Relokasi Sentra Garam

Petani petambak di sepanjang pantai utara Jawa, Madura, dan Sulawesi Selatan, berkeluh-kesah harga garam anjlok drastis. Setelah harga ideal garam rakyat, berlangsung hanya selama semusim. Pelonjakan harga garam yang pernah diperjuangkan oleh presiden Jokowi, terasa berlalu sangat cepat. Garam rakyat hanya dihargai Rp 400,- per-kilogram. Anehnya, merosotnya harga garam bukan disebabkan stok melimpah.
Tiada gundukan garam sisa panen musim lalu, karena sudah diborong pabrik (atas instruksi presiden). Stok garam telah sangat menciut, dampak paceklik berturut-turut selama tiga tahun. Harga garam saat ini tidak sesuai dengan prinsip dagang, supply and demand. Realitanya, kebutuhan bertambah, namun pasokan berkurang. Toh tidak mampu mengangkat harga garam lokal.
Panen garam bulan (Juli) ini sangat merisaukan petambak. Sangat berbeda dengan panen musim tahun (2018) lalu. Presiden Jokowi meng-instruksikan seluruh industri pengguna garam menyerap garam lokal. Walau tingkat salinitas (ke-asin-an) kurang. Instruksi presiden disambut kalangan AIPGI (Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia). Garam lokal habis. Masih ditambah impor. Harga garam brosok (kristal besar) mencapai Rp 4 ribu per-kilogram.
Saat itu (Agustus 2017 hingga Januari 2018) harga garam melonjak sampai 300% di pasar tradisional. Seluruh grosir garam mengaku kehabisan stok, tak terkecuali di sentra garam, di Kalianget, Sumenep (Madura). Harga garam di pasar mencapai Rp 2.500,- kemasan 250 gram. Bersaingan dengan harga gula. Harga tinggi cukup “menggoda” petambak giat kembali membuka saluran masuk air laut ke tambak. Namun tidak bertahan lama, berangsur-angsur harga garam lokal merosot.
Presiden Jokowi mengizinkan impor garam (industri), namun wajib disertai penyerapan garam lokal. Impor dibatasi untuk kebutuhan industri, selama garam lokal belum dapat memenuhi standar salinitas (ke-asin-an). Kementerian Perindustrian juga diminta berupaya meningkatkan kadar garam lokal, sampai bisa diserap kalangan industri. Terutama industri makanan dan minuman, serta pabrik kaca. Konsekuensi impor garam dimulai tahun ini.
Jaminan melindungi garam lokal, antaralain dibuktikan dengan (komitmen) Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI). Yakni penandatanganan Nota Ke-sepaham-an, penyerapan garam rakyat. Realisasi penyerapan garam rakyat akan dilakukan pada bulan Juni hingga Juli, bertepatan dengan panen raya garam. Diharapkan sebanyak 1,4 juta ton garam lokal. Namun manakala terkendala cuaca (musim hujan lebih panjang), maka penyerapan garam bisa diulur sampai Agustus.
Petambak garam menyambut komitmen AIPGI. Ini bagai nuansa baru perlindungan garam lokal. Terutama peningkatan salinitas, yang harus dilakukan kalangan industri. Toh, hanya perlu teknologi penguapan yang lebih memadai. Seperti beberapa perguruan tinggi negeri di Surabaya, telah membuat produk suplemen pangan ber-mineral tinggi. Bahannya, diambil dari penyiraman garam lokal.
Penyebab “kronis” merosotnya harga garam lokal, selalu berkutat pada data stok oleh stake holder. Maka perlu diselenggarakan pertemuan, antara kelompok petambak garam, AIPGI, dan pemerintah. Sehingga diperoleh (secara transparan) data stok lokal yang tersedia, dan pertambahan kebutuhan. Juga prakiraan kebutuhan khusus garam industri.
Boleh jadi, pemerintah perlu me-relokasi sentra tambak garam. Karena harga lahan di seluruh pulau Jawa, tergolong sangat mahal. Serta salinitas-nya rendah, walau kandungan mineralnya lebih tinggi. Boleh jadi, daerah NTT bisa menjadi pengharapan. Harga lahan murah, sekaligus salinitas lebih tinggi karena menghadap samudera luas.
Keunggulan geografis menyebabkan tambak di NTT bisa menghasilkan sebanyak 120 ton garam (200% dibanding rata-rata panen garam di kawasan lain). Tetapi garam Madura, bisa “naik kelas” menjadi bahan infus, dan garam meja, yang disajikan restoran.

——– 000 ———

Rate this article!
Relokasi Sentra Garam,5 / 5 ( 1votes )
Tags: