukan oleh seberapa kuat seseorang tidak makan dan tidak minum.
Selain salih secara ritual, seseorang hendaknya juga salih secara sosial: suatu bentuk kesalihan yang tidak hanya ditandai seberapa mampu menahan lapar dan dahaga, tetapi juga mestinya terwujud dalam perilaku positif pelakunya dalam laku keseharian. Bila ada orang yang rajin menjalankan ritual puasa, senyatanya baik pula amal sosialnya.
Islam adalah agama yang sangat menekankan keterkaitan ibadah ritual dan perilaku sosial. Sekedar contoh, dalam doktrin puasa menanamkan nilai kejujuran, namun perilaku jujur itu sulit sekali disaksikan. Terbukti banyak orang yang setiap bulan Ramadan berpuasa, tetapi perilaku khianat, tipu-menipu, pencitraan, dan kepura-puraan masih sering benar menghiasi kehidupan politik, budaya, dan sosial. [*]

Rate this article!
Tags: