Puisi Jawa Menjadi Nasihat, Kuatkan Budi Pekerti Siswa

Grup geguritan asal Kabupaten Blitar menerima dua tropi sekaligus dari Dindik Jatim dalam Festival Geguritan 2014.

Grup geguritan asal Kabupaten Blitar menerima dua tropi sekaligus dari Dindik Jatim dalam Festival Geguritan 2014.

Kota Surabaya, Bhirawa
Geguritan barangkali sudah tak lagi familiar di telinga pelajar di tanah Jawa ini. Seperti karawitan yang terkikis lagu pop dan rock, puisi berbahasa Jawa ini pun mulai jarang diperdengarkan meski sarat nilai-nilai budaya, sarat budi pekerti, dan nasihat-nasihat adi luhung di dalamnya. Kondisi inilah yang menjadi pendulum para guru tetap mempertahankan geguritan sebagai salah satu cara menyampaikan nasihat untuk siswa di sekolah.
Gendhuk, Thole
Gusti wis cepak gunung, kali lan pesisir, Gusti wis cepak angin
Dipasrahake kanggo nututi nafasmu lan getihmu mili
Saka tanduran sing kok perdi
Ayo thole ngopeni jagad iki mumpung srengenge isih ayun-ayun.
Penggalan puisi Jawa itu menutup penampilan lima guru-guru TK dan PAUD dari Kabupaten Blitar saat mengikuti festival geguritan di Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim, Selasa (2/12) siang. Iringan suling, gamelan yang tadinya terdengar adem seketika itu pun berhenti. Kelima guru itu pun turun panggung setelah memberi salam ke peserta dari daerah lain sambil sesekali mengusap keringat grogi.
Lima guru itu adalah Eryanti, Umi Sururin, Ismiyati, Widaturrahmah dan Wahyu Setiorini. Mereka sudah biasa membaca geguritan untuk anak-anak didiknya di sekolah. Atau sebaliknya, anak didiknya yang membacakan geguritan untuk guru dan siswa sekelas. “Kalau di tempat kami, geguritan masih sering dibacakan di sekolah meskipun sangat jarang,” kata Eryanti.
Saat tampil, puisi Jawa yang mereka baca berjudul Srengenge Angayun-ayun. Artinya, matahari berayun-ayun. Eryanti kemudian menjelaskan jika isinya seputar nasihat untuk anak-anak. Penggalan terakhir puisi itu berarti ajakan untuk anak perempuan (Gendhuk) dan anak laki-laki (Thole) untuk selalu berusaha karena Tuhan sudah menyediakan berbagai karunia melalui alam ini.
“Tuhan telah menyediakan gunung, sungai, pantai dan angin untuk memenuhi hidup dan aliran darah mu. Dari tanaman yang kau tanam. Ayo Thole, memelihara jagad ini senyampang matahari masih berayun-ayun,” ucap Eryanti mengartikan penggalan puisi terakhirnya.
Sejatinya, geguritan selalu menyimpan banyak makna, khususnya seputar budi pekerti. Sayang, saat ini banyak anak yang tidak mampu berbahasa Jawa sehingga kesulitan menangkap maknanya. Kalau pun dibaca, artinya tidak akan dimengerti. Hal ini pula yang membuat geguritan menjadi semakin langka. Padahal, jika geguritan ini dibudayakan di sekolah dan dimengerti oleh peserta didik, akan sangat baik dalam pembentukan karakter anak.
Atas penampilan itu, Eryanti bersama rekan-rekannya berhasil membawa pulang dua tropi sekaligus dari Bidang Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Dindik Jatim dalam festival geguritan tahun ini. Tropi pertama menobatkan grup dari Kabupaten Blitar itu sebagai penulis naskah terbaik dan tropi kedua sebagai grup terbaik.
“Ini penghargaan kami dedikasikan untuk seluruh guru-guru di Blitar khususnya dan di Jatim pada umumnya agar tidak meninggalkan geguritan. Sekolah itu tempatnya budaya diwariskan dan kesenian diajarkan secara turun temurun,” tutur dia.
Kebid PNFI Dindik Jatim Abdun Nasor mengapresiasi penampilan para guru Jatim yang berhasil meraih penghargaan tersebut. Jatim sebagai salah satu provinsi yang getol mengedepankan pendidikan karakter, menurutnya tak akan lepas dari kebudayaan. “Karena itu, kalau nantinya nomenklatur kebudayaan itu benar-benar digabung kembali dengan Dindik Jatim, pengembangan kebudayaan untuk bidang pendidikan akan semakin kita kembangkan,” tutur dia.
Nasor menyadari, geguritan saat ini memang mulai punah. Karena itu, peran pendidikan harus dijalankan untuk membangkitkan kembali. Dan kenyataannya, antusiasme guru-guru TK dan PAUD di Jatim ini sangat tinggi.
Kasie Pendidikan Karakter dan Pekerti Bangsa (PKPB) Endang Widiastuti menambahkan, ada 33 kabupaten/kota yang terlibat dalam festival tersebut. Ini menjadi penanda bahwa geguritan ternyata masih punya ruh untuk dikembangkan lagi di Jatim. Sebelum mereka mengikuti lomba ini, Dindik Jatim melatih lebih dulu para guru-guru selama tiga hari sebagai persiapan. “Inilah hasil pelatihannya, mereka bisa menulis naskah geguritan sendiri, sekaligus bisa membacanya,” pungkas dia. [tam]

Tags: